Arumy sampai di Jakarta. Dia terlihat bingung karena baru pertama kali bepergian sendiri. Terlebih sekalinya pergi langsung ke tempat yang jauh. Arumy celingukan sambil jalan pelan keluar terminal. “Aku musti gimana sekarang?”
Seorang pria mendekati Arumy. Arumy kaget dan langsung mendekap totebag-nya erat-erat. Pria beruban yang menyampirkan handuk kecil di pundaknya itu memerhatikan Arumy dari atas ke bawah dan ke atas lagi lalu tersenyum. “Neng mau kemana? Mari naik angkot Bapak?” tawarnya dengan ramah.
Arumy hanya menggeleng. Si pria ubanan menghela napas. “Neng ini pasti baru pertama ke Jakarta, kan?”
Arumy mengangguk ragu-ragu. “Kok Bapak tahu?”
Pria supir angkot itu tertawa. “Bapak udah puluhan tahun di sini, jadi hapal.” Dia agak mendekat ke Arumy. Tapi Arumy menjauh. “Nggak apa-apa kalo Neng nggak mau naik angkot Bapak. Udah bener banget Neng bersikap hati-hati sama orang
Arumy melangkah keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Arumy tanpa sadar mengedarkan mata ke sekeliling, tatapan takjupnya terpancar jelas di wajahnya. Meski selama ini dia tahu jika Kuncoro kaya raya dan punya banyak penginapan di berbagai daerah, namun dia tidak menyangka rumah Kuncoro di Jakarta bisa semewah ini.Arumy mengamati segala sudut rumah yang dipenuhi dengan perabotan elegan dan terkesan mewah, seperti keramik hingga ornamen dinding yang terlihat sangat mahal. Arumy mendekat pada keramik yang ada di sudut ruang. Dengan gerakan yang nyaris tak terasa, ujung jari Arumy menyentuh permukaan keramik yang dihiasi dengan motif kisah-kisah zaman yang terlupakan.“Kayaknya ini barang mahal…” gumam Arumy tanpa sadar saat terpana dengan keindahan keramik tersebut. Arumy baru tersadar jika dia terlalu lama terlena dengan kemegahan rumah Kuncoro. “Kenapa aku malah sibuk liatin rumah Mas Kuncoro sih?”Arum
“Kalian mau apa?” teriak Arumy sambil berlari menghampiri. Tubuh Arumy gemetar, terlebih saat melihat tubuh Cantika yang lunglai akibat dibekap dengan obat bius. Tak lama kemudian Cantika benar-benar kehilangan kesadaran, dan salah satu dari orang berpenutup kepala itu segera menangkap tubuh Cantika yang limbung.“Jangan bawa Cantika… jangan…” Arumy makin panik. Arumy refleks menarik-narik tangan pria yang menggendong tubuh Cantika. Meski dia tidak menyukai perempuan yang jadi tunangan Lian, namun Arumy tetap tidak bisa membiarkan Cantika diculik di depan matanya.Tiga orang pria lainnya berusaha menarik tubuh Arumy, namun Arumy justru terus meronta.“Tolooong… toloong…” Arumy berteriak-teriak meminta pertolongan, namun sialnya situsi di sekitarnya sedang sepi. Tak ada seorang pun yang muncul membantu. Arumy dilanda kekalutan luar biasa, namun tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya terpukul deng
Cantika kesal karena ucapan Arumy seperti meremehkannya. Tapi dia tahan saja mengingat situasi mereka dalam bahaya. “Kamu percaya aja sama aku. Gimana pun caranya akan aku usahain lepas ikatan kamu.” Tangan Cantika mulai bekerja. Dia raba-raba ikatan Arumy untuk mempelajari simpulnya.Selama beberapa saat Cantika berusaha, nyatanya ikatan itu cukup rumit juga. Tapi bukannya tidak ada hasil sama sekali, Cantika berhasil sedikit melonggarkan ikatan Arumy. “Dikit lagi,” gumamnya dengan percaya diri.Arumy antusias. Dia senang jika benar-benar bisa bebas. “Kalo gitu cepetan, dong!” desaknya.“Sabar,” sahut Cantika. Tangan Cantika yang mulai lelah malah tiba-tiba kram. “Aduh!” pekiknya lirih.“Ada apa? Kenapa berhenti? Belum kebuka ini,” protes Arumy.Cantika menahan kram di tangannya sampai berkeringat. “Maafin aku...” gumamnya.“Kenapa kamu malah minta maa
Tubuh lemas Arumy sudah diangkat warga untuk dibawa ke klinik. Bersamaan dengan itu Kuncoro menyibak kerumunan warga dan menatap pada Arumy yang sudah tak berdaya digendong salah satu warga.“Arumy…” gumam Kuncoro masih terlihat shock melihat keadaanya. “Arumy…” Kuncoro berniat meraih tubuh Arumy, namun beberapa warga langsung menghadangnya.“Mas siapa?” sinis salah satu warga.“Saya pacarnya,” aku Kuncoro. “Biar saya saja yang bawa dia ke rumah sakit.”Setelah mengantakan itu, beberapa warga tak begitu saja percaya dengan penjelasan Kuncoro. Bahkan tak sedikit dari mereka yang justru melemparkan tatapan penuh curiga pada Kuncoro.“Saya nggak percaya,” tandas seorang ibu-ibu dengan ketus. “Bisa aja mas cuma ngaku-ngaku, cuma pengen manfaatin keadaan.”Warga lain mengangguk seolah merasakan kecurigaan yang sama dengan si ibu tadi. Kuncor
Fandy yang sedang melahap burger di depan Lian langsung heran mendengar Lian berbicara di telepon tampak resah sambil menyebut nama Arumy. “Adek angkat lo kenapa?” tanyanya sambil mencocolkan kentang goreng ke saus sambal.Lian mengangkat sebelah tangannya, bermaksud untuk menyuruh Fandy diam. “Apa?!” teriak Lian tiba-tiba. Matanya terbelalak kaget mendengar penuturan Arumy tentang dirinya yang diculik bersama Cantika.Fandy semakin keheranan. Melihat Lian panik membuatnya sangat penasaran. “Ada apaan sih sebenernya?” gumamnya. Meski begitu dia hanya bisa diam.“Kejadiannya di mana?” tanya Lian. Dia langsung berdiri dan mondar-mandir di depan Fandy.“Aku nggak tau, Kak...” jawab Arumy di seberang telepon sambil sesenggukan. “Tadi aku keserempet gak jauh dari gudang tempat aku sama Cantika disekap. Mas Kuncoro tau itu di mana?” tanya Arumy pada Kuncoro yang masih seti
Dengan kesadaran yang masih tersisa, sayup-sayup Cantika mendengar suara Lian yang memanggil namanya. Meski ini bukan saatnya, namun lagi-lagi Cantika terpesona hanya dengan mendengar suara maskulin itu. Dengan tubuh lemah Cantika berusaha menggerakkan kepalanya hanya untuk menoleh ke arah sumber suara.“Lian…” gumamnya nyaris tanpa suara. Pandangannya mulai kabur, hingga Cantika tak bisa melihat sosok Lian yang ada di atas motor dengan jelas.Dada Lian bergemuruh melihat kondisi Cantika yang terkapar tak berdaya. Dia baru saja akan turun dari motornya, namun beberapa penculik bertubuh gempal lebih dulu mencegat— bahkan dua di antara mereka meraih balok kayu dan melangkah menghampirinya. Lian geram melihat itu, dia tarik gas motor Fandy kemudian sengaja melajukannya dengan ngebut ke arah dua pria yang berjalan ke arahnya.“Minggir kalian, Brengsek!” motor sport Fandy melesat dan nyaris saja menabrak dua pria yang berjalan ke
Fokus keempat penculik langsung teralihkan pada mobil sedan. Mereka saling pandang, mengira-ngira mungkin bosnya yang akan turun dari sana. Tapi tak sesuai ekspektasi mereka, karena yang turun adalah dua pemuda tampan gagah yang tidak mereka kenal. Melihat Fandy dan Dion turun dari mobil sambil membawa tongkat golf dan tongkat baseball seketika membuat Lian merasa lega, dia coba mengatur napasnya.“Udah capek, belom?” tanya Fandy.“Lumayan...” jawab Lian dengan napas terengah-engah.“Gaya lo!” sengak Dion sambil nyengir.Para penculik yang menyadari bahwa musuh mereka bertambah langsung kesal dan meludah sembarangan. “Habisi mereka semua!” seru si pria bertopi.Perkelahian antara pihak Lian dan para penculik pun berlangsung cukup alot. Meski Lian mendapatkan tambahan tenaga, tidak serta merta membuat empat pria berbadan gempal yang mereka lawan kewalahan. Dion dan Fandy bahkan bebera
Di dalam mobil ambulans, para petugas segera memberikan pertolongan pertama pada Cantika. Membalut beberapa luka di beberapa bagian tubuhnya dengan perban agar darah tidak terus mengalir dari luka tersebut. Di samping Cantika, Lian duduk sambil terus memegangi tangannya. Dalam kediamannya, sejatinya Lian hanya berusaha menenangkan dirinya. Mengusir segala pikiran negatif yang membuatnya gemetaran sejak tadi.“Cantika gapapa kan, Mbak?” tanya Lian pada petugas medis yang baru saja selesai membalut luka Cantika dengan perban sementara. Petugas itu berusaha menenangkan Lian. “Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk tau kondisinya, Mas. Mas doain aja, supaya mbaknya gapapa.”Lian mengangguk. Petugas medis itu memerhatikan Lian yang juga terluka di beberapa bagian. “Mas kayaknya juga terluka, biar saya bantu obati.”Lian menggeleng cepat. “Nggak usah, saya gapapa. Mbak tolong Cantika aja, lukanya lebih parah.”
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S
“Saya memohon restu Pak Rahadi untuk meminang Cantika menjadi istri saya,” terang Lian dengan suara tegas. Degup jantungnya menggebu sampai jemari tangannya sedikit gemetar bahkan keringat terus merembes keluar membasahi telapak tangan.Rahadi yang semula tampak sehat langsung merasa tak enak badan. Dadanya sakit, kepalanya berdenyut nyeri, tengkuk terasa panas. Agni yang menyadari sikap aneh Rahadi langsung panik lalu mengeceknya.“Ayah! Ayah kenapa?” Agni memegang bahu Rahadi. “Ada yang sakit?”Rahadi tidak menjawab. Dia coba mengatur napas dan menelan ludah untuk menyetabilkan emosi. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di ruangan itu panik juga, takut Rahadi kumat sakit jantungnya.Dengan napas berat Rahadi berujar, “Kamu masih tidak menyerah ya, Lian? Kamu anggap remeh saya?!” bentak Rahadi.Agni geleng kepala. “Ayah, tolong jangan mar
Lian duduk santai di salah satu café yang berjarak dekat dengan rumah sakit tempat Dokter Septian berpraktik. Hari itu cerah, namun pikiran Lian terombang-ambing dalam kegalauan yang mendalam. Setelah hasil tes DNA membuktikan bahwa dia memang anak biologis Septian, rasanya masih terasa aneh baginya. Tak lama kemudian, Dokter Septian datang dengan wajah berseri. Lian langsung memberikan senyuman dan menyapanya, “Selamat siang, Dok. Makasih udah meluangkan waktu.”Dokter Septian menjawab sapaan Lian dengan ramah, “Kenapa manggil ‘Dok’ lagi?”Lian baru menyadari jika dia salah menyebut panggilan untuk Septian. “Maaf—” Lian memang masih belum terbiasa memanggil Septian dengan sebutan Ayah. Rasanya masih begitu asing di lidahnya. Namun dia juga takut jika Septian akan merasa sedih jika dia tidak bersedia memanggilnya ayah.Melihat Lian yang terdiam kebingungan, Septian malah tertawa. “Ayah hany
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri