Lian, Sandi, dan Arumy duduk di ruang tengah. Arumy meremas-remas tangan, raut mukanya tampak kesal. Sandi mengurut kening. Lian hanya terdiam.
Perasaan Lian berkecamuk. Dia cukup shock dengan perkataan Sandi bahwa wasiat mendiang ibu tentang pernikahannya dengan Arumy adalah kebohongan belaka. Padahal dirinya sampai dirundung galau, terutama saat kepulangan Cantika ke Jakarta. Tapi jauh di lubuk hatinya ada rasa lega. Tanpa sadar sudut bibir Lian terangkat sebentar. Dia tidak menyangka akan selega itu karena tidak perlu menikahi Arumy.
“Tapi Bang Sandi gimana bisa tau kalo wasiat Ibu itu palsu?” tanya Lian memecah keheningan.
“Selama beberapa minggu sebelum meninggal, aku kan terus nemenin Ibu,” jawab Sandi.
“Gimana kalo ternyata Ibu kasih wasiat itu ke Arumy waktu kita masih di Jakarta?” Lian masih coba mengorek fakta agar benar-benar yakin bahwa wasiat pernikahannya itu tidak pernah ada.
Sandi menghel
Fandy sedang menyetir mobilnya sambil manggut-manggut saat mendengarkan cerita Lian yang begitu dramatis. Lian yang duduk di sampingnya tampak mengurut kening dengan kepala yang bersandar pada jendela mobil.“Gue nggak nyangka kalo Arumy sampe kayak gitu— gue sayang sama Arumy, Fan. Tapi nggak lebih dari saudara,” keluh Lian sambil memejamkan matanya. Fandy melirik ke arah spion untuk memerhatikan ekspresi lelah sahabatnya itu. Perjalanan dari kampung sebenarnya tak lebih dari lima jam, namun tenaga Lian seolah terkuras. Fandy tahu yang membuat Lian kelelahan adalah drama kehidupan di kampung, bukan karena perjalanan.“Tapi harus banget kamu pergi nggak pamit dulu sama Arumy?” tanya Fandy.Kedua mata Lian yang awalnya tertutup jadi terbuka, Lian menoleh pada Fandy dengan ekspresi tak habis pikir. “Dari semua cerita gue tadi, lo sebenernya nyambung gak sih? Arumy itu secara nggak langsung mau nge-pasung gue. Lo bayangin aja deh
Agni dan Oda, suaminya, berhasil membujuk Cantika untuk pulang ke kediaman Rahadi setelah gadis itu bersikeras ingin terus menemani kakeknya di rumah sakit saja. Keduanya mengantar sampai ke mobil di halaman parkir. Bahkan menyuruh Navi dan Mika menemani Cantika, karena mereka tidak yakin apa yang akan dilakukan ponakan satu-satunya itu jika dibiarkan sendirian.“Pokoknya sampai di rumah nanti kalian telfon Bunda, ya,” titah Agni pada Navi dan Mika yang duduk di kursi depan. Kedua anaknya hanya mengangguk mengiyakan.Agni beralih menuju kursi belakang. “Can, habis ini kamu mandi trus harus buruan makan. Kamu kan nggak makan dari kemarin. Janji sama Tante, ya?” pintanya.Cantika mengangguk pelan. “Iya, Tante. Nanti aku makan.”“Yang banyak. Jangan sampe Navi sama Mika laporan sama Tante, kalo kamu cuma makan sedikit,” Agni setengah melotot saat mengancam Cantika.“Iya,” jawab Cantika singka
Mobil Fandy berhenti di halaman rumah kontrakan. Lian turun lebih dulu, kemudian bergegas membuka pintu belakang mobil Fandy lalu mengangkat pet bag berisi kucing oranye kesayangannya. Lian langsung membuka bagian resletingnya, membiarkan Lilo melongokkan kepalanya dari sana. Lian tersenyum dan mengecup kepala Lilo yang mengeong beberapa kali saat Lian mengusap kepalanya.“Kamu pasti engap banget seharian di tas, sekarang udah bisa main.” Lian menurunkan Lilo, membiarkan kucing tersebut berlarian di halaman rumah yang penuh dengan rerumputan. Fandy turun dari mobil langsung sambil geleng kepala melihat Lian yang tertawa-tawa melihat anabulnya kegirangan saat gegulingan di rumput.Tak lama setelah itu, Agus— pemilik kontrakan sekaligus Ayah Syabila datang menghampiri Lian dan Fandy. Sebelumnya Lian sudah mengabari Agus via chat jika Lian memang berniat kembali mengontrak rumah tersebut.“Mas Lian, untung cepet balik. Kalo kelamaan
Lian mulai tidak sabar. Dia butuh kejelasan soal hubungannya dengan Cantika terutama hubungan cewek itu dengan Dion. Daripada terus penasaran, dia pun coba menelepon nomor Cantika lagi. Kali ini panggilannya terhubung, seketika dia merasa punya harapan, tapi ternyata tidak diangkat.“Sebelumnya nggak aktif, sekarang nggak diangkat...” gumam Lian yang makin penasaran. Lalu kembali dicobanya menghubungi Cantika. Namun hingga beberapa kali dial tetap tidak diterima.Lian gelisah lagi. Dia putar otak dan memutuskan untuk menghubungi Dion. Tapi nomor sahabatnya itu malah tidak aktif. Lian mendengus kesal dan putus asa.“Heran, deh! Sebenernya hubungan kita sekarang tuh apa, Can?” gerutu Lian di depan layar HP seolah sedang bicara langsung dengan Cantika. “Kenapa kamu sama Dion sulit dihubungi, sih?”Lian mengurut kening. Dia merasa seperti terpontang-panting. “Apa emang udah nggak ada yang perlu dibahas lagi s
Cantika buru-buru meraih hp-nya yang tersimpan dalam sling bag dan memeriksanya. Sejak tadi pagi hp Cantika memang dalam kondisi silent, karena dia harus ke kantor Rahadi dan meeting dengan beberapa dewan direksi, membahas kepemimpinan sementara. “Sorry, Yank. Dari tadi pagi hp aku silent,” jelas Cantika.“Aku hubungin kamu dari seminggu lalu, tapi hp kamu nggak aktif.”“Hp aku emang sempet rusak, makanya aku service dulu,” jelas Cantika. Lian hanya diam. Cantika menyadari jika Lian sedang kesal. “Aku sebenernya bisa aja beli baru, tapi di hp itu kan banyak foto-foto kamu yang aku ambil diam-diam, Yank. Jadi mending aku service aja.”Lian hanya diam.“Jangan marah, Yank. Aku beneran nggak sempet pegang hp tadi. Aku sibuk banget di kantor, gara-gara kakek sakit. Aku jadi terpaksa urus masalah perusahaan. Kamu tau sendiri, aku nggak begitu ngerti urusan kantor
Sambil menahan kesal, Lian masih sempat bersyukur ada driver ojol yang lokasinya dekat dengan posisi dia di rumah Rahadi. Jadi tidak butuh waktu lama untuknya pergi karena malas bertengkar terus dengan Cantika.“Bang, bisa ngebut dikit, nggak?” tanya Lian. Driver ojol malah protes. “Ini kan jalan raya Mas, bukan sirkuit. Ntar kalo ngebut-ngebut terus nabrak, pegimane? Sebagai driver ojol, tugas saya bukan cuma nganter customer sampe tujuan, Mas— tapi juga menjaga keselamatan juga. Saya kagak mau kalo penumpang saya sampe kenapa-napa di jalan.”Lian bengong mendengar cerocosan driver tersebut. “Yaudah sih, Bang.”Tiba-tiba motor ojol dipepet mobil Cantika sampai Lian dan driver sama-sama kaget dibuatnya. “Waduh, ada apa nih?” driver ojol kebingungan.Cantika membuka jendela mobil lalu berteriak, “Stop! Berentiin motor kamu, Bang!&rdquo
Cantika terlihat sangat emosi melihat Navi yang masih berdiri menunjukkan muka lempeng seolah dia tidak merasa bersalah sama sekali. Cantika menahan geram, karena fokusnya kini tertuju pada Lian yang masih di posisi jatuhnya. Dengan wajah cemas Cantika membantu Lian bangkit. Ada bercak merah mengintip di sudut bibir Lian. Cantika refleks menyentuh sudut bibir itu dan spontan membuat Lian meringis kesakitan. “Aw…”Cantika makin panik karena khawatir, “Sakit banget? Kita ke rumah sakit ya?”“Nggak usah lebay…” komen Navi. Cantika menoleh pada sepupunya yang bertubuh mungil dan menggemaskan itu, saking menggemaskannya Cantika sangat ingin meraup mukanya. “Lo apa-apaan sih, Navi? Kenapa lo mukul Lian?”“Salah gue di mana?” Navi menaikkan sebelah alisnya. “Gue kan cuma bantuin sepupu ‘tersayang’ gue— yang lagi berantem di pinggir jalan,” sarkas Navi penuh penekanan
“Iri bilang, Boss!” sengak Cantika sambil menjulurkan lidah meledek Navi. Setahu Cantika, selama ini Navi betah menjomlo meski umurnya hampir kepala tiga. Pasti karena hatinya yang sebeku bongkahan es Antartika. Cantika bahkan heran, bagaimana bisa Navi menjadi editor novel romansa profesional kalau di real life-nya tidak punya pengalaman.Navi dongkol dengan balasan Cantika. Refleks tangannya menoyor kepala sepupunya itu. “Bikin malu aja!”Cantika melotot. Lian berdeham, salah tingkah. “Udah lah, Can.” Lian menghentikan perhatian manja Cantika terhadapnya.“Trus gimana setelah ini?” tanya Navi. “Cantika kan udah terlanjur tunangan sama Dion, nih.” Meski sendirinya penasaran, tapi sejujurnya Navi tidak ingin buang waktu untuk membantu Cantika dan Lian mendapatkan titik terang.“Kan baru tunangan, belum nikah,” jawab Cantika dengan santainya.Navi mengernyit. Lian terdi