Di halaman samping rumah Rahadi, sudah ada kandang kucing yang sebelumnya dibeli oleh Navi atas permintaan Cantika. Kandang kucing tersebut memiliki beberapa tingkat, dengan tangga kayu yang terhubung dengan jembatan kecil di antara area tidur dan tempat bermainnya. Di bagian tempat tidurnya juga sudah dilengkapi dengan bed yang terbuat dari kain yang lembut. Cantika tampak antusias melihat kandang tersebut.
“Udah gue beliin yang seperti request lo yang ribet itu. Sesuai nggak?” tanya Navi. Cantika mengacungkan jempolnya, sudah puas dengan kandang pilihan Navi yang bahkan lebih bagus dari yang dia bayangkan. “Kalau tinggal di rumah sebagus ini, Mochi pasti suka.”
“Mochi? Namanya Mochi?” tanya Navi sambil memerhatikan kucing abu-abu kopi susu yang ada dalam dekapan Cantika.
“Iya Mochi Matsumoto—” ucap Cantika dengan entengnya menyebut marga yang disandang Navi.
“Sialan, lo pake n
“Andai dari dulu aku nurutin kata Kakek buat belajar ngurus perusahaan.” Cantika menunduk dan menutup wajahnya dengan tangan. Lian mengusap punggung gadis itu. “Sekarang aku baru sadar, aku nyesel, Lian. Aku ngerasa kalah dari Gilang, dia udah nyuri start dari awal.” Dada Cantika sampai naik turun menahan emosinya yang labil.“Bentar, Can. Gilang tuh siapa?” tanya Lian penasaran.Cantika menoleh pelan. “Aku belum pernah cerita soal dia, ya?”Lian mengangguk. Cantika menyerongkan kaki menghadap Lian. “Gilang itu nama adik tiri aku. Anak Papa sama istri barunya. Umurnya cuma setahun di bawahku dan tercantum ke kartu keluarga pas aku mulai masuk TK,” terang Cantika.Lian terkejut mendengar itu. Dia jadi makin sulit memberi respon karena itu menyangkut masalah keluarga Cantika. Dia tidak bisa berkomentar apa-apa. Terlebih yang dia tahu mama Cantika memang sudah meninggal, hanya saja tidak me
Cantika duduk di sudut ruang tamu, posisinya agak jauh dari Robby—seolah sengaja memberi jarak. Meski berada di dalam satu ruangan, namun terasa seperti ada dinding tak kasat mata di antara mereka. Selama beberapa saat, keduanya sama-sama diam hingga membuat suasana seperti membeku. Beberapa kali Cantika melirik ke arah Robby, namun saat mata Robby bertemu tatap dengannya, Cantika buru-buru mengalihkan pandangannya.“Papa sebenernya mau ngapain ke sini? Bukannya papa udah dapet yang papa mau?” tanya Cantika dengan suara datar. Meski sebenarnya Cantika kurang suka dengan Robby, namun dia tidak bisa menyangkal jika laki-laki yang duduk satu ruangan dengannya adalah orangtua kandungnya.“Emang salah kalo papa pengen jengukin anak sendiri?” jawab Robby basa-basi. Cantika tersenyum garing, dia tahu betul jika itu bukan tujuan Robby datang ke sini.“Papa nggak usah basa basi deh.” Cantika menyandarkan tubuhnya pada sandaran so
Sudah cukup jauh Cantika menyetir mobilnya meninggalkan halaman parkir kantor Rahadi. Dia masih jengkel jika mengingat sikap sok Gilang tadi. “Lo tuh nggak ada hubungan darah, belagu!” amuk Cantika sambil mengerem di perempatan lampu merah. Napasnya memburu karena dikuasai amarah. Dia bersyukur bisa menahan marah dan tetap cool saat menghadapi adik tirinya itu.“Bikin orang darah tinggi aja!” gerutu Cantika. Dia kembali melajukan mobil saat lampu hijau menyala.Selama perjalanan, Cantika sesekali melirik spion. Dahinya mengernyit saat melihat mobil yang sama terus melaju di belakangnya. Mobil jeep warna marun kusam yang jarang dia temui di jalanan besar. “Apaan sih tuh mobil? Perasaan dari tadi di belakang mulu, nggak nyalip kek, apa kek,” herannya.Tapi Cantika tidak mau ambil pusing. Fokusnya sekarang dia ingin mendinginkan kepala dan menghibur hatinya dengan bertemu Lian. Cantika membelokkan mobilnya di klinik hewa
Arumy sampai di Jakarta. Dia terlihat bingung karena baru pertama kali bepergian sendiri. Terlebih sekalinya pergi langsung ke tempat yang jauh. Arumy celingukan sambil jalan pelan keluar terminal. “Aku musti gimana sekarang?”Seorang pria mendekati Arumy. Arumy kaget dan langsung mendekap totebag-nya erat-erat. Pria beruban yang menyampirkan handuk kecil di pundaknya itu memerhatikan Arumy dari atas ke bawah dan ke atas lagi lalu tersenyum. “Neng mau kemana? Mari naik angkot Bapak?” tawarnya dengan ramah.Arumy hanya menggeleng. Si pria ubanan menghela napas. “Neng ini pasti baru pertama ke Jakarta, kan?”Arumy mengangguk ragu-ragu. “Kok Bapak tahu?”Pria supir angkot itu tertawa. “Bapak udah puluhan tahun di sini, jadi hapal.” Dia agak mendekat ke Arumy. Tapi Arumy menjauh. “Nggak apa-apa kalo Neng nggak mau naik angkot Bapak. Udah bener banget Neng bersikap hati-hati sama orang
Arumy melangkah keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Arumy tanpa sadar mengedarkan mata ke sekeliling, tatapan takjupnya terpancar jelas di wajahnya. Meski selama ini dia tahu jika Kuncoro kaya raya dan punya banyak penginapan di berbagai daerah, namun dia tidak menyangka rumah Kuncoro di Jakarta bisa semewah ini.Arumy mengamati segala sudut rumah yang dipenuhi dengan perabotan elegan dan terkesan mewah, seperti keramik hingga ornamen dinding yang terlihat sangat mahal. Arumy mendekat pada keramik yang ada di sudut ruang. Dengan gerakan yang nyaris tak terasa, ujung jari Arumy menyentuh permukaan keramik yang dihiasi dengan motif kisah-kisah zaman yang terlupakan.“Kayaknya ini barang mahal…” gumam Arumy tanpa sadar saat terpana dengan keindahan keramik tersebut. Arumy baru tersadar jika dia terlalu lama terlena dengan kemegahan rumah Kuncoro. “Kenapa aku malah sibuk liatin rumah Mas Kuncoro sih?”Arum
“Kalian mau apa?” teriak Arumy sambil berlari menghampiri. Tubuh Arumy gemetar, terlebih saat melihat tubuh Cantika yang lunglai akibat dibekap dengan obat bius. Tak lama kemudian Cantika benar-benar kehilangan kesadaran, dan salah satu dari orang berpenutup kepala itu segera menangkap tubuh Cantika yang limbung.“Jangan bawa Cantika… jangan…” Arumy makin panik. Arumy refleks menarik-narik tangan pria yang menggendong tubuh Cantika. Meski dia tidak menyukai perempuan yang jadi tunangan Lian, namun Arumy tetap tidak bisa membiarkan Cantika diculik di depan matanya.Tiga orang pria lainnya berusaha menarik tubuh Arumy, namun Arumy justru terus meronta.“Tolooong… toloong…” Arumy berteriak-teriak meminta pertolongan, namun sialnya situsi di sekitarnya sedang sepi. Tak ada seorang pun yang muncul membantu. Arumy dilanda kekalutan luar biasa, namun tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya terpukul deng
Cantika kesal karena ucapan Arumy seperti meremehkannya. Tapi dia tahan saja mengingat situasi mereka dalam bahaya. “Kamu percaya aja sama aku. Gimana pun caranya akan aku usahain lepas ikatan kamu.” Tangan Cantika mulai bekerja. Dia raba-raba ikatan Arumy untuk mempelajari simpulnya.Selama beberapa saat Cantika berusaha, nyatanya ikatan itu cukup rumit juga. Tapi bukannya tidak ada hasil sama sekali, Cantika berhasil sedikit melonggarkan ikatan Arumy. “Dikit lagi,” gumamnya dengan percaya diri.Arumy antusias. Dia senang jika benar-benar bisa bebas. “Kalo gitu cepetan, dong!” desaknya.“Sabar,” sahut Cantika. Tangan Cantika yang mulai lelah malah tiba-tiba kram. “Aduh!” pekiknya lirih.“Ada apa? Kenapa berhenti? Belum kebuka ini,” protes Arumy.Cantika menahan kram di tangannya sampai berkeringat. “Maafin aku...” gumamnya.“Kenapa kamu malah minta maa
Tubuh lemas Arumy sudah diangkat warga untuk dibawa ke klinik. Bersamaan dengan itu Kuncoro menyibak kerumunan warga dan menatap pada Arumy yang sudah tak berdaya digendong salah satu warga.“Arumy…” gumam Kuncoro masih terlihat shock melihat keadaanya. “Arumy…” Kuncoro berniat meraih tubuh Arumy, namun beberapa warga langsung menghadangnya.“Mas siapa?” sinis salah satu warga.“Saya pacarnya,” aku Kuncoro. “Biar saya saja yang bawa dia ke rumah sakit.”Setelah mengantakan itu, beberapa warga tak begitu saja percaya dengan penjelasan Kuncoro. Bahkan tak sedikit dari mereka yang justru melemparkan tatapan penuh curiga pada Kuncoro.“Saya nggak percaya,” tandas seorang ibu-ibu dengan ketus. “Bisa aja mas cuma ngaku-ngaku, cuma pengen manfaatin keadaan.”Warga lain mengangguk seolah merasakan kecurigaan yang sama dengan si ibu tadi. Kuncor