Lian mulai tidak sabar. Dia butuh kejelasan soal hubungannya dengan Cantika terutama hubungan cewek itu dengan Dion. Daripada terus penasaran, dia pun coba menelepon nomor Cantika lagi. Kali ini panggilannya terhubung, seketika dia merasa punya harapan, tapi ternyata tidak diangkat.
“Sebelumnya nggak aktif, sekarang nggak diangkat...” gumam Lian yang makin penasaran. Lalu kembali dicobanya menghubungi Cantika. Namun hingga beberapa kali dial tetap tidak diterima.
Lian gelisah lagi. Dia putar otak dan memutuskan untuk menghubungi Dion. Tapi nomor sahabatnya itu malah tidak aktif. Lian mendengus kesal dan putus asa.
“Heran, deh! Sebenernya hubungan kita sekarang tuh apa, Can?” gerutu Lian di depan layar HP seolah sedang bicara langsung dengan Cantika. “Kenapa kamu sama Dion sulit dihubungi, sih?”
Lian mengurut kening. Dia merasa seperti terpontang-panting. “Apa emang udah nggak ada yang perlu dibahas lagi s
Cantika buru-buru meraih hp-nya yang tersimpan dalam sling bag dan memeriksanya. Sejak tadi pagi hp Cantika memang dalam kondisi silent, karena dia harus ke kantor Rahadi dan meeting dengan beberapa dewan direksi, membahas kepemimpinan sementara. “Sorry, Yank. Dari tadi pagi hp aku silent,” jelas Cantika.“Aku hubungin kamu dari seminggu lalu, tapi hp kamu nggak aktif.”“Hp aku emang sempet rusak, makanya aku service dulu,” jelas Cantika. Lian hanya diam. Cantika menyadari jika Lian sedang kesal. “Aku sebenernya bisa aja beli baru, tapi di hp itu kan banyak foto-foto kamu yang aku ambil diam-diam, Yank. Jadi mending aku service aja.”Lian hanya diam.“Jangan marah, Yank. Aku beneran nggak sempet pegang hp tadi. Aku sibuk banget di kantor, gara-gara kakek sakit. Aku jadi terpaksa urus masalah perusahaan. Kamu tau sendiri, aku nggak begitu ngerti urusan kantor
Sambil menahan kesal, Lian masih sempat bersyukur ada driver ojol yang lokasinya dekat dengan posisi dia di rumah Rahadi. Jadi tidak butuh waktu lama untuknya pergi karena malas bertengkar terus dengan Cantika.“Bang, bisa ngebut dikit, nggak?” tanya Lian. Driver ojol malah protes. “Ini kan jalan raya Mas, bukan sirkuit. Ntar kalo ngebut-ngebut terus nabrak, pegimane? Sebagai driver ojol, tugas saya bukan cuma nganter customer sampe tujuan, Mas— tapi juga menjaga keselamatan juga. Saya kagak mau kalo penumpang saya sampe kenapa-napa di jalan.”Lian bengong mendengar cerocosan driver tersebut. “Yaudah sih, Bang.”Tiba-tiba motor ojol dipepet mobil Cantika sampai Lian dan driver sama-sama kaget dibuatnya. “Waduh, ada apa nih?” driver ojol kebingungan.Cantika membuka jendela mobil lalu berteriak, “Stop! Berentiin motor kamu, Bang!&rdquo
Cantika terlihat sangat emosi melihat Navi yang masih berdiri menunjukkan muka lempeng seolah dia tidak merasa bersalah sama sekali. Cantika menahan geram, karena fokusnya kini tertuju pada Lian yang masih di posisi jatuhnya. Dengan wajah cemas Cantika membantu Lian bangkit. Ada bercak merah mengintip di sudut bibir Lian. Cantika refleks menyentuh sudut bibir itu dan spontan membuat Lian meringis kesakitan. “Aw…”Cantika makin panik karena khawatir, “Sakit banget? Kita ke rumah sakit ya?”“Nggak usah lebay…” komen Navi. Cantika menoleh pada sepupunya yang bertubuh mungil dan menggemaskan itu, saking menggemaskannya Cantika sangat ingin meraup mukanya. “Lo apa-apaan sih, Navi? Kenapa lo mukul Lian?”“Salah gue di mana?” Navi menaikkan sebelah alisnya. “Gue kan cuma bantuin sepupu ‘tersayang’ gue— yang lagi berantem di pinggir jalan,” sarkas Navi penuh penekanan
“Iri bilang, Boss!” sengak Cantika sambil menjulurkan lidah meledek Navi. Setahu Cantika, selama ini Navi betah menjomlo meski umurnya hampir kepala tiga. Pasti karena hatinya yang sebeku bongkahan es Antartika. Cantika bahkan heran, bagaimana bisa Navi menjadi editor novel romansa profesional kalau di real life-nya tidak punya pengalaman.Navi dongkol dengan balasan Cantika. Refleks tangannya menoyor kepala sepupunya itu. “Bikin malu aja!”Cantika melotot. Lian berdeham, salah tingkah. “Udah lah, Can.” Lian menghentikan perhatian manja Cantika terhadapnya.“Trus gimana setelah ini?” tanya Navi. “Cantika kan udah terlanjur tunangan sama Dion, nih.” Meski sendirinya penasaran, tapi sejujurnya Navi tidak ingin buang waktu untuk membantu Cantika dan Lian mendapatkan titik terang.“Kan baru tunangan, belum nikah,” jawab Cantika dengan santainya.Navi mengernyit. Lian terdi
Dion, Cantika, Navi, Fandy dan Lian saat ini sedang berada di private room yang ada di salah satu café. Lian duduk canggung saat berhadapan dengan Dion. Hingga saat ini, dia tidak tahu harus bagaimana bicara dengan Dion. Meski Lian jelas tahu jika Dion tidak memiliki perasaan pada Cantika, namun tetap saja Lian merasa tidak enak hati jika memiliki hubungan dengan tunangan sahabatnya sendiri.Lian berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan memerhatikan tiap sudut private room yang terlihat sangat berkelas. Desain interior ruangannya begitu mewah, dinding-dindingnya dihiasi dengan dekorasi elegan, mulai dari karya seni kontemporer hingga lukisan-lukisan klasik. Lampu gantung kristal bersinar agak redup, namun justru itu yang membuat pencahayaan di ruangan tersebut terasa lembut.“Ngapain sih lo?” Lamunan Lian buyar saat tiba-tiba pinggangnya disikut oleh Fandy. Lian menggeleng dan berusaha bersikap santai. “Nggak ngapa-ngapain.”
Semua yang ada di ruangan itu seketika membatu. Tindakan Cantika melempar spaghetti pada Dion benar-benar di luar dugaan. Saking kagetnya bahkan Dion tidak bereaksi sampai spaghetti di wajahnya jatuh sendiri. Barulah dia meraup sisa-sia saus dan topping di wajah dengan tangannya supaya matanya bisa terbuka. “Cantika!” serunya dengan suara lantang hingga bergema memenuhi ruangan.Dion menyambar sepotong cheese cake di sebelah piring spaghetti lalu menimpukkannya di wajah Cantika. Semua terkejut. Situasi makin tegang saat Dion malah dengan santai memulaskan kue itu ke seluruh wajah sampai ke rambut Cantika.“Stop!” bentak Cantika sambil mendorong dada Dion sampai pemuda itu limbung.Dion terbahak-bahak. “Cocok banget lo, Can! Jadi makin mirip mak lampir beneran!” makinya dengan ekspresi puas.Navi, Fandy, dan Lian terbelalak melihat sikap kekanakan dua orang itu. Canti
Cantika duduk tegap menghadap ke para dewan direksi perusahaan yang didirikan oleh kakeknya. Dengan mengenakan blazer dan rok plisket berwarna beige, Cantika terlihat begitu elegan dan percaya diri di tengah rapat penting ini. Namun, kepercayaan diri Cantika itu bagaikan tameng yang menutupi perasaan gugupnya saat beberapa dewan direksi memandangnya dengan tatapan kritis.“Kami merasa perlu membahas ini secara terbuka, Bu Cantika,” ucap Budi, salah satu dewan direksi yang terlibat dalam meeting kali ini. “Mengenai arah yang akan diambil oleh perusahaan ini. Kami mengerti situasi saat ini sulit, tapi kami juga perlu memastikan bahwa keputusan yang diambil untuk perusahaan ini didasarkan pada kapasitas dan pengalaman yang kuat.”Cantika sangat mengerti jika saat ini banyak yang meragukan posisinya di perusahaan. Sejatinya Cantika sendiri juga keberatan jika harus terlibat dengan urusan bisnis yang di luar kapasitasnya— namun Cantika
“Padahal selama ini aku berusaha bagi waktuku di tengah sibuk-sibuknya ngurus butik sama ngerodi di kantor Kakek!” gerutu Cantika di voice note terakhirnya. Dia kirim VN itu pada Lian lalu melempar HP-nya ke jok sebelah.Cantika meletakkan keningnya di setir. “Trus sekarang gimana nih enaknya?” gumam Cantika. “Mau pulang, males. Mau kemana, juga bingung.” Cantika mendengus lelah.“Pengen ketemu Lian. Tapi ntar malah gangguin kerjaan dia.” Cantika sangsi Lian akan senang dengan kunjungannya. Dia juga tidak ingin ribut lagi kalau Lian mengomeli.Cantika menoleh ke luar kaca mobil. Matanya langsung membulat sempurna saat melihat ada anak kucing berjalan pincang di tepi jalan. Cantika merasa kasihan, dia panik saat anak kucing itu melangkah ke jalan aspal.“No, no, no! Kucing, stop!” teriaknya dari dalam mobil. Dia segera melepas seatbelt dan berjingkat keluar. Ber