5 September 2023
Beberapa jam setelah acara pertunangan usai.
Banquet Hall sudah sepi, menyisakan Lian dan Cantika yang masih duduk di sudut ruangan. Cantika memerhatikan Lian yang mengompres lukanya dengan kantong es.
“Sakit?” Cantika menyentuh luka di sudut bibir Lian yang belum kering.
“Pake nanya lagi, jelas sakit banget lah, Mbak,” jawab Lian sambil menyinkirkan tangan Cantika. “Makanya jangan pegang-pegang.”
“Ntar gue ganti rugi deh, bilang aja lo mau berapa?”
Lian memutar bola matanya saat Cantika membahas soal ganti rugi. “Di mata kamu, aku sematre itu? Yaudah, dua juta aja deh.”
Cantika tertawa mencibir sesaat setelah Lian meminta kompensasi.
“Padahal tadi acaranya udah seru, sayang banget bokap gue ngerusak suasana,” keluh Cantika. Lian mencebik.
“Kamu sendiri kali yang ngerusak suasana. Puas kamu sekarang?” tanya Lian dengan nada datar.
“Puas dong, Sayang… soalnya sekarang kita udah resmi tunangan. Gue udah berhasil ngerebut lo dari Dion.” Cantika tersenyum tanpa dosa sambil mengangkat tangan kirinya, mengingatkan jika di jari mereka kini sudah melingkar cincin kembar.
“Udah gila beneran kamu!” sinis Lian.
“Dion yang bikin gue kayak gini.” Cantika tertawa, meski sebenarnya dia tidak yakin dengan apa yang dia tertawakan. Mungkin benar apa yang dibilang Lian, dia sudah gila.
“Gak usah nyalahin orang lain, Dion males sama kamu pasti karena udah nyadar dari dulu, kalo kamu itu cewek gila!” Lian menghela napas panjang sambil geleng kepala.
“Padahal muka lo kayak orang lugu, tapi lidah lo tajem juga ternyata,” ucap Cantika sambil mencubit pipi Lian geregetan. “Tapi gapapa, aku malah makin gemes sama kamu," goda Cantika, manja.
Cantika masih sibuk mencubit pipi Lian saat Dion kembali ke Banquet Hall tempat acara pertunangan mereka. Cantika yang melihat Dion kembali jadi menahan tawanya agar tidak pecah. Cantika masih ingin menertawakan wajah Dion yang terlihat bodoh setelah dipermalukan di acara pertunangan barusan.
“Dion? Aku kira kamu udah balik duluan?” sapa Cantika, namun Dion mengabaikannya. Dion hanya menatap pada Lian.
“Ada yang mau gue omongin sama lo, ikut gue.” Dion langsung balik badan dan melangkah pergi setelah mengatakan itu. Lian baru saja mau mengikuti Dion, namun Cantika dengan cepat meraih tangan Lian dan menggenggamnya.
“Oops, sorry— gak bisa,” tegas Cantika. Dion kembali berbalik menatap Lian. Mata Dion bergulir memerhatikan tangan Lian yang digenggam oleh Cantika.
“Lian sekarang udah resmi jadi tunangan aku, dan dia pasti lebih mentingin aku daripada sahabatnya,” sindir Cantika sambil tersenyum. “Iya kan, Sayang?” Cantika menoleh pada Lian. Beberapa saat Lian hanya diam sambil menatap Dion dengan ekspresi tidak enak hati.
“Sayang?” suara Cantika penuh penekanan, membuat Lian refleks mengangguk.
“Sorry, Dion. Ntar aja gue samperin ke tempat lo.”
Cantika puas banget mendengar jawaban Lian. Cantika memerhatikan Dion dari puncak kepala hingga ujung kaki, baru kali ini dia melihat pria tersebut terlihat begitu emosi. Melihat ekspresi Dion yang menahan geram itu sebenarnya membuat Cantika ingin tertawa.
“Kamu denger sendiri kan, Dion? Lian sekarang ini nggak mau diganggu— lagian aku sama Lian baru aja tunangan, harusnya kamu tau diri dong. Jangan ganggu kami dulu, kita butuh waktu berduaan,” ucap Cantika sengaja memanas-manasi Dion.
Dion mengepalkan kedua tangannya, berusaha menahan emosi. Dion menoleh pada Lian yang berdiri di samping Cantika.
“Kenapa lo tiba-tiba tunangan sama Cantika?” tanya Dion.
“Gue—” Lian baru mau menjawab, tapi Cantika lebih dulu menyela. “Kan Lian tadi udah jawab, dia mau tunangan sama aku, gara-gara kamu nyia-nyiain aku. Sekarang kamu nggak boleh nyesel ya.”
“Sebenernya apa rencana kamu? Kenapa kamu ngelibatin Lian?”
“Rencana aku cuma mau jadi suami istri yang bahagia sama Lian. Udah dulu ya, aku sama Lian capek. Mau istirahat dulu.” Cantika langsung menarik Lian dan membawanya pergi keluar dari gedung acara. Dion menoleh, menatap sengit pada Cantika yang terus menarik Lian keluar dari Banquet Hall.
***
Cantika mengendarai mobilnya sambil terus tertawa-tawa teringat wajah bodoh Dion. Lian yang duduk di samping kemudi hanya diam, masih tak habis pikir ada orang yang sampai mempermainkan acara pertunangan hanya untuk memberi pelajaran untuk mantan tunangan.
“Aku harus pura-pura sampe kapan?” tanya Lian.
Cantika hanya mengangkat bahunya.
“Jawab yang serius! Aku juga nggak mau terlalu lama jadi tunangan palsu kamu, ntar yang ada aku nggak bisa deketin cewek lain,” gerutu Lian kesal.
“Sebelumnya gue udah bilang, kalo kita harus nikah. Pokoknya gue bakal ngerebut lo dari Dion. Biar dia patah hati.”
Lian menghela napas panjang, berusaha tetap tenang menghadapi Cantika yang selalu saja bersikap semaunya. “Masih aja mikir kalo Dion belok? Itu nggak bener, Dion masih normal. Dia suka cewek kok. Jadi please, jangan lagi ngelibatin aku sama rencana kamu yang di luar nalar itu.”
“Balik lagi, gue gak ngasih lo tawaran— tapi perintah.”
“Mbak Cantik—”
“Jangan kebiasaan manggil gue Mbak Cantik deh, kalo sampe kedenger orang lain, bakal aneh banget. Secara status kita sekarang tunangan. Gue juga harus ubah cara ngomong deh—” Cantika berdeham sejenak, lalu melanjutkan, “mulai sekarang gue bakal pake aku kamu. Biar kita lebih mesra.”
“Pasangan palsu, bisa mesra dari mana?” Lian hanya geleng kepala.
“Kamu nggak usah kebanyakan protes, cukup ikutin permainan aku.”
“Kenapa kamu harus sampe kayak gini sih, Can? Aku ngerasa kamu udah berlebihan. Kamu gak nyadar apa, bukan cuma Dion yang kamu bikin malu, tapi juga keluarga kamu— termasuk diri kamu sendiri.”
Cantika menggeleng sambil tertawa. “Bodo amat!”
“Agak lain emang kamu, Mbak.”
Cantika berdecak saat Lian masih memanggilnya ‘Mbak’. Lian hanya nyengir saat menyadari tatapan tak suka dari Cantika.
“Setelah ini mending kamu gak usah praktik lagi, kalo sampe ketahuan kamu dokter gadungan— aku juga yang malu.” Cantika menghentikan mobilnya di depan rumah kontrakan Lian.
“Kalo aku nggak praktik, aku dapet duit dari mana? Lagian kalo aku nggak jadi dokter gadungan lagi, kamu nggak bakal bisa ngancem aku, kan?” Lian melepas seat belt di tubuhnya, namun kesulitan. Cantika yang melihat itu spontan membantu Lian hingga tubuhnya berdekatan dengan Lian.
“Mulai sekarang, anggap aja kamu kerja sama aku. Berapa pendapatan kamu pas jadi dokter hewan, aku bakal bayar sama. Gimana?” tawar Cantika dengan wajah yang begitu dekat dengan Lian. Tidak nyaman dengan posisi mereka yang berdekatan, Lian buru-buru membuka pintu mobil dan keluar. Lian langsung menutup pintu.
Cantika membuka kaca mobil agar bisa melihat Lian, namun Lian langsung memberi gestur mengusir Cantika.
“Aku capek, mau istirahat. Kamu buruan pergi sana.”
“Kirain ditawarin masuk dulu.”
“Buruan pergi!”
Cantika berdecak kesal, tapi akhirnya melajukan mobilnya pergi dari sini. Setelah mobil Cantika berbelok dan tak terlihat lagi, Lian langsung balik badan berniat masuk rumah. Namun tiba-tiba saja sebuah pukulan keras mendarat tepat di pipi kirinya.
Lian seketika terdorong hingga tersungkur jatuh. Lian belum sempat bangkit, namun sepasang tangan lebih dulu menarik kerah bajunya. Lian baru menyadari jika sepasang tangan itu milik Dion.
“Kurang ajar lo! Selama ini gue selalu nganggep lo sahabat, kenapa lo ngekhianatin gue?”
Tubuh Lian terhempas hingga membentur pagar rumah kontrakannya sesaat setelah Dion melayangkan pukulan telak di wajahnya. Lian meringis, sambil mengusap sudut bibirnya yang lagi-lagi terkena hantaman—setelah sebelumnya juga dipukul oleh Robby. Dion makin kesal karena Lian sama sekali tidak memberikan perlawanan. Dion kembali mendekat pada Lian, menjenggut kerah bajunya dengan kasar. “Kenapa lo diem aja?” “Karena gue ngerasa bersalah sama lo. Gue udah mempermalukan lo— sekarang terserah lo mau ngapain. Lo boleh hajar gue sepuas lo.” Dion mencengkeram kerah baju Lian makin erat. Emosinya memuncak saat melihat wajah Lian yang terlihat pasrah saja. “Jangan kira kalo gue nggak tega sama lo!” Dion sekali lagi menghantamkan pukulan di wajah Lian, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Tubuh Lian oleng menabrak bak sampah yang berdiri di depan rumah kemudian terguling ke aspal. Lian meringis menahan perih di tangannya yang sempat bergesekan dengan jalanan aspal. Dion baru saja menarik tu
Lian menghentikan laju motor vespanya di depan klinik. Belum juga sempat menata motor ke tempat parkir, dia kaget melihat Cantika duduk di atas kap mobil warna lime-nya yang terparkir di tepi jalan depan klinik. Lian turun dari motor. “Masih pagi udah ke sini aja, Mbak?” sapa Lian setelah membuka kaca helmnya. “Kayaknya aku bakal sial sampe matahari tenggelam.” Cantika menghampiri Lian lalu menarik resleting jaket Lian sampai separo dan terlihat seragam klinik yang cowok itu kenakan. “Aku udah ngira kamu bakal tetep mau praktik.” Dia naikkan lagi resleting jaket bomber butut itu. “Gak! Pokoknya aku gak ijinin!” Lian melepas helm lalu dia taruh di spion motor. “Nggak bisa gitu dong, Can. Aku mau tetep praktik karena aku butuh duit.” “Dasar matre!” ketus Cantika, kesal. Lian buang muka sambil nyengir menyindir ejekan Cantika. Dia tidak memedulikan cewek itu dan malah menuntun vespanya sampai di parkiran klinik. “Bodo amat mau aku dikatain matre kek, mata duitan kek. Mau buang aer aj
Mobil lime Cantika mengerem galak di depan gerbang berukiran gold yang mewah, disertai dengan bunyi klakson yang terus dibunyikan tanpa henti. Lian hanya bisa geleng kepala. “Udahan dong bunyiin klakson, udah kek orang kesurupan,” ucapnya mencoba menghentikan aksi gila Cantika. Tapi bukan Cantika namanya kalau menggubris suruhan macam itu. Aksi bar-bar Cantika baru berhenti setelah gerbang mewah itu perlahan terbuka lebar. Cantika segera menginjak gas dan melajukan mobilnya ugal-ugalan hingga terparkir sembarangan di rumput hias taman depan, sampai mengukirkan jejak ban yang awut-awutan. “Aduh, Can! Kita nggak bakal disuruh ganti rugi, kan?” tanya Lian. “Perlu gue suruh orang buat hancurin nih taman kalo sampe kita disuruh ganti?” ketus Cantika. Lian kicep, geleng kepala. “Nggak. Aku sempet lupa kalau kamu nggak ada lawan pokoknya.” “Nah, itu tahu!” Cantika turun, diikuti Lian yang sudah mengenakan kemeja tartan flanel bermerek. Sempat mampir ganti baju di toilet SPBU tadi. Cant
CCTV berkedip merah, tanda bahwa mesin perekam video itu menyala dan berfungsi menyorot situasi cafe. Lian yang sedang duduk berhadapan dengan Dion di kursi pojok belakang sejenak memerhatikan benda di sudut plafon atas kasir itu. “Woy!” Seketika Lian agak terlonjak karena selentingan barusan. Dilihatnya lekat-lekat cowok yang mengaku sebagai sahabatnya yang terkhianati pemilik suara itu. Dia langsung mendelik lalu menyeruput lemon tea yang lima belas menit lalu dipesankan untuknya. “Sorry, gue salfok sama CCTV itu, kayaknya bagus kalo gue beli satu buat di klinik.” “Gak usah ngeles, deh. Buruan lo jelasin kejadian sebenernya antara lo sama Cantika ke gue,” sahut Dion tergesa. Bukannya menuruti suruhan Dion, Lian malah terus asyik menyedot minumannya. Haus beneran. Lagipula dia ragu kalau harus menceritakan detil yang dimaksud Dion. Tapi kalau tidak cerita juga dia merasa tidak enak main rahasia dengan sahabatnya. “Yaudah, iya, bakal gue jelasin, runtut dari A ampe Z,” jawab Lia
Cantika menarik lengan Lian keluar cafe meninggalkan Dion yang menatap mereka dengan penuh amarah. Sesekali Cantika melirik Dion lalu tertawa-tawa.“Puas amat ketawanya?” Lian heran.“Puas dong, sayang!” sahut Cantika, “karena aku ngerasa udah berhasil balas dendam dengan ngerebut kamu dari Dion.” Cantika melanjutkan tawanya sampai di parkiran lalu masuk mobil. Kali ini mobil sedan warna hitam. Lian sudah tidak kaget lagi dengan gaya ala sultan cewek satu ini.Awalnya Lian malas masuk mobil yang bodinya mengilap sampai bisa membuatnya ngaca itu. Tapi lagi-lagi demi kemaslahatan umat, alias demi ketenangan bersama, dia pilih menuruti si cewek gila. Dia masuk mobil yang seketika itu menyeruakkan semerbak harum menenangkan.“Sekali lagi aku ingetin ya, Dion itu gak seperti yang kamu pikirin, Can.” Begitu pikiran tenang, Lian coba menjelaskan. “Percaya deh sama aku, Dion itu normal.”Cantika cuek saja, dia pura-pura fokus berkendara, menjauhi cafe yang beberapa saat lalu menjadi saksi bis
Lian menuntun vespa bututnya sampai di depan kontrakan. Ternyata Fandy sudah di emperan, menyambut dengan tatapan tajam sambil melipat tangan di dada. Lagaknya sudah seperti emak yang geram menunggu pulang anaknya.“Seneng ya tiap hari nuntun si butut gitu?” sindir Fandy. “Mayan, gak usah fitness.”Lian berhenti di samping Fandy lalu menurunkan standar motornya. Dia menghela napas lelah. Sudah yakin sindiran itu akan berlanjut dengan omelan.“Gak tiap hari juga kali, Fan,” sangkal Lian.Fandy mendengus kesal. “Kan gue bilang juga lo tuh kudu giat cari duit, biar bisa beli motornya Kamen Rider, noh, gantiin si butut ini!” Fandy menggoyang keras stang vespa yang tidak salah apa-apa. “Atau minimal selametan buat matic keluaran terbaru, gitu!”“Matic keluaran terbaru juga sama aja mahal,” Lian nyengir. Sebenarnya malas meladeni asistennya yang tak lain si anak sultan satu itu. Meski omongannya selalu jadi pecutan, tapi bukannya bantuin nyumbang, sukanya nyinyir doang.“Lagian lo bukannya
“Dompet, mana dompet?”Lian tampak sibuk mengemasi beberapa barang ke dalam tas pinggangnya. Kesana kemari membenahi penampilan dan sesekali melirik dirinya yang terpantul di cermin panjang. Lilo yang berbaring di tikar bolak-balik menggerakkan kepala memerhatikan babu manusianya. Tiba-tiba Lian berhenti.“HP baruku mana?” Matanya menerawang mengingat dimana terakhir kali dia meletakkan gadget keluaran terbaru pemberian Cantika itu.“Terakhir kan kupake chat Cantika semalem buat janji ketemuan,” gumamnya sambil menggapit kepala, berusaha keras untuk mengingat.“Ah...” Lian memukul telapak tangan kirinya. “Kan kutaruh di lemari.” Begitu ingat dia buru-buru masuk kamar untuk mengambilnya, kemudian keluar lagi sambil mengusap-usap benda itu dengan hati-hati.Meski merasa tak punya harga diri karena bisa memiliki benda mahal bukan hasil jerih payahnya sendiri melainkan dari hasil mokondo, tapi Lian tidak peduli. Toh dia sudah berkorban waktu, tenaga, dan kewarasan untuk menjadi aktor dada
“Kenapa bulan kemarin lo bolak-balik transfer ke abang gue?” Lian menggenggam HP Dion sambil menatap dengan penuh rasa heran dan tak percaya pada cowok itu.Dion kembali menyandarkan kepala di kursi. Kali ini dia yakin ancamannya pada Lian akan berhasil. “Ya jelaslah buat biaya pengobatan ibu kalian. Gue gak tega, makanya gue pinjemin terus.”“Lo gak bohong, kan?” Lian menggoyang pundak kiri Dion. “Ini editan, kan?”“Buat apa gue bohong? Cuma buat ngancem lo? Bukan gaya gue, tau!” ketus Dion. Dia lepas tangan Lian dari pundaknya. “Sandi bilang gak pengen terlalu bebanin lo buat bantu ngebiayain pengobatan ibu kalian di kampung.”“Bulshit!” teriak Lian, matanya nyalang.“Kok lo misuhin gue?” Dion sedikit kaget dengan perilaku Lian barusan. Lian yang dia kenal selama ini tidak akan sanggup bicara kasar, kotor, maupun mengucapkan sumpah serapah. Yang ada malah dirinya yang dapat khotbah Lian karena sering melakukannya.“Sorry... Gue―” Lian terlalu shock hingga sulit untuk melanjutkan kal