Cantika berdiri mematung di dekat jendela sambil menggigit kuku jari dengan tatapan mata yang menerawang. “Can?” panggil Lian.
Cantika menoleh lalu tersenyum. “Udah mandinya?” Dia mendekat pada Lian yang baru keluar dari kamar mandi.
Lian mengangguk. “Kamu kenapa berdiri terus? Nggak capek apa dari tadi udah jalan jauh sambil dorong kursi rodaku?”
Cantika menggeleng cepat. Dia jongkok di hadapan Lian. “Asal buat kamu, aku nggak ngerasa capek sama sekali kok.”
Lian mencubit ujung hidung Cantika. “Gombal.”
“Iiih, seriusan!” protes Cantika.
“Trus kenapa kamu bengong barusan?” tanya Lian. Ekspresinya tampak serius. Dia sangat ingin tahu apa yang sedang Cantika pikirkan.
“Emm... Aku...” Cantika ragu. “Aku cuma ngerasa duit pinjeman Navi tadi masih kurang.”
Lian mengernyit. “50 juta masih kurang tuh emang mau kamu pake bu
Setengah jam setelah Morgan pergi, Cantika hanya duduk termenung sambil menatap ke luar jendela dengan tatapan mata kosong. Fandy dan Lian memerhatikan itu, kemudian saling pandang dengan ekspresi bingung. Lian yang tidak tega melihat Cantika akhirnya menggerakkan kursi rodanya mendekat pada Cantika. “Can, aku tau kamu cemas sama kakek kamu. Mending sekarang kita ke rumah sakit, aku temenin kamu.”Cantika menggeleng. “Gak usah, Lian. Kamu istirahat aja di rumah, biar aku ke rumah sakit sendiri.” Cantika menarik tas selempangnya dan segera bersiap pergi. Lian yang masih khawatir menoleh pada Fandy, menatapnya dengan mata memohon. Fandy mengangguk seolah mengerti dengan kode yang diberikan Lian. Fandy segera mengikuti Cantika yang berjalan keluar rumah. “Gue anterin lo, Can…”***Motor Fandy yang berboncengan dengan Cantika tiba di parkiran rumah sakit. Cantika segera turun dari boncengan sambil mengembalikan helm pada Fa
“Silahkan duduk, Non Cantika,” ujar ramah seorang ART sambil mempersilakan Cantika di ruang tamu. “Saya sudah panggilkan Ibu, Non tunggu ya, sebentar lagi beliau turun.”Cantika mengangguk. “Makasih ya, Bik.”ART mengangguk sambil tersenyum kemudian bergegas pergi ke belakang.Cantika duduk lalu mengedar pandang. Dia perhatikan setiap sudut ruangan yang besar dan berinterior mewah itu, meski masih kalah dibanding rumah Robby maupun Rahadi. “Kapan ya terakhir aku ke sini?” gumamnya. Pandangannya terhenti pada sebuah bingkai foto kecil dengan hiasan kulit kerang. Dia pun beranjak mendekat ke meja tempat bingkai foto itu berada.“Masih aja dipajang.” Cantika mengangkat benda yang terpasang foto dirinya dan Dion saat purnawiyata SMP itu. Dia ingat betul, saat itu mereka berdua baru dikenalkan. Rahadi menggandengkan mereka sebagai sahabat, padahal ada maksud terselubung yaitu perjodohan.Cantik
Motor driver ojek online yang ditumpangi Cantika tiba di depan kontrakan Lian. Cantika segera turun dari motor, kemudian mengembalikan helm pada driver.“Makasih, Bang,” ucap Cantika sembari membayar ongkos pada driver tersebut. Setelah driver pergi, Cantika melangkah menuju kontrakan Lian dengan langkah gontai. Pikirannya masih melayang, teringat kembali dengan pembicaraan dengan Dion sebelumnya.“Gue sengaja nyuruh dia deketin lo, bikin lo baper trus bucin sama dia. Dan asal lo tahu, dia mau-mau aja sama suruhan gue itu karena gue bayar!” ucapan Dion terus berputar di kepala Cantika, membuatnya resah dan uring-uringan. Cantika menggeleng, berusaha menepis pikiran tersebut. Dion mungkin brengsek, tapi Lian tidak mungkin seperti itu.Cantika tiba di depan pintu rumah kontrakan Lian. Saat baru akan mengetuk pintunya, Cantika baru sadar jika pintu tersebut setengah terbuka. Cantika
Dengan langkah tertatih Lian berjalan tergesa menuju kontrakan Cantika sambil menempelkan hp-nya di telinga kanan. “Angkat dong, Can...” gumamnya. Padahal sejak tadi layar hp-nya menampilkan tulisan ‘memanggil’ bukan ‘berdering’, yang mana hal itu menandakan bahwa WA Cantika tidak kunjung aktif. Begitupun dengan chat yang dia kirim, sejak kemarin masih terus centang satu.Lian tahu Cantika memang marah besar padanya. Tapi dia coba percaya bahwa gadis itu masih ada di kontrakannya.“Can? Kamu di dalem, kan?” Lian coba menekan gagang pintu tapi terkunci. “Please, Can, buka pintunya!” teriaknya tidak sabar.Cantika tidak pernah menghilang seharipun dari pandangannya. Jadi ketika hal itu terjadi, Lian semakin menyalahkan diri. Bahkan pikiran-pikiran negatif memenuhi otaknya, takut jika gadis itu nekat lalu kenapa-napa.“Can! Cantika! Buka pintunya!” teriak Lian sambil me
Cantika terbangun karena mendengar suara alarm dari ponselnya. Dengan mata yang masih terpejam, Cantika meraba-raba meja kabinet yang ada di samping ranjang. Setelah mematikan alarm, Cantika berusaha bangkit meski sekujur tubuhnya terasa lemas. Cantika melangkah gontai menuju toilet yang ada di kamarnya, mencuci wajahnya di wastafel kemudian menatap refleksinya di cermin. Wajah Cantika terlihat kacau dengan lingkar hitam di sekitar matanya.“Gara-gara aku nggak bisa tidur semalem…” Cantika keluar lagi dari toilet, lalu berjalan malas kembali ke ranjang. Cantika masih sangat mengantuk saat ini, mungkin dia akan tidur lagi hingga tengah hari. Cantika meraih hp-nya sebelum rebahan di atas kasur. Dibukanya room chat WA dari Morgan.‘Pacar kamu ngajak ketemu jam 7 malam di taman Asther’Cantika termenung, pesan tersebut sebenarnya sudah Cantika terima dari semalam, tapi Cantika memutuskan untuk mengabaikannya. Cantika juga hera
“Bil!” panggil cewek jaket pink yang membonceng Syabila sepulang kuliah.“Apa?” sahut Syabila setengah berteriak. Maklum, pendengaran temannya menurun drastis saat pakai helm.“Gue turunin lo depan gang aja, ya? Gue masih trauma ama Papa lo gegara kita pulang malem waktu itu.”Syabila mendengus kesal. “Tega banget lo biarin gue jalan dari sana ke rumah, Sof!” gerutunya.“Yaelah... Gak ada setengah kilo, juga!” balas temannya. “Daripada dengerin Papa lo khotbah berjam-jam kan mending gue cepet pulang, mandi, rebahan.”Syabila berdecak. “Yaudah, iya!” Toh dia bersyukur tidak perlu berdesakan di angkot karena sedang tak enak badan, jadi saat temannya menawari tebengan gratis langsung dia iyakan.Tapi nyatanya motor matic besar keluaran terbaru yang ditumpangi Syabila itu terus melaju melewati pintu gang. Syabila heran, dia tepuk pundak pemboncengnya. &l
Gincu merah bata terpulas sempurna di bibir Cantika. Dia semprotkan face mist sebagai tahap terakhir ritual dandannya. Setelah menata rambut, dia sempatkan memandangi cermin yang memantulkan wajahnya.“Kalo gitu Kakek akan siapin semuanya! Kali ini akan kita bikin acara yang jauh lebih meriah!”Mendadak Cantika teringat lagi ucapan Rahadi yang penuh semangat setelah dia bilang mau bertunangan dengan Dion. Meski keputusannya itu terlalu impulsif karena marah pada Lian, tapi dia tidak berniat untuk berubah pikiran. Terlebih tekadnya sudah mantap akan menjalani hubungan dengan Dion mau bagaimanapun sikap dingin dan kasar cowok itu terhadapnya.Cantika berdecak. “Bodo, ah!” Dia sambar kunci mobil SUV-nya dari dalam laci meja rias lalu keluar kamar sambil mengenakan blazer flanel. Tak mau ambil pusing, dia putuskan untuk pergi bersenang-senang.Sejurus kemudian mobil Cantika melaju di jalanan kota yang ramai.
Cantika tak pernah menyangka jika acara pertunangannya dengan Dion digelar begitu cepat. Hanya berselang dua bulan setelah Cantika mengatakan jika dia setuju bertunangan dengan pria tersebut. Cantika mengerti— sepertinya Rahadi hanya takut jika Cantika akan berubah pikiran. Alasan lain adalah karena Cantika memang secara khusus meminta agar pertunangan kali ini digelar di rumah Rahadi saja, dan diadakan se-simple mungkin. Cantika agak malu jika acara pertunangan kali ini digelar besar-besaran lagi, dengan status Rahadi sebagai CEO perusahaan besar, media pasti akan hadir dan meliput acara dan memberitakan namanya sebagai perempuan yang demen gonta-ganti pasangan— Cantika tidak mau hal itu sampai terjadi.Bahkan Cantika berharap jika acara tersebut hanya disaksikan oleh orangtua Dion dan Rahadi saja, meski nyatanya tidak mungkin, karena Cantika masih memiliki kerabat yang harus hadir di acara sakral tersebut.Dan kini, Cantika sudah berdiri berhadap
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S
“Saya memohon restu Pak Rahadi untuk meminang Cantika menjadi istri saya,” terang Lian dengan suara tegas. Degup jantungnya menggebu sampai jemari tangannya sedikit gemetar bahkan keringat terus merembes keluar membasahi telapak tangan.Rahadi yang semula tampak sehat langsung merasa tak enak badan. Dadanya sakit, kepalanya berdenyut nyeri, tengkuk terasa panas. Agni yang menyadari sikap aneh Rahadi langsung panik lalu mengeceknya.“Ayah! Ayah kenapa?” Agni memegang bahu Rahadi. “Ada yang sakit?”Rahadi tidak menjawab. Dia coba mengatur napas dan menelan ludah untuk menyetabilkan emosi. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di ruangan itu panik juga, takut Rahadi kumat sakit jantungnya.Dengan napas berat Rahadi berujar, “Kamu masih tidak menyerah ya, Lian? Kamu anggap remeh saya?!” bentak Rahadi.Agni geleng kepala. “Ayah, tolong jangan mar
Lian duduk santai di salah satu café yang berjarak dekat dengan rumah sakit tempat Dokter Septian berpraktik. Hari itu cerah, namun pikiran Lian terombang-ambing dalam kegalauan yang mendalam. Setelah hasil tes DNA membuktikan bahwa dia memang anak biologis Septian, rasanya masih terasa aneh baginya. Tak lama kemudian, Dokter Septian datang dengan wajah berseri. Lian langsung memberikan senyuman dan menyapanya, “Selamat siang, Dok. Makasih udah meluangkan waktu.”Dokter Septian menjawab sapaan Lian dengan ramah, “Kenapa manggil ‘Dok’ lagi?”Lian baru menyadari jika dia salah menyebut panggilan untuk Septian. “Maaf—” Lian memang masih belum terbiasa memanggil Septian dengan sebutan Ayah. Rasanya masih begitu asing di lidahnya. Namun dia juga takut jika Septian akan merasa sedih jika dia tidak bersedia memanggilnya ayah.Melihat Lian yang terdiam kebingungan, Septian malah tertawa. “Ayah hany
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri