2 Juni 2023
“Sayang, kamu liat deh— ini beberapa contoh undangan buat acara pertunangan kita nanti. Kamu suka yang mana?” Cantika dengan semangat menjajar beberapa lembar contoh undangan di meja café. Namun Dion sama sekali tak peduli, bahkan sejak tadi dia hanya fokus dengan layar hp-nya.
“Terserah kamu aja,” sahut Dion singkat.
Cantika kecewa dengan sikap Dion yang selalu cuek padanya. Hubungan mereka memang terjalin karena perjodohan keluarga, tapi Cantika selalu tulus mencintai Dion.
“Sayang, kamu liat dulu dong contoh undangannya. Ini kan bukan cuma acara aku aja, tapi kamu juga. Pendapat kamu juga dibutuhin.” Cantika berusaha memohon, tapi Dion sama sekali tak peduli.
“Milih undangan doang apa susahnya sih? Gak usah lebay deh,” ucap Dion datar. Tangannya masih sibuk mengetik sesuatu di layar hp-nya, seolah Dion saat ini sedang sibuk chatting dengan orang lain. Cantika merebut hp Dion, dan itu seketika membuat Dion berdecak kesal. Cantika melihat layar hp Dion, dan melihat kolom chat Dion dengan Lian—sahabat Dion.
[Kemarin gue liat kandang Lilo udah bobrok, ntar sore gue ke sana. Sekalian gue bawain kandang baru buat Lilo.]
Tanpa sadar Cantika mencengkeram hp Dion saat membaca pesan tersebut. Sejak dulu, Cantika tahu jika Dion sangat dekat dengan Lian. Dion bahkan jauh lebih perhatian pada peliharaan Lian daripada dirinya. Jujur Cantika cemburu, bahkan pada kucing.
“Aku lagi bahas rencana pertunangan kita, tapi kamu malah lebih mentingin kandang kucingnya Lian?” tanya Cantika. Kali ini dia tidak sanggup lagi menahan emosi. Dion benar-benar tak pernah menghargainya sama sekali.
“Balikin hp aku.” Dion berusaha merebut hp-nya kembali, tapi Cantika segera menjauhkannya.
“Aku calon istri kamu, Dion! Tapi kenapa kamu lebih fokus sama Lian, Lian, Lian terus? Kenapa kamu segitunya sama Lian? Kamu suka sama dia? Kamu homo?”
Pertanyaan sarkas dari Cantika membuat Dion menggebrak meja dengan kencang, cangkir berisi cappuccino di atas meja sampai menumpahkan isinya.
“Jaga mulut kamu!”
“Kamu yang harusnya jaga perasaan aku!” suara Cantika meninggi hingga beberapa pengunjung café menoleh ke arahnya. Cantika mengabaikan pandangan orang-orang padanya. Kali ini dia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Dion, pria itu terlalu menyakitinya.
“Kapan kamu bisa ngehargain aku?” suara Cantika bergetar. Kedua matanya berkaca-kaca. Namun Dion sama sekali tidak menunjukkan empatinya, pria itu hanya berdecak kesal.
“Terus kamu maunya apa?” tanya Dion ketus.
“Kamu bantuin aku buat ngurus rencana pertunangan kita,” tegas Cantika. Dion terdiam sejenak, dia menatap Cantika dengan dingin. Tak lama kemudian, dia mendekatkan wajahnya pada Cantika. Sebelah tangannya langsung merebut kembali hp-nya dari tangan Cantika.
“Aku kan udah bilang, urusan pertunangan, urus aja sendiri,” ucap Dion penuh penekanan.
Cantika menatap Dion tak habis pikir, kali ini air matanya mengalir. Dan lagi-lagi, Dion terkesan tak peduli, bahkan masih bisa melanjutkan ucapan dinginnya.
“Dari awal, aku nggak pernah nganggep hubungan kita serius. Orangtua kita yang pengen kita nikah demi kepentingan bisnis, jadi anggap aja hubungan kita cuma formalitas.” Dion bangkit dari duduknya, kemudian berjalan pergi.
“Dion, mau kemana kamu?”
“Bukan urusanmu,” sahut Dion yang bahkan tidak menoleh ke arah Cantika sama sekali.
"Pasti kamu nyamperin Lian, kan? Beneran bucin kamu sama Lian? Dasar cowok nggak normal!"
Dion menghentikan langkahnya, kedua tangannya terkepal erat saat mendengar makian darinya. Namun detik berikutnya Dion memutuskan kembali melangkah dan mengabaikan Cantika begitu saja.
Air mata Cantika makin mengalir melihat Dion yang terus beranjak pergi.
"Pergi aja kamu! Aku gak bakal peduli lagi sama cowok belok kayak kamu!" Cantika mengusap airmatanya dengan kasar, pria tak berperasaan seperti Dion harusnya tidak pantas ditangisi.
“Aku nggak terima kamu perlakukan aku kayak gini,” desis Cantika. “Jangan kira aku bakal diem aja setelah kamu injek-injek harga diriku. Liat aja nanti…” Cantika mengemasi beberapa lembar undangan yang ada di atas meja. Setelahnya, dia meninggalkan meja café, mengabaikan banyak orang yang masih memerhatikannya dari meja mereka.
***
5 September 2023
Tiga bulan kemudian, acara pesta pertunangan Cantika dengan Dion tetap terselenggara tanpa satu kekurangan. Meski Dion benar-benar tak ikut campur tangan dalam urusan pertunangan, Cantika sanggup mengurusnya sendiri. Mulai dari memilih undangan, EO, dan segala tetek bengeknya. Selama ini Dion yang membuat Cantika sadar, sebegitu tidak berharga dirinya di mata Dion.
“Selamat yaa…”
“Makasih…”
Cantika tersenyum menyambut beberapa orang yang menjabat tangannya untuk memberikan selamat. Dion berdiri di samping Cantika, menerima ucapan dari para hadirin meski kentara tanpa minat. Cantika sadar jika momen ini sangat tidak penting baginya, namun Cantika akan memastikan jika ini adalah momen yang tidak akan pernah dilupakan pria itu seumur hidupnya.
Cantika menatap sekeliling, saat merasa jika tamu undangan sudah cukup banyak, Cantika sengaja merebut mic yang digunakan oleh presenter untuk membawakan acara.
“Mohon perhatian semuanya…”
Para tamu undangan seketika menoleh dan menatap pada Cantika.
“Ini merupakan hari spesial saya— namun bukan karena hari ini saya bertunangan dengan Dion Ferdiansyah… di hari ini, justru saya ingin membuat pengumuman penting.” Cantika menoleh ke arah Dion yang balas menatapnya dengan dingin. Tatapan Dion seolah penuh tanya dengan apa yang sebenarnya akan Cantika lakukan.
“Pengumuman tersebut adalah— saya dan Dion memutuskan untuk membatalkan pertunangan.”
Hening sesaat. Namun tak lama kemudian beberapa tamu undangan berkasak kusuk seolah menggunjingkan hubungan mereka. Damar dan Wina, orangtua Dion berjalan mendekati Cantika dengan tergesa-gesa. Begitu pula Ariny dan Robby, orangtua Cantika.
“Maksud kamu apa? Kenapa tiba-tiba kamu ngomong mau mutusin pertunangan?” bisik Robby.
“Cantika, kalau kamu sedang bertengkar dengan Dion, baiknya dibicarakan baik-baik setelah acara. Jangan seperti ini," bujuk Wina.
“Justru aku ngomong di sini biar semuanya jelas. Sebelumnya aku mau minta maaf sama Mama, Papa… juga Om Tante…” Cantika menatap kedua orangtuanya, kemudian kedua orangtua Dion. “Selama ini, Dion nggak pernah cinta sama aku. Dia bersedia tunangan, bahkan menikah sama aku juga karena terpaksa. Aku nggak pengen hubungan kami terus lanjut dengan keterpaksaan. Lagipula, sekarang aku udah nemuin orang yang aku sayang…”
Para tamu undangan makin riuh berkasak-kusuk. Dion terdiam menahan geram, dia merasa dipermalukan oleh Cantika. Dion melangkah tegas mendekati Cantika, lalu menarik tangannya.
“Ikut aku!”
“Apaan sih? Lepasin! Acara aku belum selesai!” Cantika menghempaskan tangan Dion yang mencengkeram pergelangannya. Cantika menggunakan mic untuk kembali bicara. “Hari ini saya pengen memperkenalkan calon suami saya yang sebenarnya, Lian Narendra…”
Lian muncul dari arah belakang, melangkah mantap membelah para tamu undangan yang refleks memberi jalan untuk Lian yang berjalan menghampiri Cantika. Dion tercekat, masih tak percaya jika sahabat terbaiknya hadir di acara pertunangannya sebagai pengganti dirinya. Dion mendekat pada Lian.
“Maksud lo apa?” tanya Dion penuh penekanan.
“Sorry, Bro,” jawab Lian. “Tapi bukannya selama ini lo selalu keberatan kalo harus tunangan apalagi nikah sama Cantika? Gue bersedia gantiin lo.”
Dion makin geram hingga spontan menarik kerah baju Lian. “Tapi gak kayak gini caranya, ini sama aja lo bikin malu gue di depan banyak orang.”
Cantika mendorong tubuh Dion menjauh dari Lian, detik berikutnya Cantika mendekatkan wajahnya pada telinga Dion lalu berbisik, “Jangan nyalahin Lian, apa yang terjadi di acara pertunangan kita murni rencana aku.”
Cantika tersenyum puas. Dia tau jika acara pesta kali ini bukan cuma mempermalukan Dion, tapi juga keluarganya, bahkan keluarganya sendiri. Entah apa yang sudah merasuki Cantika, tapi dia sama sekali tidak merasa menyesal dengan apa yang telah dia rencanakan.
Cantika kembali mendekat pada Lian dan menggandeng lengannya dengan sok mesra.
“Kerja bagus,” bisik Cantika. Lian hanya diam meski terlihat dari wajahnya sedang menahan geram, dia berusaha menarik tangannya namun Cantika makin erat menggandengnya.
“Senyum dong, jangan kayak orang terpaksa gitu,” bisik Cantika di telinga Lian.
“Kamu emang maksa aku, dasar Rubah Betina!” Lian balas berbisik penuh penekanan. Cantika menahan tawa mendengar julukan yang diberikan Lian.
Dion masih berdiri terpaku menatap ke arahnya dan Lian. Menyadari sepasang mata elang itu sedang menatapnya, Cantika sengaja menyandarkan kepalanya di bahu Lian. Sudut bibirnya terangkat, kali ini dia benar-benar puas karena berhasil membuat Dion terlihat seperti orang bodoh.
“Cantika!”
Satu teriakan menggelegar yang sukses membuyarkan euforia di hati Cantika. Suara yang keras dan tegas milik Robby. Cantika sudah menduga kalau papanya pasti akan marah karena keputusan gilanya. Cantika baru menoleh ke arah sumber suara, namun saat yang bersamaan kepalan tangan Robby menghantam wajah Lian.
Tubuh Lian limbung sesaat setelah pipi kirinya menerima pukulan.
“Lian!” Pekik Cantika sambil menahan tubuh Lian agar tetap berdiri. Cantika langsung menarik dagu Lian untuk melihat sudut bibirnya yang baru saja dipukul oleh Robby. Cantika shock melihat sudut bibir tersebut robek. Cantika mengusap darah yang mengintip di ujung bibir Lian, sebelum menoleh penuh dendam pada Robby.
“Apa hak papa mukul Lian? Dia laki-laki pilihan aku— kalo papa nggak setuju, papa nggak perlu nganggep dia menantu. Lagian aku juga nggak butuh restu dari papa.”
“Kamu memang anak kurang ajar!!” Robby Kembali mengangkat tangannya, seolah akan menampar Cantika. Namun Ariny— mama tiri Cantika lebih dulu menahannya.
“Pa— jangan!”
“Pukul aja, Pa! Pukul!” tantang Cantika. “Kenapa sekarang papa marah? Bukannya biasanya papa nggak pernah peduli sama apa pun yang aku lakuin? Yang papa peduliin cuma istri baru papa dan anak-anaknya.”
Lian meremas tangan Cantika, seolah memberi kode agar Cantika tidak meneruskan keributan dengan Robby. Terlebih di hadapannya, Robby terlihat tak kalah emosinya. Tangan kanannya masih ditahan oleh Ariny. Emosinya memuncak hingga wajahnya merah padam, namun Cantika sama Sekali tak gentar. Kedua matanya menatap Robby dengan tegas.
“Kalo papa nggak setuju sama pertunangan ini, papa boleh pergi.”
Robby terdiam menatap Cantika dengan geram. Cantika sama sekali tak gentar, dia balas menatap Robby dengan tegas. Selain Dion, Robby adalah pria yang selalu menyakitinya. Lelaki yang sebenarnya tak ingin dipanggilnya Papa.
3 Juni 2023 Tiga bulan sebelum hari pertunangan. Cantika memasuki klinik hewan milik Lian yang sudah sepi. Cantika memang sengaja memilih jam malam, karena Lian pasti sudah selesai praktik saat ini. Cantika melangkah menuju ruangan praktik Lian, namun sebelum tiba di sana Cantika lebih dulu disambut oleh Fandy—asisten Lian. “Maaf, kami sudah tutup.” “Aku emang sengaja nunggu tutup. Dokter Lian ada di ruangannya, kan?” Cantika hendak lanjut berjalan menuju ruangan Lian, namun Fandy menghadangnya. “Maaf, tapi dokter Lian sudah mau pulang.” “Bilang sama dia kalo yang dateng calon istrinya,” tegas Cantika dan langsung duduk di kursi tunggu yang di sediakan di depan ruang praktik Lian. Fandy terdiam beberapa saat, seolah masih mencerna ucapan Cantika barusan. “Kenapa malah bengong di situ? Buruan kasih tau Lian.” “I—iya permisi…” Fandy buru-buru melipir masuk ke ruangan Lian. Cantika tersenyum penuh rencana. “Liat aja Dion— aku bakal kasih kamu kejutan yang nggak pernah kamu sangka
5 September 2023 Beberapa jam setelah acara pertunangan usai. Banquet Hall sudah sepi, menyisakan Lian dan Cantika yang masih duduk di sudut ruangan. Cantika memerhatikan Lian yang mengompres lukanya dengan kantong es. “Sakit?” Cantika menyentuh luka di sudut bibir Lian yang belum kering. “Pake nanya lagi, jelas sakit banget lah, Mbak,” jawab Lian sambil menyinkirkan tangan Cantika. “Makanya jangan pegang-pegang.” “Ntar gue ganti rugi deh, bilang aja lo mau berapa?” Lian memutar bola matanya saat Cantika membahas soal ganti rugi. “Di mata kamu, aku sematre itu? Yaudah, dua juta aja deh.” Cantika tertawa mencibir sesaat setelah Lian meminta kompensasi. “Padahal tadi acaranya udah seru, sayang banget bokap gue ngerusak suasana,” keluh Cantika. Lian mencebik. “Kamu sendiri kali yang ngerusak suasana. Puas kamu sekarang?” tanya Lian dengan nada datar. “Puas dong, Sayang… soalnya sekarang kita udah resmi tunangan. Gue udah berhasil ngerebut lo dari Dion.” Cantika tersenyum tanpa d
Tubuh Lian terhempas hingga membentur pagar rumah kontrakannya sesaat setelah Dion melayangkan pukulan telak di wajahnya. Lian meringis, sambil mengusap sudut bibirnya yang lagi-lagi terkena hantaman—setelah sebelumnya juga dipukul oleh Robby. Dion makin kesal karena Lian sama sekali tidak memberikan perlawanan. Dion kembali mendekat pada Lian, menjenggut kerah bajunya dengan kasar. “Kenapa lo diem aja?” “Karena gue ngerasa bersalah sama lo. Gue udah mempermalukan lo— sekarang terserah lo mau ngapain. Lo boleh hajar gue sepuas lo.” Dion mencengkeram kerah baju Lian makin erat. Emosinya memuncak saat melihat wajah Lian yang terlihat pasrah saja. “Jangan kira kalo gue nggak tega sama lo!” Dion sekali lagi menghantamkan pukulan di wajah Lian, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Tubuh Lian oleng menabrak bak sampah yang berdiri di depan rumah kemudian terguling ke aspal. Lian meringis menahan perih di tangannya yang sempat bergesekan dengan jalanan aspal. Dion baru saja menarik tu
Lian menghentikan laju motor vespanya di depan klinik. Belum juga sempat menata motor ke tempat parkir, dia kaget melihat Cantika duduk di atas kap mobil warna lime-nya yang terparkir di tepi jalan depan klinik. Lian turun dari motor. “Masih pagi udah ke sini aja, Mbak?” sapa Lian setelah membuka kaca helmnya. “Kayaknya aku bakal sial sampe matahari tenggelam.” Cantika menghampiri Lian lalu menarik resleting jaket Lian sampai separo dan terlihat seragam klinik yang cowok itu kenakan. “Aku udah ngira kamu bakal tetep mau praktik.” Dia naikkan lagi resleting jaket bomber butut itu. “Gak! Pokoknya aku gak ijinin!” Lian melepas helm lalu dia taruh di spion motor. “Nggak bisa gitu dong, Can. Aku mau tetep praktik karena aku butuh duit.” “Dasar matre!” ketus Cantika, kesal. Lian buang muka sambil nyengir menyindir ejekan Cantika. Dia tidak memedulikan cewek itu dan malah menuntun vespanya sampai di parkiran klinik. “Bodo amat mau aku dikatain matre kek, mata duitan kek. Mau buang aer aj
Mobil lime Cantika mengerem galak di depan gerbang berukiran gold yang mewah, disertai dengan bunyi klakson yang terus dibunyikan tanpa henti. Lian hanya bisa geleng kepala. “Udahan dong bunyiin klakson, udah kek orang kesurupan,” ucapnya mencoba menghentikan aksi gila Cantika. Tapi bukan Cantika namanya kalau menggubris suruhan macam itu. Aksi bar-bar Cantika baru berhenti setelah gerbang mewah itu perlahan terbuka lebar. Cantika segera menginjak gas dan melajukan mobilnya ugal-ugalan hingga terparkir sembarangan di rumput hias taman depan, sampai mengukirkan jejak ban yang awut-awutan. “Aduh, Can! Kita nggak bakal disuruh ganti rugi, kan?” tanya Lian. “Perlu gue suruh orang buat hancurin nih taman kalo sampe kita disuruh ganti?” ketus Cantika. Lian kicep, geleng kepala. “Nggak. Aku sempet lupa kalau kamu nggak ada lawan pokoknya.” “Nah, itu tahu!” Cantika turun, diikuti Lian yang sudah mengenakan kemeja tartan flanel bermerek. Sempat mampir ganti baju di toilet SPBU tadi. Cant
CCTV berkedip merah, tanda bahwa mesin perekam video itu menyala dan berfungsi menyorot situasi cafe. Lian yang sedang duduk berhadapan dengan Dion di kursi pojok belakang sejenak memerhatikan benda di sudut plafon atas kasir itu. “Woy!” Seketika Lian agak terlonjak karena selentingan barusan. Dilihatnya lekat-lekat cowok yang mengaku sebagai sahabatnya yang terkhianati pemilik suara itu. Dia langsung mendelik lalu menyeruput lemon tea yang lima belas menit lalu dipesankan untuknya. “Sorry, gue salfok sama CCTV itu, kayaknya bagus kalo gue beli satu buat di klinik.” “Gak usah ngeles, deh. Buruan lo jelasin kejadian sebenernya antara lo sama Cantika ke gue,” sahut Dion tergesa. Bukannya menuruti suruhan Dion, Lian malah terus asyik menyedot minumannya. Haus beneran. Lagipula dia ragu kalau harus menceritakan detil yang dimaksud Dion. Tapi kalau tidak cerita juga dia merasa tidak enak main rahasia dengan sahabatnya. “Yaudah, iya, bakal gue jelasin, runtut dari A ampe Z,” jawab Lia
Cantika menarik lengan Lian keluar cafe meninggalkan Dion yang menatap mereka dengan penuh amarah. Sesekali Cantika melirik Dion lalu tertawa-tawa.“Puas amat ketawanya?” Lian heran.“Puas dong, sayang!” sahut Cantika, “karena aku ngerasa udah berhasil balas dendam dengan ngerebut kamu dari Dion.” Cantika melanjutkan tawanya sampai di parkiran lalu masuk mobil. Kali ini mobil sedan warna hitam. Lian sudah tidak kaget lagi dengan gaya ala sultan cewek satu ini.Awalnya Lian malas masuk mobil yang bodinya mengilap sampai bisa membuatnya ngaca itu. Tapi lagi-lagi demi kemaslahatan umat, alias demi ketenangan bersama, dia pilih menuruti si cewek gila. Dia masuk mobil yang seketika itu menyeruakkan semerbak harum menenangkan.“Sekali lagi aku ingetin ya, Dion itu gak seperti yang kamu pikirin, Can.” Begitu pikiran tenang, Lian coba menjelaskan. “Percaya deh sama aku, Dion itu normal.”Cantika cuek saja, dia pura-pura fokus berkendara, menjauhi cafe yang beberapa saat lalu menjadi saksi bis
Lian menuntun vespa bututnya sampai di depan kontrakan. Ternyata Fandy sudah di emperan, menyambut dengan tatapan tajam sambil melipat tangan di dada. Lagaknya sudah seperti emak yang geram menunggu pulang anaknya.“Seneng ya tiap hari nuntun si butut gitu?” sindir Fandy. “Mayan, gak usah fitness.”Lian berhenti di samping Fandy lalu menurunkan standar motornya. Dia menghela napas lelah. Sudah yakin sindiran itu akan berlanjut dengan omelan.“Gak tiap hari juga kali, Fan,” sangkal Lian.Fandy mendengus kesal. “Kan gue bilang juga lo tuh kudu giat cari duit, biar bisa beli motornya Kamen Rider, noh, gantiin si butut ini!” Fandy menggoyang keras stang vespa yang tidak salah apa-apa. “Atau minimal selametan buat matic keluaran terbaru, gitu!”“Matic keluaran terbaru juga sama aja mahal,” Lian nyengir. Sebenarnya malas meladeni asistennya yang tak lain si anak sultan satu itu. Meski omongannya selalu jadi pecutan, tapi bukannya bantuin nyumbang, sukanya nyinyir doang.“Lagian lo bukannya
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S
“Saya memohon restu Pak Rahadi untuk meminang Cantika menjadi istri saya,” terang Lian dengan suara tegas. Degup jantungnya menggebu sampai jemari tangannya sedikit gemetar bahkan keringat terus merembes keluar membasahi telapak tangan.Rahadi yang semula tampak sehat langsung merasa tak enak badan. Dadanya sakit, kepalanya berdenyut nyeri, tengkuk terasa panas. Agni yang menyadari sikap aneh Rahadi langsung panik lalu mengeceknya.“Ayah! Ayah kenapa?” Agni memegang bahu Rahadi. “Ada yang sakit?”Rahadi tidak menjawab. Dia coba mengatur napas dan menelan ludah untuk menyetabilkan emosi. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di ruangan itu panik juga, takut Rahadi kumat sakit jantungnya.Dengan napas berat Rahadi berujar, “Kamu masih tidak menyerah ya, Lian? Kamu anggap remeh saya?!” bentak Rahadi.Agni geleng kepala. “Ayah, tolong jangan mar
Lian duduk santai di salah satu café yang berjarak dekat dengan rumah sakit tempat Dokter Septian berpraktik. Hari itu cerah, namun pikiran Lian terombang-ambing dalam kegalauan yang mendalam. Setelah hasil tes DNA membuktikan bahwa dia memang anak biologis Septian, rasanya masih terasa aneh baginya. Tak lama kemudian, Dokter Septian datang dengan wajah berseri. Lian langsung memberikan senyuman dan menyapanya, “Selamat siang, Dok. Makasih udah meluangkan waktu.”Dokter Septian menjawab sapaan Lian dengan ramah, “Kenapa manggil ‘Dok’ lagi?”Lian baru menyadari jika dia salah menyebut panggilan untuk Septian. “Maaf—” Lian memang masih belum terbiasa memanggil Septian dengan sebutan Ayah. Rasanya masih begitu asing di lidahnya. Namun dia juga takut jika Septian akan merasa sedih jika dia tidak bersedia memanggilnya ayah.Melihat Lian yang terdiam kebingungan, Septian malah tertawa. “Ayah hany
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri