Cantika duduk tegap menghadap ke para dewan direksi perusahaan yang didirikan oleh kakeknya. Dengan mengenakan blazer dan rok plisket berwarna beige, Cantika terlihat begitu elegan dan percaya diri di tengah rapat penting ini. Namun, kepercayaan diri Cantika itu bagaikan tameng yang menutupi perasaan gugupnya saat beberapa dewan direksi memandangnya dengan tatapan kritis.
“Kami merasa perlu membahas ini secara terbuka, Bu Cantika,” ucap Budi, salah satu dewan direksi yang terlibat dalam meeting kali ini. “Mengenai arah yang akan diambil oleh perusahaan ini. Kami mengerti situasi saat ini sulit, tapi kami juga perlu memastikan bahwa keputusan yang diambil untuk perusahaan ini didasarkan pada kapasitas dan pengalaman yang kuat.”
Cantika sangat mengerti jika saat ini banyak yang meragukan posisinya di perusahaan. Sejatinya Cantika sendiri juga keberatan jika harus terlibat dengan urusan bisnis yang di luar kapasitasnya— namun Cantika
“Padahal selama ini aku berusaha bagi waktuku di tengah sibuk-sibuknya ngurus butik sama ngerodi di kantor Kakek!” gerutu Cantika di voice note terakhirnya. Dia kirim VN itu pada Lian lalu melempar HP-nya ke jok sebelah.Cantika meletakkan keningnya di setir. “Trus sekarang gimana nih enaknya?” gumam Cantika. “Mau pulang, males. Mau kemana, juga bingung.” Cantika mendengus lelah.“Pengen ketemu Lian. Tapi ntar malah gangguin kerjaan dia.” Cantika sangsi Lian akan senang dengan kunjungannya. Dia juga tidak ingin ribut lagi kalau Lian mengomeli.Cantika menoleh ke luar kaca mobil. Matanya langsung membulat sempurna saat melihat ada anak kucing berjalan pincang di tepi jalan. Cantika merasa kasihan, dia panik saat anak kucing itu melangkah ke jalan aspal.“No, no, no! Kucing, stop!” teriaknya dari dalam mobil. Dia segera melepas seatbelt dan berjingkat keluar. Ber
Di halaman samping rumah Rahadi, sudah ada kandang kucing yang sebelumnya dibeli oleh Navi atas permintaan Cantika. Kandang kucing tersebut memiliki beberapa tingkat, dengan tangga kayu yang terhubung dengan jembatan kecil di antara area tidur dan tempat bermainnya. Di bagian tempat tidurnya juga sudah dilengkapi dengan bed yang terbuat dari kain yang lembut. Cantika tampak antusias melihat kandang tersebut.“Udah gue beliin yang seperti request lo yang ribet itu. Sesuai nggak?” tanya Navi. Cantika mengacungkan jempolnya, sudah puas dengan kandang pilihan Navi yang bahkan lebih bagus dari yang dia bayangkan. “Kalau tinggal di rumah sebagus ini, Mochi pasti suka.”“Mochi? Namanya Mochi?” tanya Navi sambil memerhatikan kucing abu-abu kopi susu yang ada dalam dekapan Cantika.“Iya Mochi Matsumoto—” ucap Cantika dengan entengnya menyebut marga yang disandang Navi.“Sialan, lo pake n
“Andai dari dulu aku nurutin kata Kakek buat belajar ngurus perusahaan.” Cantika menunduk dan menutup wajahnya dengan tangan. Lian mengusap punggung gadis itu. “Sekarang aku baru sadar, aku nyesel, Lian. Aku ngerasa kalah dari Gilang, dia udah nyuri start dari awal.” Dada Cantika sampai naik turun menahan emosinya yang labil.“Bentar, Can. Gilang tuh siapa?” tanya Lian penasaran.Cantika menoleh pelan. “Aku belum pernah cerita soal dia, ya?”Lian mengangguk. Cantika menyerongkan kaki menghadap Lian. “Gilang itu nama adik tiri aku. Anak Papa sama istri barunya. Umurnya cuma setahun di bawahku dan tercantum ke kartu keluarga pas aku mulai masuk TK,” terang Cantika.Lian terkejut mendengar itu. Dia jadi makin sulit memberi respon karena itu menyangkut masalah keluarga Cantika. Dia tidak bisa berkomentar apa-apa. Terlebih yang dia tahu mama Cantika memang sudah meninggal, hanya saja tidak me
Cantika duduk di sudut ruang tamu, posisinya agak jauh dari Robby—seolah sengaja memberi jarak. Meski berada di dalam satu ruangan, namun terasa seperti ada dinding tak kasat mata di antara mereka. Selama beberapa saat, keduanya sama-sama diam hingga membuat suasana seperti membeku. Beberapa kali Cantika melirik ke arah Robby, namun saat mata Robby bertemu tatap dengannya, Cantika buru-buru mengalihkan pandangannya.“Papa sebenernya mau ngapain ke sini? Bukannya papa udah dapet yang papa mau?” tanya Cantika dengan suara datar. Meski sebenarnya Cantika kurang suka dengan Robby, namun dia tidak bisa menyangkal jika laki-laki yang duduk satu ruangan dengannya adalah orangtua kandungnya.“Emang salah kalo papa pengen jengukin anak sendiri?” jawab Robby basa-basi. Cantika tersenyum garing, dia tahu betul jika itu bukan tujuan Robby datang ke sini.“Papa nggak usah basa basi deh.” Cantika menyandarkan tubuhnya pada sandaran so
Sudah cukup jauh Cantika menyetir mobilnya meninggalkan halaman parkir kantor Rahadi. Dia masih jengkel jika mengingat sikap sok Gilang tadi. “Lo tuh nggak ada hubungan darah, belagu!” amuk Cantika sambil mengerem di perempatan lampu merah. Napasnya memburu karena dikuasai amarah. Dia bersyukur bisa menahan marah dan tetap cool saat menghadapi adik tirinya itu.“Bikin orang darah tinggi aja!” gerutu Cantika. Dia kembali melajukan mobil saat lampu hijau menyala.Selama perjalanan, Cantika sesekali melirik spion. Dahinya mengernyit saat melihat mobil yang sama terus melaju di belakangnya. Mobil jeep warna marun kusam yang jarang dia temui di jalanan besar. “Apaan sih tuh mobil? Perasaan dari tadi di belakang mulu, nggak nyalip kek, apa kek,” herannya.Tapi Cantika tidak mau ambil pusing. Fokusnya sekarang dia ingin mendinginkan kepala dan menghibur hatinya dengan bertemu Lian. Cantika membelokkan mobilnya di klinik hewa
Arumy sampai di Jakarta. Dia terlihat bingung karena baru pertama kali bepergian sendiri. Terlebih sekalinya pergi langsung ke tempat yang jauh. Arumy celingukan sambil jalan pelan keluar terminal. “Aku musti gimana sekarang?”Seorang pria mendekati Arumy. Arumy kaget dan langsung mendekap totebag-nya erat-erat. Pria beruban yang menyampirkan handuk kecil di pundaknya itu memerhatikan Arumy dari atas ke bawah dan ke atas lagi lalu tersenyum. “Neng mau kemana? Mari naik angkot Bapak?” tawarnya dengan ramah.Arumy hanya menggeleng. Si pria ubanan menghela napas. “Neng ini pasti baru pertama ke Jakarta, kan?”Arumy mengangguk ragu-ragu. “Kok Bapak tahu?”Pria supir angkot itu tertawa. “Bapak udah puluhan tahun di sini, jadi hapal.” Dia agak mendekat ke Arumy. Tapi Arumy menjauh. “Nggak apa-apa kalo Neng nggak mau naik angkot Bapak. Udah bener banget Neng bersikap hati-hati sama orang
Arumy melangkah keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Arumy tanpa sadar mengedarkan mata ke sekeliling, tatapan takjupnya terpancar jelas di wajahnya. Meski selama ini dia tahu jika Kuncoro kaya raya dan punya banyak penginapan di berbagai daerah, namun dia tidak menyangka rumah Kuncoro di Jakarta bisa semewah ini.Arumy mengamati segala sudut rumah yang dipenuhi dengan perabotan elegan dan terkesan mewah, seperti keramik hingga ornamen dinding yang terlihat sangat mahal. Arumy mendekat pada keramik yang ada di sudut ruang. Dengan gerakan yang nyaris tak terasa, ujung jari Arumy menyentuh permukaan keramik yang dihiasi dengan motif kisah-kisah zaman yang terlupakan.“Kayaknya ini barang mahal…” gumam Arumy tanpa sadar saat terpana dengan keindahan keramik tersebut. Arumy baru tersadar jika dia terlalu lama terlena dengan kemegahan rumah Kuncoro. “Kenapa aku malah sibuk liatin rumah Mas Kuncoro sih?”Arum
“Kalian mau apa?” teriak Arumy sambil berlari menghampiri. Tubuh Arumy gemetar, terlebih saat melihat tubuh Cantika yang lunglai akibat dibekap dengan obat bius. Tak lama kemudian Cantika benar-benar kehilangan kesadaran, dan salah satu dari orang berpenutup kepala itu segera menangkap tubuh Cantika yang limbung.“Jangan bawa Cantika… jangan…” Arumy makin panik. Arumy refleks menarik-narik tangan pria yang menggendong tubuh Cantika. Meski dia tidak menyukai perempuan yang jadi tunangan Lian, namun Arumy tetap tidak bisa membiarkan Cantika diculik di depan matanya.Tiga orang pria lainnya berusaha menarik tubuh Arumy, namun Arumy justru terus meronta.“Tolooong… toloong…” Arumy berteriak-teriak meminta pertolongan, namun sialnya situsi di sekitarnya sedang sepi. Tak ada seorang pun yang muncul membantu. Arumy dilanda kekalutan luar biasa, namun tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya terpukul deng
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S
“Saya memohon restu Pak Rahadi untuk meminang Cantika menjadi istri saya,” terang Lian dengan suara tegas. Degup jantungnya menggebu sampai jemari tangannya sedikit gemetar bahkan keringat terus merembes keluar membasahi telapak tangan.Rahadi yang semula tampak sehat langsung merasa tak enak badan. Dadanya sakit, kepalanya berdenyut nyeri, tengkuk terasa panas. Agni yang menyadari sikap aneh Rahadi langsung panik lalu mengeceknya.“Ayah! Ayah kenapa?” Agni memegang bahu Rahadi. “Ada yang sakit?”Rahadi tidak menjawab. Dia coba mengatur napas dan menelan ludah untuk menyetabilkan emosi. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di ruangan itu panik juga, takut Rahadi kumat sakit jantungnya.Dengan napas berat Rahadi berujar, “Kamu masih tidak menyerah ya, Lian? Kamu anggap remeh saya?!” bentak Rahadi.Agni geleng kepala. “Ayah, tolong jangan mar
Lian duduk santai di salah satu café yang berjarak dekat dengan rumah sakit tempat Dokter Septian berpraktik. Hari itu cerah, namun pikiran Lian terombang-ambing dalam kegalauan yang mendalam. Setelah hasil tes DNA membuktikan bahwa dia memang anak biologis Septian, rasanya masih terasa aneh baginya. Tak lama kemudian, Dokter Septian datang dengan wajah berseri. Lian langsung memberikan senyuman dan menyapanya, “Selamat siang, Dok. Makasih udah meluangkan waktu.”Dokter Septian menjawab sapaan Lian dengan ramah, “Kenapa manggil ‘Dok’ lagi?”Lian baru menyadari jika dia salah menyebut panggilan untuk Septian. “Maaf—” Lian memang masih belum terbiasa memanggil Septian dengan sebutan Ayah. Rasanya masih begitu asing di lidahnya. Namun dia juga takut jika Septian akan merasa sedih jika dia tidak bersedia memanggilnya ayah.Melihat Lian yang terdiam kebingungan, Septian malah tertawa. “Ayah hany
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri