“Iri bilang, Boss!” sengak Cantika sambil menjulurkan lidah meledek Navi. Setahu Cantika, selama ini Navi betah menjomlo meski umurnya hampir kepala tiga. Pasti karena hatinya yang sebeku bongkahan es Antartika. Cantika bahkan heran, bagaimana bisa Navi menjadi editor novel romansa profesional kalau di real life-nya tidak punya pengalaman.
Navi dongkol dengan balasan Cantika. Refleks tangannya menoyor kepala sepupunya itu. “Bikin malu aja!”
Cantika melotot. Lian berdeham, salah tingkah. “Udah lah, Can.” Lian menghentikan perhatian manja Cantika terhadapnya.
“Trus gimana setelah ini?” tanya Navi. “Cantika kan udah terlanjur tunangan sama Dion, nih.” Meski sendirinya penasaran, tapi sejujurnya Navi tidak ingin buang waktu untuk membantu Cantika dan Lian mendapatkan titik terang.
“Kan baru tunangan, belum nikah,” jawab Cantika dengan santainya.
Navi mengernyit. Lian terdi
Dion, Cantika, Navi, Fandy dan Lian saat ini sedang berada di private room yang ada di salah satu café. Lian duduk canggung saat berhadapan dengan Dion. Hingga saat ini, dia tidak tahu harus bagaimana bicara dengan Dion. Meski Lian jelas tahu jika Dion tidak memiliki perasaan pada Cantika, namun tetap saja Lian merasa tidak enak hati jika memiliki hubungan dengan tunangan sahabatnya sendiri.Lian berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan memerhatikan tiap sudut private room yang terlihat sangat berkelas. Desain interior ruangannya begitu mewah, dinding-dindingnya dihiasi dengan dekorasi elegan, mulai dari karya seni kontemporer hingga lukisan-lukisan klasik. Lampu gantung kristal bersinar agak redup, namun justru itu yang membuat pencahayaan di ruangan tersebut terasa lembut.“Ngapain sih lo?” Lamunan Lian buyar saat tiba-tiba pinggangnya disikut oleh Fandy. Lian menggeleng dan berusaha bersikap santai. “Nggak ngapa-ngapain.”
Semua yang ada di ruangan itu seketika membatu. Tindakan Cantika melempar spaghetti pada Dion benar-benar di luar dugaan. Saking kagetnya bahkan Dion tidak bereaksi sampai spaghetti di wajahnya jatuh sendiri. Barulah dia meraup sisa-sia saus dan topping di wajah dengan tangannya supaya matanya bisa terbuka. “Cantika!” serunya dengan suara lantang hingga bergema memenuhi ruangan.Dion menyambar sepotong cheese cake di sebelah piring spaghetti lalu menimpukkannya di wajah Cantika. Semua terkejut. Situasi makin tegang saat Dion malah dengan santai memulaskan kue itu ke seluruh wajah sampai ke rambut Cantika.“Stop!” bentak Cantika sambil mendorong dada Dion sampai pemuda itu limbung.Dion terbahak-bahak. “Cocok banget lo, Can! Jadi makin mirip mak lampir beneran!” makinya dengan ekspresi puas.Navi, Fandy, dan Lian terbelalak melihat sikap kekanakan dua orang itu. Canti
Cantika duduk tegap menghadap ke para dewan direksi perusahaan yang didirikan oleh kakeknya. Dengan mengenakan blazer dan rok plisket berwarna beige, Cantika terlihat begitu elegan dan percaya diri di tengah rapat penting ini. Namun, kepercayaan diri Cantika itu bagaikan tameng yang menutupi perasaan gugupnya saat beberapa dewan direksi memandangnya dengan tatapan kritis.“Kami merasa perlu membahas ini secara terbuka, Bu Cantika,” ucap Budi, salah satu dewan direksi yang terlibat dalam meeting kali ini. “Mengenai arah yang akan diambil oleh perusahaan ini. Kami mengerti situasi saat ini sulit, tapi kami juga perlu memastikan bahwa keputusan yang diambil untuk perusahaan ini didasarkan pada kapasitas dan pengalaman yang kuat.”Cantika sangat mengerti jika saat ini banyak yang meragukan posisinya di perusahaan. Sejatinya Cantika sendiri juga keberatan jika harus terlibat dengan urusan bisnis yang di luar kapasitasnya— namun Cantika
“Padahal selama ini aku berusaha bagi waktuku di tengah sibuk-sibuknya ngurus butik sama ngerodi di kantor Kakek!” gerutu Cantika di voice note terakhirnya. Dia kirim VN itu pada Lian lalu melempar HP-nya ke jok sebelah.Cantika meletakkan keningnya di setir. “Trus sekarang gimana nih enaknya?” gumam Cantika. “Mau pulang, males. Mau kemana, juga bingung.” Cantika mendengus lelah.“Pengen ketemu Lian. Tapi ntar malah gangguin kerjaan dia.” Cantika sangsi Lian akan senang dengan kunjungannya. Dia juga tidak ingin ribut lagi kalau Lian mengomeli.Cantika menoleh ke luar kaca mobil. Matanya langsung membulat sempurna saat melihat ada anak kucing berjalan pincang di tepi jalan. Cantika merasa kasihan, dia panik saat anak kucing itu melangkah ke jalan aspal.“No, no, no! Kucing, stop!” teriaknya dari dalam mobil. Dia segera melepas seatbelt dan berjingkat keluar. Ber
Di halaman samping rumah Rahadi, sudah ada kandang kucing yang sebelumnya dibeli oleh Navi atas permintaan Cantika. Kandang kucing tersebut memiliki beberapa tingkat, dengan tangga kayu yang terhubung dengan jembatan kecil di antara area tidur dan tempat bermainnya. Di bagian tempat tidurnya juga sudah dilengkapi dengan bed yang terbuat dari kain yang lembut. Cantika tampak antusias melihat kandang tersebut.“Udah gue beliin yang seperti request lo yang ribet itu. Sesuai nggak?” tanya Navi. Cantika mengacungkan jempolnya, sudah puas dengan kandang pilihan Navi yang bahkan lebih bagus dari yang dia bayangkan. “Kalau tinggal di rumah sebagus ini, Mochi pasti suka.”“Mochi? Namanya Mochi?” tanya Navi sambil memerhatikan kucing abu-abu kopi susu yang ada dalam dekapan Cantika.“Iya Mochi Matsumoto—” ucap Cantika dengan entengnya menyebut marga yang disandang Navi.“Sialan, lo pake n
“Andai dari dulu aku nurutin kata Kakek buat belajar ngurus perusahaan.” Cantika menunduk dan menutup wajahnya dengan tangan. Lian mengusap punggung gadis itu. “Sekarang aku baru sadar, aku nyesel, Lian. Aku ngerasa kalah dari Gilang, dia udah nyuri start dari awal.” Dada Cantika sampai naik turun menahan emosinya yang labil.“Bentar, Can. Gilang tuh siapa?” tanya Lian penasaran.Cantika menoleh pelan. “Aku belum pernah cerita soal dia, ya?”Lian mengangguk. Cantika menyerongkan kaki menghadap Lian. “Gilang itu nama adik tiri aku. Anak Papa sama istri barunya. Umurnya cuma setahun di bawahku dan tercantum ke kartu keluarga pas aku mulai masuk TK,” terang Cantika.Lian terkejut mendengar itu. Dia jadi makin sulit memberi respon karena itu menyangkut masalah keluarga Cantika. Dia tidak bisa berkomentar apa-apa. Terlebih yang dia tahu mama Cantika memang sudah meninggal, hanya saja tidak me
Cantika duduk di sudut ruang tamu, posisinya agak jauh dari Robby—seolah sengaja memberi jarak. Meski berada di dalam satu ruangan, namun terasa seperti ada dinding tak kasat mata di antara mereka. Selama beberapa saat, keduanya sama-sama diam hingga membuat suasana seperti membeku. Beberapa kali Cantika melirik ke arah Robby, namun saat mata Robby bertemu tatap dengannya, Cantika buru-buru mengalihkan pandangannya.“Papa sebenernya mau ngapain ke sini? Bukannya papa udah dapet yang papa mau?” tanya Cantika dengan suara datar. Meski sebenarnya Cantika kurang suka dengan Robby, namun dia tidak bisa menyangkal jika laki-laki yang duduk satu ruangan dengannya adalah orangtua kandungnya.“Emang salah kalo papa pengen jengukin anak sendiri?” jawab Robby basa-basi. Cantika tersenyum garing, dia tahu betul jika itu bukan tujuan Robby datang ke sini.“Papa nggak usah basa basi deh.” Cantika menyandarkan tubuhnya pada sandaran so
Sudah cukup jauh Cantika menyetir mobilnya meninggalkan halaman parkir kantor Rahadi. Dia masih jengkel jika mengingat sikap sok Gilang tadi. “Lo tuh nggak ada hubungan darah, belagu!” amuk Cantika sambil mengerem di perempatan lampu merah. Napasnya memburu karena dikuasai amarah. Dia bersyukur bisa menahan marah dan tetap cool saat menghadapi adik tirinya itu.“Bikin orang darah tinggi aja!” gerutu Cantika. Dia kembali melajukan mobil saat lampu hijau menyala.Selama perjalanan, Cantika sesekali melirik spion. Dahinya mengernyit saat melihat mobil yang sama terus melaju di belakangnya. Mobil jeep warna marun kusam yang jarang dia temui di jalanan besar. “Apaan sih tuh mobil? Perasaan dari tadi di belakang mulu, nggak nyalip kek, apa kek,” herannya.Tapi Cantika tidak mau ambil pusing. Fokusnya sekarang dia ingin mendinginkan kepala dan menghibur hatinya dengan bertemu Lian. Cantika membelokkan mobilnya di klinik hewa