Tubuh Lian terhempas hingga membentur pagar rumah kontrakannya sesaat setelah Dion melayangkan pukulan telak di wajahnya. Lian meringis, sambil mengusap sudut bibirnya yang lagi-lagi terkena hantaman—setelah sebelumnya juga dipukul oleh Robby.
Dion makin kesal karena Lian sama sekali tidak memberikan perlawanan. Dion kembali mendekat pada Lian, menjenggut kerah bajunya dengan kasar.
“Kenapa lo diem aja?”
“Karena gue ngerasa bersalah sama lo. Gue udah mempermalukan lo— sekarang terserah lo mau ngapain. Lo boleh hajar gue sepuas lo.”
Dion mencengkeram kerah baju Lian makin erat. Emosinya memuncak saat melihat wajah Lian yang terlihat pasrah saja.
“Jangan kira kalo gue nggak tega sama lo!” Dion sekali lagi menghantamkan pukulan di wajah Lian, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Tubuh Lian oleng menabrak bak sampah yang berdiri di depan rumah kemudian terguling ke aspal. Lian meringis menahan perih di tangannya yang sempat bergesekan dengan jalanan aspal.
Dion baru saja menarik tubuh Lian untuk menghantamkan pukulan lagi, namun saat itu tiba-tiba saja terdengar suara teriakan.
“Kak Lian!!”
Dion dan Lian menoleh ke arah sumber suara yang ternyata Syabila— tetangga Lian yang baru pulang kampus dengan ojek online. Syabila yang melihat keributan tersebut sontak melompat turun dari ojek, lantas buru-buru berlari menghampiri Dion dan Lian. Syabila langsung mendorong Dion menjauh dari Lian.
“Lo apa-apaan sih?”
“Lo gak usah ikut campur!”
“Gue gak bakal diem aja kalo lo macem-macem sama kak Lian!” tegas Syabila sambil mendorong Dion lagi dengan kasar. Setelahnya Syabila menghampiri Lian, dia makin panik saat melihat wajah Lian babak belur.
“Ya ampun, Kak… kamu sampe babak belur gini.” Syabila berkaca-kaca saat melihat wajah Lian penuh lebam.
“Gapapa, kok.”
“Masih bilang gapapa?! Wajah ganteng kamu udah penuh lebam gini… gimana kalo sampe ninggalin bekas?!” Air mata Syabila mengalir, dia menangis terisak-isak sambil meraba-raba wajah Lian yang penuh luka.
“Aww!” Lian meringis saat Syabila tak sengaja menyentuh sudut bibirnya.
“Sorry, Kak. Sakit banget ya? Kita ke rumah sakit aja deh.” Syabila merangkul Lian, berniat membawanya pergi. Namun Dion langsung menghadang langkah Syabila dan Lian.
“Urusan gue sama Lian belum selesai. Minggir lo,” tegas Dion. Syabila langsung melotot tajam.
“Elo yang minggir! Kalo gak, gue bakal teriak! Gue bakal bilang sama semua orang kalo lo udah ngelecehin gue, biar sekalian lo diamuk massa!” ancam Syabila.
Dion terdiam dan menatap Syabila dengan mata lelah. Dion tahu pasti jika ancaman Syabila bukan sebatas omong kosong. Dion adalah orang yang paling tahu jika selama ini Syabila mencintai Lian secara ugal-ugalan. Perempuan yang mungkin akan berduel dengan banteng jika binatang itu sampai berani melukai Lian.
Sebuah motor sport berhenti di depan rumah Lian. Fandy turun dari motornya sambil melepas helm. Dion mendengus kesal, satu lagi pengganggu datang. Sesaat setelah melihat wajah Lian yang babak belur, Fandy langsung berlari heboh menghampiri Lian.
“Lian, lo kenapa? Kok babak belur gini?” Mata Fandy menyisir sekujur tubuh Lian, memeriksa dari ujung kepala Sampai kaki.
“Cuma lecet aja, gwenchana…” sahut Lian sambil tersenyum, namun detik berikutnya Lian merasa sudut bibirnya perih. “Aww!!”
“Udah kayak orang sekarat gini masih bilang gwenchana! Siapa yang udah bikin lo kayak gini?” tanya Fandy.
“Tuh, si Dion!” Syabila menunjuk Dion dengan wajah berapi-api. Fandy langsung menoleh pada Dion dengan ekspresi tak habis pikir.
“Ada masalah apa lo sama Lian? Sampe-sampe lo mukulin dia kayak gini?” Fandy berjalan mendekati Dion dengan kedua tangan terkepal erat. Lian yang sangat memahami temperamen Fandy yang meledak-ledak buru-buru menahan lengannya, “itu masalah gue sama Dion, lo gak usah ikut-ikut.”
“Kalian denger sendiri, kan? Ini masalah gue sama Lian, kalian yang nggak tau apa-apa mending pergi,” tegas Dion. Lian mengangguk mengiyakan.
“Gue ada sedikit masalah sama Dion, sekarang gue bakal nyelesein masalah gue dulu sama dia. Jadi please, mending kalian pergi dulu.” Lian mendorong Fandy dan Syabila, namun keduanya sama-sama enggan beranjak.
“Kalo kita pergi, Dion pasti bakal gebukin kamu lagi, Kak.”
“Lagian masalah apa sih yang bikin lo sampe semarah ini sama Lian? Yang gue tau, selama ini lo sahabat Lian—”
“Sahabat?” Dion tertawa sarkas. “Orang macem Lian gak bisa dianggep sahabat! Dia udah ngekhianatin gue, bahkan bikin malu gue di depan banyak orang.”
Fandy dan Syabila kaget dan bingung.
“Bikin malu lo gimana?”
“Lian dateng ke acara pesta pertunangan gue sama Cantika— bukan sebagai tamu, tapi sebagai pengganti gue!”
Syabila terbelalak shock. Sedangkan Fandy tak menunjukkan reaksi apa pun, seolah dia tidak terkejut setelah mengetahui jika Lian bertunangan dengan Cantika.
“Pengganti? Maksudnya kak Lian yang tunangan?” tanya Syabila. Kedua tangannya langsung meraih lengan Lian, lalu mengguncangnya. “Itu nggak bener kan, Kak? Kak Lian nggak tunangan sama cewek lain, kan?”
Lian hanya diam. Melihat keterdiaman itu, Syabila langsung lemas. “Jadi beneran kak Lian udah tunangan? Kenapa, kak? Padahal sebelumnya Kak Lian nolak aku, katanya belum siap punya komitmen. Terus sekarang malah tunangan!! Mana tunangannya sama calon istrinya Dion lagi.” Syabila menangis terisak-isak sampai bahunya terguncang.
“Masalahnya sulit dijelasin, Bila…” Lian serba salah. Lian baru saja menyentuh bahu Syabila, tapi perempuan itu dengan cepat menghempaskan tangan Lian.
“Kak Lian jahaaat!!” Syabila langsung berlari ke arah rumahnya sambil terus menangis dan berteriak-teriak. Lian menatap kepergian Syabila dengan lesu. Fandy geleng-geleng kepala saat melihat Lian hanya terdiam. “Kenapa lo malah diem aja? Jelasin aja yang sebenernya, daripada jadi salah paham yang nggak ada habisnya.”
Lian mengernyit bingung karena ucapan Fandy. “Lo tau apa?”
“Gue tau kalo tunangan sama Cantika bukan kemauan lo.” Fandy kemudian menoleh pada Dion dengan tegas. “Setelah gue jelasin, lo harus sujud di kaki Lian sambil minta maaf.”
Dion mengernyit bingung.
“Fandy! Ini urusan gue sama Dion, lo gak usah ikut campur.” Lian menepuk bahu Fandy, memberi kode agar Fandy segera pergi. Namun Fandy malah menggeleng.
“Kalo gue nggak ikut campur, yang ada elo makin babak belur.” Fandy menepuk wajah Lian yang sudah dipenuhi memar.
“Bisa gak sih lo gak bikin gue emosi?” gerutu Lian sambil meringis kesakitan.
“Dion yang udah ngehajar lo sampe babak belur gak bikin lo emosi?” sindir Fandy.
“Maksud lo tadi apa?” tanya Dion.
“Calon istri lo— eh, salah! Udah jadi mantan sekarang ya. Pokoknya si Cantika itu yang maksa, bahkan sampe ngancem Lian buat tunangan sama dia.”
Penjelasan Fandy membuat Dion terdiam shock. Dion langsung menoleh pada Lian untuk memastikan. “Cantika ngancem lo? Ngancem gimana?”
Lian tak mengatakan apa pun.
“Seharusnya lo nanya gitu sebelum gebukin Lian! Padahal lo tau sendiri, kalo fisik Lian gak sekuat elo!” Fandy nyerocos sambil mendorong dada Dion.
“Gue bukan cenayang, mana gue tau kalo nggak ada yang ngasih tau gue?!” Dion balas mendorong Fandy hingga tubuhnya nyaris oleng. Fandy yang emosi langsung maju sambil menggulung lengan baju, seolah siap baku hantam dengan Dion. Namun sebelum itu terjadi, Lian lebih dulu menarik lengan Fandy.
“Fandy, stop!” tegur Lian.
“Lo udah dibikin bonyok sama Dion, terus sekarang lo masih belain dia?” Fandy memutar bola matanya.
“Gue nggak belain Dion, gue cuma nggak mau kalo sampe kalian bikin ribut di sini. Yang ada gue kena tegur pak RT,” jelas Lian sambil menarik Fandy agar menjaga jarak dari Dion.
“Alesan!” Fandy mencibir sambil menatap Dion dengan sinis. Dion mengabaikan sikap Fandy.
“Fandy, sebenernya apa lagi yang lo tau?” tanya Lian.
“Gue udah tau semua,” jawab Fandy. “Gue tau kalo lo pasti kesel kalo gue nguping pembicaraan lo sama Cantika waktu itu— tapi gue ngerasa ada yang nggak beres sama Cantika. Makanya gue diem-diem ngawasin kalian. Ternyata bener dugaan gue, cewek itu emang nggak waras. Tapi yang lebih nggak waras itu elo, Lian— bisa-bisanya lo ngikutin permainan tu cewek?”
“Gue nggak siap kehilangan kerjaan, gue masih butuh duit.”
“Tunggu deh— kalian berdua bisa ngomong lebih jelas nggak?” Dion menoleh pada Lian. “Khususnya lo, Lian! Gue masih kecewa sama lo. Kenapa lo nggak ngomong apa-apa sama gue? Bahkan setelah gue ngehajar sampe babak belur gini, lo masih nggak ada rencana cerita sama gue?”
Lian menghentikan laju motor vespanya di depan klinik. Belum juga sempat menata motor ke tempat parkir, dia kaget melihat Cantika duduk di atas kap mobil warna lime-nya yang terparkir di tepi jalan depan klinik. Lian turun dari motor. “Masih pagi udah ke sini aja, Mbak?” sapa Lian setelah membuka kaca helmnya. “Kayaknya aku bakal sial sampe matahari tenggelam.” Cantika menghampiri Lian lalu menarik resleting jaket Lian sampai separo dan terlihat seragam klinik yang cowok itu kenakan. “Aku udah ngira kamu bakal tetep mau praktik.” Dia naikkan lagi resleting jaket bomber butut itu. “Gak! Pokoknya aku gak ijinin!” Lian melepas helm lalu dia taruh di spion motor. “Nggak bisa gitu dong, Can. Aku mau tetep praktik karena aku butuh duit.” “Dasar matre!” ketus Cantika, kesal. Lian buang muka sambil nyengir menyindir ejekan Cantika. Dia tidak memedulikan cewek itu dan malah menuntun vespanya sampai di parkiran klinik. “Bodo amat mau aku dikatain matre kek, mata duitan kek. Mau buang aer aj
Mobil lime Cantika mengerem galak di depan gerbang berukiran gold yang mewah, disertai dengan bunyi klakson yang terus dibunyikan tanpa henti. Lian hanya bisa geleng kepala. “Udahan dong bunyiin klakson, udah kek orang kesurupan,” ucapnya mencoba menghentikan aksi gila Cantika. Tapi bukan Cantika namanya kalau menggubris suruhan macam itu. Aksi bar-bar Cantika baru berhenti setelah gerbang mewah itu perlahan terbuka lebar. Cantika segera menginjak gas dan melajukan mobilnya ugal-ugalan hingga terparkir sembarangan di rumput hias taman depan, sampai mengukirkan jejak ban yang awut-awutan. “Aduh, Can! Kita nggak bakal disuruh ganti rugi, kan?” tanya Lian. “Perlu gue suruh orang buat hancurin nih taman kalo sampe kita disuruh ganti?” ketus Cantika. Lian kicep, geleng kepala. “Nggak. Aku sempet lupa kalau kamu nggak ada lawan pokoknya.” “Nah, itu tahu!” Cantika turun, diikuti Lian yang sudah mengenakan kemeja tartan flanel bermerek. Sempat mampir ganti baju di toilet SPBU tadi. Cant
CCTV berkedip merah, tanda bahwa mesin perekam video itu menyala dan berfungsi menyorot situasi cafe. Lian yang sedang duduk berhadapan dengan Dion di kursi pojok belakang sejenak memerhatikan benda di sudut plafon atas kasir itu. “Woy!” Seketika Lian agak terlonjak karena selentingan barusan. Dilihatnya lekat-lekat cowok yang mengaku sebagai sahabatnya yang terkhianati pemilik suara itu. Dia langsung mendelik lalu menyeruput lemon tea yang lima belas menit lalu dipesankan untuknya. “Sorry, gue salfok sama CCTV itu, kayaknya bagus kalo gue beli satu buat di klinik.” “Gak usah ngeles, deh. Buruan lo jelasin kejadian sebenernya antara lo sama Cantika ke gue,” sahut Dion tergesa. Bukannya menuruti suruhan Dion, Lian malah terus asyik menyedot minumannya. Haus beneran. Lagipula dia ragu kalau harus menceritakan detil yang dimaksud Dion. Tapi kalau tidak cerita juga dia merasa tidak enak main rahasia dengan sahabatnya. “Yaudah, iya, bakal gue jelasin, runtut dari A ampe Z,” jawab Lia
Cantika menarik lengan Lian keluar cafe meninggalkan Dion yang menatap mereka dengan penuh amarah. Sesekali Cantika melirik Dion lalu tertawa-tawa.“Puas amat ketawanya?” Lian heran.“Puas dong, sayang!” sahut Cantika, “karena aku ngerasa udah berhasil balas dendam dengan ngerebut kamu dari Dion.” Cantika melanjutkan tawanya sampai di parkiran lalu masuk mobil. Kali ini mobil sedan warna hitam. Lian sudah tidak kaget lagi dengan gaya ala sultan cewek satu ini.Awalnya Lian malas masuk mobil yang bodinya mengilap sampai bisa membuatnya ngaca itu. Tapi lagi-lagi demi kemaslahatan umat, alias demi ketenangan bersama, dia pilih menuruti si cewek gila. Dia masuk mobil yang seketika itu menyeruakkan semerbak harum menenangkan.“Sekali lagi aku ingetin ya, Dion itu gak seperti yang kamu pikirin, Can.” Begitu pikiran tenang, Lian coba menjelaskan. “Percaya deh sama aku, Dion itu normal.”Cantika cuek saja, dia pura-pura fokus berkendara, menjauhi cafe yang beberapa saat lalu menjadi saksi bis
Lian menuntun vespa bututnya sampai di depan kontrakan. Ternyata Fandy sudah di emperan, menyambut dengan tatapan tajam sambil melipat tangan di dada. Lagaknya sudah seperti emak yang geram menunggu pulang anaknya.“Seneng ya tiap hari nuntun si butut gitu?” sindir Fandy. “Mayan, gak usah fitness.”Lian berhenti di samping Fandy lalu menurunkan standar motornya. Dia menghela napas lelah. Sudah yakin sindiran itu akan berlanjut dengan omelan.“Gak tiap hari juga kali, Fan,” sangkal Lian.Fandy mendengus kesal. “Kan gue bilang juga lo tuh kudu giat cari duit, biar bisa beli motornya Kamen Rider, noh, gantiin si butut ini!” Fandy menggoyang keras stang vespa yang tidak salah apa-apa. “Atau minimal selametan buat matic keluaran terbaru, gitu!”“Matic keluaran terbaru juga sama aja mahal,” Lian nyengir. Sebenarnya malas meladeni asistennya yang tak lain si anak sultan satu itu. Meski omongannya selalu jadi pecutan, tapi bukannya bantuin nyumbang, sukanya nyinyir doang.“Lagian lo bukannya
“Dompet, mana dompet?”Lian tampak sibuk mengemasi beberapa barang ke dalam tas pinggangnya. Kesana kemari membenahi penampilan dan sesekali melirik dirinya yang terpantul di cermin panjang. Lilo yang berbaring di tikar bolak-balik menggerakkan kepala memerhatikan babu manusianya. Tiba-tiba Lian berhenti.“HP baruku mana?” Matanya menerawang mengingat dimana terakhir kali dia meletakkan gadget keluaran terbaru pemberian Cantika itu.“Terakhir kan kupake chat Cantika semalem buat janji ketemuan,” gumamnya sambil menggapit kepala, berusaha keras untuk mengingat.“Ah...” Lian memukul telapak tangan kirinya. “Kan kutaruh di lemari.” Begitu ingat dia buru-buru masuk kamar untuk mengambilnya, kemudian keluar lagi sambil mengusap-usap benda itu dengan hati-hati.Meski merasa tak punya harga diri karena bisa memiliki benda mahal bukan hasil jerih payahnya sendiri melainkan dari hasil mokondo, tapi Lian tidak peduli. Toh dia sudah berkorban waktu, tenaga, dan kewarasan untuk menjadi aktor dada
“Kenapa bulan kemarin lo bolak-balik transfer ke abang gue?” Lian menggenggam HP Dion sambil menatap dengan penuh rasa heran dan tak percaya pada cowok itu.Dion kembali menyandarkan kepala di kursi. Kali ini dia yakin ancamannya pada Lian akan berhasil. “Ya jelaslah buat biaya pengobatan ibu kalian. Gue gak tega, makanya gue pinjemin terus.”“Lo gak bohong, kan?” Lian menggoyang pundak kiri Dion. “Ini editan, kan?”“Buat apa gue bohong? Cuma buat ngancem lo? Bukan gaya gue, tau!” ketus Dion. Dia lepas tangan Lian dari pundaknya. “Sandi bilang gak pengen terlalu bebanin lo buat bantu ngebiayain pengobatan ibu kalian di kampung.”“Bulshit!” teriak Lian, matanya nyalang.“Kok lo misuhin gue?” Dion sedikit kaget dengan perilaku Lian barusan. Lian yang dia kenal selama ini tidak akan sanggup bicara kasar, kotor, maupun mengucapkan sumpah serapah. Yang ada malah dirinya yang dapat khotbah Lian karena sering melakukannya.“Sorry... Gue―” Lian terlalu shock hingga sulit untuk melanjutkan kal
“Kak Lian, syukurlah kamu telepon aku,” ujar suara perempuan di seberang telepon.Lian tersentak. Entah kenapa ucapan adik angkatnya barusan itu membuat perasaannya tidak enak. “Emang ada apa, Mi?”Selama obrolan telepon berlangsung, Arumi mengabarkan bahwa kondisi ibunya semakin mengkhawatirkan. Selain itu, mereka juga tidak mendapat kiriman uang sejak bulan lalu hingga membuat Arumi penasaran apa alasannya.“Tapi aku gak berani tanya ke Kak Lian apalagi Bang Sandi. Aku gak enak udah nyusahin kalian selama ini...”Mendengar pengakuan itu, membuat Lian terhuyung, badannya limbung, karena terpukul dengan kenyataan yang dirinya tidak ketahui selama ini. “Kamu... gak dapet kiriman uang?” tanya Lian dengan suara pelan. Meski Arumi sudah mengatakannya, Lian hanya ingin memastikan karena rasa tidak percaya. Entah tidak percaya pada siapa.“Iya, Kak.”Tanpa mengucap salam, Lian langsung mematikan teleponnya. Dia menghela napas panjang, tangannya terkepal. Matanya tajam melotot pada Sandi yan