“Anak?” Cantika terperangah sesaat tapi kemudian dia menggeleng. “Gak, gak. Setahu gue lo belum pernah nikah jadi mustahil punya anak.”Lian berdecak. “Aku punya, Can.”Cantika melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Lian dengan tajam.“Anak bulu maksudnya...” gumam Lian sambil garuk kepala.Seketika Cantika mendengus kesal. Dia langsung teringat Dion yang sangat peduli pada kucing piaraan Lian. Bahkan di hari dia meminta bantuan Dion untuk memilih model undangan pertunangan keduanya malah berakhir ribut gara-gara kandang si anabul yang Lian maksud.“Oh... Trus kenapa?” Cantika bersungut-sungut. “Bagus dong kalo ditinggal.”Ganti Lian yang menatap Cantika dengan tajam. “Gak bisa! Aku gak bisa tinggalin dia sendirian di sana, Cantika. Dia anakku satu-satunya!” nada Lian sedikit sangar.Cantika terkekeh. Dia tidak habis pikir ada orang yang sebegitu tergila-gilanya pada hewan piaraan. Dan orang itu adalah tunangannya sendiri, Lian.“Tapi sorry ya, gue gak ijinin lo keluar lagi
Lian keluar dari kamar mandi setelah selesai memandikan Lilo. Dia heran melihat Cantika dan Fandy sedang berdiri berhadapan sambil keduanya sama-sama melipat tangan di dada. Tatapan Fandy tajam, Cantika balik menatapnya tapi seperti ogah-ogahan.“Mendadak ada kontes saling tatap, nih?” celetuk Lian. Sontak Fandy dan Cantika bersamaan menoleh padanya. Dirinya hanya diam memerhatikan keduanya sambil tersenyum tipis lalu buru-buru melambaikan tangan. “Gak, gak, gue gak ikutan.”Fandy meraih lengan Lian yang beranjak.“Apaan sih, Fan?” tanya Lian. “Gue kan udah bilang gak mau ikutan.”Sambil terus diam Fandy melotot pada Lian.“Lepasin! Gue mau jemur Lilo nih, kasian dia kedinginan,” titah Lian.Fandy melepas tangannya. “Gue butuh penjelasan dari lo.”Lian bingung. “Penjelasan apa?”“Mulai dari kenapa lo pindah kontrakan. Dan kenapa ada si lampir ini di sini sama lo pagi-pagi?” Fandy menunjuk pada Cantika.Cantika langsung memukul telunjuk Fandy karena tersinggung. “Lo sebut gue apa? Lamp
Sekali lagi Lian mencicipi kuah sayur yang baru disendoknya. Diam sejenak sambil menimang rasa. “Oke, udah pas,” gumamnya sembari melepas celemek. Setelah mematikan api kompor, dibawanya panci kecil berisi sayur asem itu menuju meja. Di sana sudah tersaji sepiring tahu dan tempe goreng, paha ayam goreng, beserta sambal terasi sebagai pelengkapnya.Lian memerhatikan dengan bangga semua hasil masakannya sambil melipat tangan di dada. Tiba-tiba dia teringat, “Oh, menu wajibnya belum.” Buru-buru dia kembali ke dapur lalu mengangkat panci ricecooker dan meletakkannya bersama makanan lain di atas meja.Lian mondar-mandir seolah menunggu sesuatu dengan resah. Tak lain dan tak bukan adalah Cantika. Sejam yang lalu cewek itu sempat mengirim chat yang memberitahukan bahwa dirinya akan datang lagi. Malam hari. Dan itu sukses membuat Lian sebal pada awalnya. Karena dia tidak ingin Cantika menginap bersamanya lagi. Tapi dia pun tak bisa mengelak, karena tempat itu kan Cantika yang ngontrak.Suara
“Semalem Cantika kesini lagi?!” teriak Fandy. Matanya melotot tapi tangannya dengan cekatan menerima sodoran sepiring nasi goreng kecap buatan Lian.Lian mengangguk. “Tapi gak nginep, kok. Habis makan malem trus pulang. Dia kalang kabut ditelepon Kakeknya,” terang Lian sambil mulai makan.Fandy mendengus kesal. Dikiranya ancaman Rahadi terhadap Lian bisa membuat Cantika ciut dan melepasbebaskan cowok itu. Tapi makin hari malah makin dekat saja interaksi mereka.“Lian, lo kenapa sih gak bisa nolak Cantika? Apalagi sekarang lo tuh dalam bahaya.” Fandy mengunyah makanannya dengan kasar. Dia khawatir sekaligus kesal pada sahabatnya itu. Cantika saja takut pada kakeknya, bagaimana bisa Lian tetap bersikap santai?Lian tersenyum getir. “Gimana mau nolak dia, Fan? Kontrakan ini aja dia yang bayar.” Lian menoleh pada Lilo yang sedang grooming di dekat kakinya. Selama beberapa hari tinggal di tempat baru itu, Lilo terlihat nyaman. Mungkin efek kontrakan mahal. Lian jadi sayang untuk pindah ke
Mobil sedan Cantika berbelok masuk gang. Dia sempatkan melirik smartwatch warna pink di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 8 malam.“Lian udah tidur belum, ya?” gumamnya.Selang beberapa saat, Cantika memarkirkan mobilnya di halaman kontrakan. Kali ini dia sengaja datang tanpa pemberitahuan. Niatnya mau mengejutkan Lian. Sekaligus ingin tahu cowok itu masak menu apa untuk makan malam jika dirinya tidak bilang akan datang.Dengan penuh semangat, Cantika melenggang menuju pintu kontrakan Lian. Tidak lunglai seperti kemarin ketika hari pertama dirinya mulai bekerja. Kali ini dia sudah langsung terbiasa kerja keras bagai kuda, dan Lianlah yang akan dia jadikan sebagai obat capeknya.Cantika hendak mengetuk pintu tapi urung. Dia segera merogoh tas selempang dan mengeluarkan kunci rumah dengan gantungan akrilik bergambar potret Lilo meringis dari sana. Dia kan berencana mau mengejutkan Lian, jadi lebih baik membuka pintunya sendiri dengan kunci yang dia sita dari tunangannya
Cantika mengendarai mobilnya ugal-ugalan. Isi kepalanya dipenuhi oleh pikiran negatif tentang Lian. Dia berharap kakek tidak menghajar tunangan pilihannya itu habis-habisan.“Lian. Lian. Lian. Lian.” Cantika tak henti-hentinya menggumam. Kedua tangan mengepal setir erat-erat. Perut lapar yang dirasakannya sepulang kerja seketika lenyap.Karena tidak fokus dan kondisi jalan yang temaram, Cantika nyaris menyerempet pejalan kaki yang baru menyeberang. Dia tersentak dan refleks membanting setir ke arah kiri hingga mobilnya oleng. Beruntung tidak terjadi kecelakaan.“Woy! Kurang ajar, lo!!”Sumpah serapah terdengar dari luar. Dilihatnya beberapa orang jalan cepat mendekat ke mobilnya tapi dia langsung injak gas meninggalkan mereka yang melempar kerikil dan sendal.Cantika tidak punya waktu untuk meladeni orang-orang itu. Sudah cukup dengan bersyukur tidak ada korban akibat dari kelakuannya. Yang terpenting saat ini hanyalah segera menemukan dan menyelamatkan Lian. Perkara lain itu belakang
Tanpa berlama-lama, Cantika melesat meninggalkan ruangan sesaat setelah dia menonton video Lian diseret keluar menuju halaman belakang. Pengawal wanita yang tadi mengajaknya kini lebih memilih untuk diam saja membiarkan.Cantika berlari menuruni tangga dan nyaris jatuh terjungkal jika seorang pengawal muda tidak sigap menarik lengannya. Morgan, pemuda yang dulu sempat menjadi teman bermainnya saat kecil itu kini bekerja sebagai salah satu orang bawahan kakeknya.“Cantika, lo hati-hati, dong,” tegur Morgan.Cantika hanya menatapnya dengan pelototan, membuat Morgan keheranan. “Lo kenapa?”Cantika menyentakkan tangan Morgan hingga lepas dari lengannya. Tanpa berbicara, Cantika melepas high heels-nya lalu melemparnya sembarangan dan kembali menuruni tangga dengan langkah cepat.“Can!” teriak Morgan. Mereka memang sangat jarang bertemu, tapi selama ini gadis itu tidak pernah bersikap sedingin itu padanya.Begitu sampai di bawah, Cantika dihadang beberapa pengawal. “Minggir kalian!!” titahn
Cantika menghentak kaki menuju ruang kerja Rahadi. Pintu berukiran naga sudah terbuka lebar untuknya. Seolah pria tua itu memang sudah siap untuk dia labrak.“Kakek!” teriak Cantika.Rahadi yang sedang duduk di kursi meja kerjanya pun mendongak.“Kenapa Kakek bisa sesadis ini?!” bentak Cantika begitu sampai di hadapan Rahadi. Tapi pria tua itu malah menatapnya lembut sambil tersenyum ramah, membuat Cantika semakin marah.“Aku kan udah bilang, Lian gak salah apa-apa. Aku yang salah, Kek, hukum aku aja!” Cantika benar-benar meluapkan amarah hingga napasnya terengah-engah.Rahadi melepas kacamatanya lalu menaruhnya di dekat pigura yang membingkai potret dirinya sedang main di kebun dengan Cantika kecil. Sejenak dia perhatikan foto itu kemudian menghela napas pelan.“Cantika... Kamu masih muda, masih belum paham kerasnya kehidupan. Apa yang Kakek lakukan ini semua semata-mata demi masa depanmu yang cerah bersama pria yang Kakek akui kompetensinya.” Rahadi berdiri dan berjalan pelan mendek