Sambil menahan kesal, Lian masih sempat bersyukur ada driver ojol yang lokasinya dekat dengan posisi dia di rumah Rahadi. Jadi tidak butuh waktu lama untuknya pergi karena malas bertengkar terus dengan Cantika.
“Bang, bisa ngebut dikit, nggak?” tanya Lian. Driver ojol malah protes. “Ini kan jalan raya Mas, bukan sirkuit. Ntar kalo ngebut-ngebut terus nabrak, pegimane? Sebagai driver ojol, tugas saya bukan cuma nganter customer sampe tujuan, Mas— tapi juga menjaga keselamatan juga. Saya kagak mau kalo penumpang saya sampe kenapa-napa di jalan.”
Lian bengong mendengar cerocosan driver tersebut. “Yaudah sih, Bang.”
Tiba-tiba motor ojol dipepet mobil Cantika sampai Lian dan driver sama-sama kaget dibuatnya. “Waduh, ada apa nih?” driver ojol kebingungan.
Cantika membuka jendela mobil lalu berteriak, “Stop! Berentiin motor kamu, Bang!&rdquo
Cantika terlihat sangat emosi melihat Navi yang masih berdiri menunjukkan muka lempeng seolah dia tidak merasa bersalah sama sekali. Cantika menahan geram, karena fokusnya kini tertuju pada Lian yang masih di posisi jatuhnya. Dengan wajah cemas Cantika membantu Lian bangkit. Ada bercak merah mengintip di sudut bibir Lian. Cantika refleks menyentuh sudut bibir itu dan spontan membuat Lian meringis kesakitan. “Aw…”Cantika makin panik karena khawatir, “Sakit banget? Kita ke rumah sakit ya?”“Nggak usah lebay…” komen Navi. Cantika menoleh pada sepupunya yang bertubuh mungil dan menggemaskan itu, saking menggemaskannya Cantika sangat ingin meraup mukanya. “Lo apa-apaan sih, Navi? Kenapa lo mukul Lian?”“Salah gue di mana?” Navi menaikkan sebelah alisnya. “Gue kan cuma bantuin sepupu ‘tersayang’ gue— yang lagi berantem di pinggir jalan,” sarkas Navi penuh penekanan
“Iri bilang, Boss!” sengak Cantika sambil menjulurkan lidah meledek Navi. Setahu Cantika, selama ini Navi betah menjomlo meski umurnya hampir kepala tiga. Pasti karena hatinya yang sebeku bongkahan es Antartika. Cantika bahkan heran, bagaimana bisa Navi menjadi editor novel romansa profesional kalau di real life-nya tidak punya pengalaman.Navi dongkol dengan balasan Cantika. Refleks tangannya menoyor kepala sepupunya itu. “Bikin malu aja!”Cantika melotot. Lian berdeham, salah tingkah. “Udah lah, Can.” Lian menghentikan perhatian manja Cantika terhadapnya.“Trus gimana setelah ini?” tanya Navi. “Cantika kan udah terlanjur tunangan sama Dion, nih.” Meski sendirinya penasaran, tapi sejujurnya Navi tidak ingin buang waktu untuk membantu Cantika dan Lian mendapatkan titik terang.“Kan baru tunangan, belum nikah,” jawab Cantika dengan santainya.Navi mengernyit. Lian terdi
Dion, Cantika, Navi, Fandy dan Lian saat ini sedang berada di private room yang ada di salah satu café. Lian duduk canggung saat berhadapan dengan Dion. Hingga saat ini, dia tidak tahu harus bagaimana bicara dengan Dion. Meski Lian jelas tahu jika Dion tidak memiliki perasaan pada Cantika, namun tetap saja Lian merasa tidak enak hati jika memiliki hubungan dengan tunangan sahabatnya sendiri.Lian berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan memerhatikan tiap sudut private room yang terlihat sangat berkelas. Desain interior ruangannya begitu mewah, dinding-dindingnya dihiasi dengan dekorasi elegan, mulai dari karya seni kontemporer hingga lukisan-lukisan klasik. Lampu gantung kristal bersinar agak redup, namun justru itu yang membuat pencahayaan di ruangan tersebut terasa lembut.“Ngapain sih lo?” Lamunan Lian buyar saat tiba-tiba pinggangnya disikut oleh Fandy. Lian menggeleng dan berusaha bersikap santai. “Nggak ngapa-ngapain.”
Semua yang ada di ruangan itu seketika membatu. Tindakan Cantika melempar spaghetti pada Dion benar-benar di luar dugaan. Saking kagetnya bahkan Dion tidak bereaksi sampai spaghetti di wajahnya jatuh sendiri. Barulah dia meraup sisa-sia saus dan topping di wajah dengan tangannya supaya matanya bisa terbuka. “Cantika!” serunya dengan suara lantang hingga bergema memenuhi ruangan.Dion menyambar sepotong cheese cake di sebelah piring spaghetti lalu menimpukkannya di wajah Cantika. Semua terkejut. Situasi makin tegang saat Dion malah dengan santai memulaskan kue itu ke seluruh wajah sampai ke rambut Cantika.“Stop!” bentak Cantika sambil mendorong dada Dion sampai pemuda itu limbung.Dion terbahak-bahak. “Cocok banget lo, Can! Jadi makin mirip mak lampir beneran!” makinya dengan ekspresi puas.Navi, Fandy, dan Lian terbelalak melihat sikap kekanakan dua orang itu. Canti
Cantika duduk tegap menghadap ke para dewan direksi perusahaan yang didirikan oleh kakeknya. Dengan mengenakan blazer dan rok plisket berwarna beige, Cantika terlihat begitu elegan dan percaya diri di tengah rapat penting ini. Namun, kepercayaan diri Cantika itu bagaikan tameng yang menutupi perasaan gugupnya saat beberapa dewan direksi memandangnya dengan tatapan kritis.“Kami merasa perlu membahas ini secara terbuka, Bu Cantika,” ucap Budi, salah satu dewan direksi yang terlibat dalam meeting kali ini. “Mengenai arah yang akan diambil oleh perusahaan ini. Kami mengerti situasi saat ini sulit, tapi kami juga perlu memastikan bahwa keputusan yang diambil untuk perusahaan ini didasarkan pada kapasitas dan pengalaman yang kuat.”Cantika sangat mengerti jika saat ini banyak yang meragukan posisinya di perusahaan. Sejatinya Cantika sendiri juga keberatan jika harus terlibat dengan urusan bisnis yang di luar kapasitasnya— namun Cantika
“Padahal selama ini aku berusaha bagi waktuku di tengah sibuk-sibuknya ngurus butik sama ngerodi di kantor Kakek!” gerutu Cantika di voice note terakhirnya. Dia kirim VN itu pada Lian lalu melempar HP-nya ke jok sebelah.Cantika meletakkan keningnya di setir. “Trus sekarang gimana nih enaknya?” gumam Cantika. “Mau pulang, males. Mau kemana, juga bingung.” Cantika mendengus lelah.“Pengen ketemu Lian. Tapi ntar malah gangguin kerjaan dia.” Cantika sangsi Lian akan senang dengan kunjungannya. Dia juga tidak ingin ribut lagi kalau Lian mengomeli.Cantika menoleh ke luar kaca mobil. Matanya langsung membulat sempurna saat melihat ada anak kucing berjalan pincang di tepi jalan. Cantika merasa kasihan, dia panik saat anak kucing itu melangkah ke jalan aspal.“No, no, no! Kucing, stop!” teriaknya dari dalam mobil. Dia segera melepas seatbelt dan berjingkat keluar. Ber
Di halaman samping rumah Rahadi, sudah ada kandang kucing yang sebelumnya dibeli oleh Navi atas permintaan Cantika. Kandang kucing tersebut memiliki beberapa tingkat, dengan tangga kayu yang terhubung dengan jembatan kecil di antara area tidur dan tempat bermainnya. Di bagian tempat tidurnya juga sudah dilengkapi dengan bed yang terbuat dari kain yang lembut. Cantika tampak antusias melihat kandang tersebut.“Udah gue beliin yang seperti request lo yang ribet itu. Sesuai nggak?” tanya Navi. Cantika mengacungkan jempolnya, sudah puas dengan kandang pilihan Navi yang bahkan lebih bagus dari yang dia bayangkan. “Kalau tinggal di rumah sebagus ini, Mochi pasti suka.”“Mochi? Namanya Mochi?” tanya Navi sambil memerhatikan kucing abu-abu kopi susu yang ada dalam dekapan Cantika.“Iya Mochi Matsumoto—” ucap Cantika dengan entengnya menyebut marga yang disandang Navi.“Sialan, lo pake n
“Andai dari dulu aku nurutin kata Kakek buat belajar ngurus perusahaan.” Cantika menunduk dan menutup wajahnya dengan tangan. Lian mengusap punggung gadis itu. “Sekarang aku baru sadar, aku nyesel, Lian. Aku ngerasa kalah dari Gilang, dia udah nyuri start dari awal.” Dada Cantika sampai naik turun menahan emosinya yang labil.“Bentar, Can. Gilang tuh siapa?” tanya Lian penasaran.Cantika menoleh pelan. “Aku belum pernah cerita soal dia, ya?”Lian mengangguk. Cantika menyerongkan kaki menghadap Lian. “Gilang itu nama adik tiri aku. Anak Papa sama istri barunya. Umurnya cuma setahun di bawahku dan tercantum ke kartu keluarga pas aku mulai masuk TK,” terang Cantika.Lian terkejut mendengar itu. Dia jadi makin sulit memberi respon karena itu menyangkut masalah keluarga Cantika. Dia tidak bisa berkomentar apa-apa. Terlebih yang dia tahu mama Cantika memang sudah meninggal, hanya saja tidak me
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S
“Saya memohon restu Pak Rahadi untuk meminang Cantika menjadi istri saya,” terang Lian dengan suara tegas. Degup jantungnya menggebu sampai jemari tangannya sedikit gemetar bahkan keringat terus merembes keluar membasahi telapak tangan.Rahadi yang semula tampak sehat langsung merasa tak enak badan. Dadanya sakit, kepalanya berdenyut nyeri, tengkuk terasa panas. Agni yang menyadari sikap aneh Rahadi langsung panik lalu mengeceknya.“Ayah! Ayah kenapa?” Agni memegang bahu Rahadi. “Ada yang sakit?”Rahadi tidak menjawab. Dia coba mengatur napas dan menelan ludah untuk menyetabilkan emosi. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di ruangan itu panik juga, takut Rahadi kumat sakit jantungnya.Dengan napas berat Rahadi berujar, “Kamu masih tidak menyerah ya, Lian? Kamu anggap remeh saya?!” bentak Rahadi.Agni geleng kepala. “Ayah, tolong jangan mar
Lian duduk santai di salah satu café yang berjarak dekat dengan rumah sakit tempat Dokter Septian berpraktik. Hari itu cerah, namun pikiran Lian terombang-ambing dalam kegalauan yang mendalam. Setelah hasil tes DNA membuktikan bahwa dia memang anak biologis Septian, rasanya masih terasa aneh baginya. Tak lama kemudian, Dokter Septian datang dengan wajah berseri. Lian langsung memberikan senyuman dan menyapanya, “Selamat siang, Dok. Makasih udah meluangkan waktu.”Dokter Septian menjawab sapaan Lian dengan ramah, “Kenapa manggil ‘Dok’ lagi?”Lian baru menyadari jika dia salah menyebut panggilan untuk Septian. “Maaf—” Lian memang masih belum terbiasa memanggil Septian dengan sebutan Ayah. Rasanya masih begitu asing di lidahnya. Namun dia juga takut jika Septian akan merasa sedih jika dia tidak bersedia memanggilnya ayah.Melihat Lian yang terdiam kebingungan, Septian malah tertawa. “Ayah hany
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri