Cantika tak pernah menyangka jika acara pertunangannya dengan Dion digelar begitu cepat. Hanya berselang dua bulan setelah Cantika mengatakan jika dia setuju bertunangan dengan pria tersebut. Cantika mengerti— sepertinya Rahadi hanya takut jika Cantika akan berubah pikiran. Alasan lain adalah karena Cantika memang secara khusus meminta agar pertunangan kali ini digelar di rumah Rahadi saja, dan diadakan se-simple mungkin. Cantika agak malu jika acara pertunangan kali ini digelar besar-besaran lagi, dengan status Rahadi sebagai CEO perusahaan besar, media pasti akan hadir dan meliput acara dan memberitakan namanya sebagai perempuan yang demen gonta-ganti pasangan— Cantika tidak mau hal itu sampai terjadi.
Bahkan Cantika berharap jika acara tersebut hanya disaksikan oleh orangtua Dion dan Rahadi saja, meski nyatanya tidak mungkin, karena Cantika masih memiliki kerabat yang harus hadir di acara sakral tersebut.
Dan kini, Cantika sudah berdiri berhadap
Cantika memarkirkan mobilnya di tepi jalan tak jauh dari kediaman Rahadi. Dia hampiri Fandy yang bersandar di motor gedenya sambil melipat tangan di depan dada. “Mau ngomong apa lo? Buruan!” ketus Cantika. “Plin-plan banget ya lo jadi cewek. Kemaren maksa Lian jadi tunangan lo tapi sekarang lo malah tunangan sama Dion?” bentak Fandy. Cowok itu bahkan tidak mau menyembunyikan ekspresi marahnya pada Cantika. “Nggak usah munafik deh lo!” Cantika menoyor kening Fandy saking kesalnya. “Maksud lo apa?” Fandy melotot tak terima. “Nggak usah pura-pura lagi deh, Fan. Gue udah tahu semua kebohongan kalian!” Cantika meledak. “Selama ini Lian nge-treat gue baik gitu karena disuruh Dion, kan? Emang brengsek ya kalian!” Fandy tersentak. Dia tidak tahu kenyataan Cantika sudah mengetahui rahasia mereka bertiga karena Lian tidak cerita apapun lagi padanya. Jadi dia hanya terdiam, takut salah bicara. “Gue juga udah tahu kalo Lian cuma pur
Cantika mengedar pandang mencari Fandy di dalam cafe. Kemudian keduanya bertemu pandang. Fandy sedang duduk bersama Dion di ujung belakang dekat jendela. Fandy dan Dion yang melihat Cantika langsung melengos. “Males banget gue,” gumam Fandy. “Ya sama,” sahut Dion setengah berbisik. Cantika jalan mendekat. “Nggak usah bisik-bisik, kuping gue nggak budeg!” bentaknya. Padahal jarak mereka masih sekitar tiga meja. Semua pelanggan yang ada di situ sampai menoleh bahkan menatap jengkel pada Cantika. Fandy memutar bola mata. “Dateng-dateng sewot,” sindirnya. “Kalo bukan karena Lian juga gue males ngajak kalian ketemuan.” Cantika mendengus kesal. Dia lirik Dion yang sedang melihat ke arah lain. Tanpa pikir panjang, dia sambar gelas jus yang tersaji di meja seorang pelanggan, sampai pelanggan itu kaget, “Eh, Mbak?” Cantika mengangkat tangannya, memberi tanda untuk tidak usah ribut. Ketika sampai, dia siramkan jus itu di kepala Dion. Sontak Dion
Kursi roda Rahadi didorong oleh seorang pengawal hingga tiba di ruang tengah. Terlihat ruang tengah tersebut dipenuhi dengan barang-barang antik koleksi Rahadi, mulai dari lukisan hingga keramik. Rahadi melambaikan tangannya, memberi kode pada pengawalnya untuk meninggalkan ruang tengah. Pengawal itu mengangguk mengerti sebelum pergi meninggalkan Rahadi sendiri. Sembari menunggu Cantika selesai berganti pakaian, Rahadi meraih ponselnya dan melihat video di sana. Video Cantika yang ribut dengan Dion di sebuah café. Beberapa saat lalu, salah satu anak buahnya mengabari jika video Cantika viral di sosial media. Rahadi memang langsung minta anak buahnya turun tangan untuk mengatasi agar video viral tersebut tidak terus tersebar, namun Rahadi yakin jika masalah sebenarnya bukan karena video viral tersebut. Cantika muncul di hadapan Rahadi setelah berganti baju. “Kakek kenapa manggil aku?” “Kamu sebenernya kenapa?” tanya Rahadi dengan ekspresi lelah. Dia memang sangat lela
Mobil SUV Cantika meluncur ke area persawahan. Sesekali dia melirik hp-nya yang terpasang di phone holder. “Bener ini jalannya, kan?” gumamnya. Meski sempat ragu, dia coba meyakini jalan itu benar karena sudah beraspal dengan ukuran cukup lebar.Tak berselang lama, Cantika melihat gapura bertuliskan selamat datang di depan sana. Dia putuskan untuk berhenti, memotret gapura itu, lalu mengirimkannya via chat pada Sandi. Beberapa detik kemudian Sandi membalas dengan jawaban benar.“Oke, berarti ini bener tinggal belok kiri.” Cantika melajukan lagi mobilnya mengikuti petunjuk maps di hp. Dan benar saja, setelah itu dia mendapati banyak rumah bahkan pasar kecil. Dia merasa lega dan tentunya bangga karena dirinya bukan cewek yang buta maps. Tapi kemudian dadanya bergemuruh. Ini kan pertama kalinya dia mengunjungi rumah asli Lian. Terlebih dia datang di saat cowok itu sedang berkabung.“Wait! Wait!
Lian masih berdiri di antara Cantika dan Arumy yang sama-sama memegangi tangannya. Lian memerhatikan wajah Arumy yang pucat tengah menatapnya dengan ekspresi memohon. Lian tidak tega melihat itu, terlebih selama ini Lian sudah banyak berutang budi pada Ibunya yang sudah merawat Lian sejak kecil.“Kak, aku mohon… kak Lian di kampung aja ya, sama aku?” pinta Arumy lagi. Lian makin tercekat bingung. Bersamaan dengan itu, Lian merasa tangannya diremas oleh Cantika. Lian menoleh pada Cantika yang berdiri di sisi lainnya.“Aku nggak akan maksa kamu balik ke Jakarta kalo kamu emang mau tinggal di kampung, tapi aku harap kamu nggak nikahin adik angkat kamu cuma karena terpaksa,” ucap Cantika.Mendengar kata ‘terpaksa’ yang meluncur dari bibir Cantika, Arumy terlihat kesal. Arumy menatap Cantika dengan mata sinis, namun segera mengalihkan pandangannya. Lian yang masih bingung segera menarik tangannya yang dipegangi oleh Cantika
Cantika melangkah gontai menuju teras depan rumah penginapan. Pikirannya ruwet berkat adik angkat Lian yang dia rasa seperti sengaja membuat drama. Meski begitu dia sadar bahwa dirinya tidak berhak menyalahkan siapapun. Itulah yang membuatnya semakin galau.“Eh, ini kan Mbak artis Korea yang tadi di rumah Arumy?”Kegamangan Cantika seketika buyar. Dia menoleh dan mendapati seorang pemuda berkulit sawo matang legam dengan postur badan tinggi kekar. Cantika sempat terpaku memandangnya, hingga akhirnya menggeleng lalu memasang senyum datar.“Aku bukan artis Korea kok, Mas,” aku Cantika. Sebisa mungkin dia tidak pakai ‘lo-gue’ untuk menjaga kesopanan saat berbicara dengan orang kampung yang tak dikenal.Pemuda itu malah senyum lebar, dia gosokkan telapak tangan kanannya di celana lalu mengulurkan tangan. “Kenalin, namaku Kuncoro. Kalo boleh tahu nama Mbaknya siapa?”Cantika merasa aneh dengan sikap supel
Lian keluar dari kamarnya sambil menggoyang-goyangkan ponselnya, seolah berusaha menangkap jaringan internet yang tidak stabil. Lian melihat beberapa baris sinyal akhirnya muncul di sudut kanan layar ponselnya, Lian tersenyum lega dan langsung men-dial nomor Cantika. Beberapa saat menunggu, namun ternyata panggilan Lian tidak terhubung juga. Nomor Cantika sepertinya tidak aktif. Lian menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu sambil mendengus kesal. “Gini amat sih? Giliran aku coba telpon, gantian nomor Cantika yang nggak aktif.”Lian akhirnya membuka room chat WhatsApp di hp-nya, lalu mengetik pesan singkat untuk Cantika.‘Can, sejak balik ke Jakarta kenapa nggak ada kabar? Kakek kamu baik-baik aja kan?’ Lian segera mengirim pesan tersebut, namun hanya centang satu. Seperti rentetan pesan-pesan lain yang lebih dulu dikirim Lian sejak beberapa hari lalu. Sudah hampir seminggu Cantika kembali ke Jakarta, namun sejak saat
Lian, Sandi, dan Arumy duduk di ruang tengah. Arumy meremas-remas tangan, raut mukanya tampak kesal. Sandi mengurut kening. Lian hanya terdiam.Perasaan Lian berkecamuk. Dia cukup shock dengan perkataan Sandi bahwa wasiat mendiang ibu tentang pernikahannya dengan Arumy adalah kebohongan belaka. Padahal dirinya sampai dirundung galau, terutama saat kepulangan Cantika ke Jakarta. Tapi jauh di lubuk hatinya ada rasa lega. Tanpa sadar sudut bibir Lian terangkat sebentar. Dia tidak menyangka akan selega itu karena tidak perlu menikahi Arumy.“Tapi Bang Sandi gimana bisa tau kalo wasiat Ibu itu palsu?” tanya Lian memecah keheningan.“Selama beberapa minggu sebelum meninggal, aku kan terus nemenin Ibu,” jawab Sandi.“Gimana kalo ternyata Ibu kasih wasiat itu ke Arumy waktu kita masih di Jakarta?” Lian masih coba mengorek fakta agar benar-benar yakin bahwa wasiat pernikahannya itu tidak pernah ada.Sandi menghel