Cantika menarik lengan Lian keluar cafe meninggalkan Dion yang menatap mereka dengan penuh amarah. Sesekali Cantika melirik Dion lalu tertawa-tawa.“Puas amat ketawanya?” Lian heran.“Puas dong, sayang!” sahut Cantika, “karena aku ngerasa udah berhasil balas dendam dengan ngerebut kamu dari Dion.” Cantika melanjutkan tawanya sampai di parkiran lalu masuk mobil. Kali ini mobil sedan warna hitam. Lian sudah tidak kaget lagi dengan gaya ala sultan cewek satu ini.Awalnya Lian malas masuk mobil yang bodinya mengilap sampai bisa membuatnya ngaca itu. Tapi lagi-lagi demi kemaslahatan umat, alias demi ketenangan bersama, dia pilih menuruti si cewek gila. Dia masuk mobil yang seketika itu menyeruakkan semerbak harum menenangkan.“Sekali lagi aku ingetin ya, Dion itu gak seperti yang kamu pikirin, Can.” Begitu pikiran tenang, Lian coba menjelaskan. “Percaya deh sama aku, Dion itu normal.”Cantika cuek saja, dia pura-pura fokus berkendara, menjauhi cafe yang beberapa saat lalu menjadi saksi bis
Lian menuntun vespa bututnya sampai di depan kontrakan. Ternyata Fandy sudah di emperan, menyambut dengan tatapan tajam sambil melipat tangan di dada. Lagaknya sudah seperti emak yang geram menunggu pulang anaknya.“Seneng ya tiap hari nuntun si butut gitu?” sindir Fandy. “Mayan, gak usah fitness.”Lian berhenti di samping Fandy lalu menurunkan standar motornya. Dia menghela napas lelah. Sudah yakin sindiran itu akan berlanjut dengan omelan.“Gak tiap hari juga kali, Fan,” sangkal Lian.Fandy mendengus kesal. “Kan gue bilang juga lo tuh kudu giat cari duit, biar bisa beli motornya Kamen Rider, noh, gantiin si butut ini!” Fandy menggoyang keras stang vespa yang tidak salah apa-apa. “Atau minimal selametan buat matic keluaran terbaru, gitu!”“Matic keluaran terbaru juga sama aja mahal,” Lian nyengir. Sebenarnya malas meladeni asistennya yang tak lain si anak sultan satu itu. Meski omongannya selalu jadi pecutan, tapi bukannya bantuin nyumbang, sukanya nyinyir doang.“Lagian lo bukannya
“Dompet, mana dompet?”Lian tampak sibuk mengemasi beberapa barang ke dalam tas pinggangnya. Kesana kemari membenahi penampilan dan sesekali melirik dirinya yang terpantul di cermin panjang. Lilo yang berbaring di tikar bolak-balik menggerakkan kepala memerhatikan babu manusianya. Tiba-tiba Lian berhenti.“HP baruku mana?” Matanya menerawang mengingat dimana terakhir kali dia meletakkan gadget keluaran terbaru pemberian Cantika itu.“Terakhir kan kupake chat Cantika semalem buat janji ketemuan,” gumamnya sambil menggapit kepala, berusaha keras untuk mengingat.“Ah...” Lian memukul telapak tangan kirinya. “Kan kutaruh di lemari.” Begitu ingat dia buru-buru masuk kamar untuk mengambilnya, kemudian keluar lagi sambil mengusap-usap benda itu dengan hati-hati.Meski merasa tak punya harga diri karena bisa memiliki benda mahal bukan hasil jerih payahnya sendiri melainkan dari hasil mokondo, tapi Lian tidak peduli. Toh dia sudah berkorban waktu, tenaga, dan kewarasan untuk menjadi aktor dada
“Kenapa bulan kemarin lo bolak-balik transfer ke abang gue?” Lian menggenggam HP Dion sambil menatap dengan penuh rasa heran dan tak percaya pada cowok itu.Dion kembali menyandarkan kepala di kursi. Kali ini dia yakin ancamannya pada Lian akan berhasil. “Ya jelaslah buat biaya pengobatan ibu kalian. Gue gak tega, makanya gue pinjemin terus.”“Lo gak bohong, kan?” Lian menggoyang pundak kiri Dion. “Ini editan, kan?”“Buat apa gue bohong? Cuma buat ngancem lo? Bukan gaya gue, tau!” ketus Dion. Dia lepas tangan Lian dari pundaknya. “Sandi bilang gak pengen terlalu bebanin lo buat bantu ngebiayain pengobatan ibu kalian di kampung.”“Bulshit!” teriak Lian, matanya nyalang.“Kok lo misuhin gue?” Dion sedikit kaget dengan perilaku Lian barusan. Lian yang dia kenal selama ini tidak akan sanggup bicara kasar, kotor, maupun mengucapkan sumpah serapah. Yang ada malah dirinya yang dapat khotbah Lian karena sering melakukannya.“Sorry... Gue―” Lian terlalu shock hingga sulit untuk melanjutkan kal
“Kak Lian, syukurlah kamu telepon aku,” ujar suara perempuan di seberang telepon.Lian tersentak. Entah kenapa ucapan adik angkatnya barusan itu membuat perasaannya tidak enak. “Emang ada apa, Mi?”Selama obrolan telepon berlangsung, Arumi mengabarkan bahwa kondisi ibunya semakin mengkhawatirkan. Selain itu, mereka juga tidak mendapat kiriman uang sejak bulan lalu hingga membuat Arumi penasaran apa alasannya.“Tapi aku gak berani tanya ke Kak Lian apalagi Bang Sandi. Aku gak enak udah nyusahin kalian selama ini...”Mendengar pengakuan itu, membuat Lian terhuyung, badannya limbung, karena terpukul dengan kenyataan yang dirinya tidak ketahui selama ini. “Kamu... gak dapet kiriman uang?” tanya Lian dengan suara pelan. Meski Arumi sudah mengatakannya, Lian hanya ingin memastikan karena rasa tidak percaya. Entah tidak percaya pada siapa.“Iya, Kak.”Tanpa mengucap salam, Lian langsung mematikan teleponnya. Dia menghela napas panjang, tangannya terkepal. Matanya tajam melotot pada Sandi yan
Mobil sedan hitam Cantika memasuki pekarangan sebuah rumah mewah gaya Jepang. Gerbang besi tanpa celah langsung tertutup rapat begitu mobil Cantika tidak terlihat lagi dari jalanan.Dua orang pria paruh baya mengenakan setelan kemeja hitam segera berlarian menghampiri mobil Cantika yang terparkir di halaman belakang. Satu orang membukakan pintu kemudi untuk Cantika keluar, satu lagi membawakan tasnya.“Non Cantika sudah sampai,” pria yang membawakan tas Cantika menggumam sambil menyentuhkan telunjuk tangan kanannya ke earpiece yang terus terpasang di telinga. Laporan ke majikan seperti biasa.Cantika jalan lebih dulu dan masuk melalui pintu belakang kemudian naik lift yang angkanya menunjukkan bahwa dirinya menuju lantai tiga. “Kenapa Kakek nyuruh naik ke ruang kerjanya, sih?” gerutu Cantika.“Tuan Besar sedang tidak enak badan, tapi masih harus mengurus beberapa pekerjaan,” sahut pria baju hitam yang membawakan tasnya. “Beliau akan terus di sana sampai malam.”Cantika mendengus kesal
Lian berguling ke samping kanan sambil mendekap guling begitu mimpi tidurnya berakhir karena mendengar suara ketukan di pintu depan. Dengan mata yang masih mengantuk, dia raih HP-nya di meja sebelah ranjang. Dilihatnya layar HP yang menunjukkan pukul satu dini hari. Sempat dikiranya mimpi tapi ternyata suara ketukan itu masih terus berbunyi bahkan makin lama makin digedor tanda tidak sabar. “Siapa sih gedor pintu jam segini?” gumam Lian sambil menguap. Dia memang sudah biasa kalau Fandy suka datang malam-malam untuk menginap atau sekadar minta dibuatkan makan. Tapi tidak pernah dengan cara menggedor pintu secara kasar. Apalagi sohibnya itu kan sedang ngambek. Meski sangat mengantuk tapi tidak ada pilihan lain untuk membuka pintu daripada diteriaki tetangga sebelah. Mau tidak mau Lian bangun dan menuju sumber suara. Dilihatnya Lilo juga terbangun di dalam kandang. “Kasihan, anak ayah jadi kebangun,” Lian memasukkan jarinya ke dalam jeruji kendang Lilo hanya untuk sekadar menggelitiki
“Anak?” Cantika terperangah sesaat tapi kemudian dia menggeleng. “Gak, gak. Setahu gue lo belum pernah nikah jadi mustahil punya anak.”Lian berdecak. “Aku punya, Can.”Cantika melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Lian dengan tajam.“Anak bulu maksudnya...” gumam Lian sambil garuk kepala.Seketika Cantika mendengus kesal. Dia langsung teringat Dion yang sangat peduli pada kucing piaraan Lian. Bahkan di hari dia meminta bantuan Dion untuk memilih model undangan pertunangan keduanya malah berakhir ribut gara-gara kandang si anabul yang Lian maksud.“Oh... Trus kenapa?” Cantika bersungut-sungut. “Bagus dong kalo ditinggal.”Ganti Lian yang menatap Cantika dengan tajam. “Gak bisa! Aku gak bisa tinggalin dia sendirian di sana, Cantika. Dia anakku satu-satunya!” nada Lian sedikit sangar.Cantika terkekeh. Dia tidak habis pikir ada orang yang sebegitu tergila-gilanya pada hewan piaraan. Dan orang itu adalah tunangannya sendiri, Lian.“Tapi sorry ya, gue gak ijinin lo keluar lagi
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S
“Saya memohon restu Pak Rahadi untuk meminang Cantika menjadi istri saya,” terang Lian dengan suara tegas. Degup jantungnya menggebu sampai jemari tangannya sedikit gemetar bahkan keringat terus merembes keluar membasahi telapak tangan.Rahadi yang semula tampak sehat langsung merasa tak enak badan. Dadanya sakit, kepalanya berdenyut nyeri, tengkuk terasa panas. Agni yang menyadari sikap aneh Rahadi langsung panik lalu mengeceknya.“Ayah! Ayah kenapa?” Agni memegang bahu Rahadi. “Ada yang sakit?”Rahadi tidak menjawab. Dia coba mengatur napas dan menelan ludah untuk menyetabilkan emosi. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di ruangan itu panik juga, takut Rahadi kumat sakit jantungnya.Dengan napas berat Rahadi berujar, “Kamu masih tidak menyerah ya, Lian? Kamu anggap remeh saya?!” bentak Rahadi.Agni geleng kepala. “Ayah, tolong jangan mar
Lian duduk santai di salah satu café yang berjarak dekat dengan rumah sakit tempat Dokter Septian berpraktik. Hari itu cerah, namun pikiran Lian terombang-ambing dalam kegalauan yang mendalam. Setelah hasil tes DNA membuktikan bahwa dia memang anak biologis Septian, rasanya masih terasa aneh baginya. Tak lama kemudian, Dokter Septian datang dengan wajah berseri. Lian langsung memberikan senyuman dan menyapanya, “Selamat siang, Dok. Makasih udah meluangkan waktu.”Dokter Septian menjawab sapaan Lian dengan ramah, “Kenapa manggil ‘Dok’ lagi?”Lian baru menyadari jika dia salah menyebut panggilan untuk Septian. “Maaf—” Lian memang masih belum terbiasa memanggil Septian dengan sebutan Ayah. Rasanya masih begitu asing di lidahnya. Namun dia juga takut jika Septian akan merasa sedih jika dia tidak bersedia memanggilnya ayah.Melihat Lian yang terdiam kebingungan, Septian malah tertawa. “Ayah hany
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri