Mobil sedan Cantika berbelok masuk gang. Dia sempatkan melirik smartwatch warna pink di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 8 malam.“Lian udah tidur belum, ya?” gumamnya.Selang beberapa saat, Cantika memarkirkan mobilnya di halaman kontrakan. Kali ini dia sengaja datang tanpa pemberitahuan. Niatnya mau mengejutkan Lian. Sekaligus ingin tahu cowok itu masak menu apa untuk makan malam jika dirinya tidak bilang akan datang.Dengan penuh semangat, Cantika melenggang menuju pintu kontrakan Lian. Tidak lunglai seperti kemarin ketika hari pertama dirinya mulai bekerja. Kali ini dia sudah langsung terbiasa kerja keras bagai kuda, dan Lianlah yang akan dia jadikan sebagai obat capeknya.Cantika hendak mengetuk pintu tapi urung. Dia segera merogoh tas selempang dan mengeluarkan kunci rumah dengan gantungan akrilik bergambar potret Lilo meringis dari sana. Dia kan berencana mau mengejutkan Lian, jadi lebih baik membuka pintunya sendiri dengan kunci yang dia sita dari tunangannya
Cantika mengendarai mobilnya ugal-ugalan. Isi kepalanya dipenuhi oleh pikiran negatif tentang Lian. Dia berharap kakek tidak menghajar tunangan pilihannya itu habis-habisan.“Lian. Lian. Lian. Lian.” Cantika tak henti-hentinya menggumam. Kedua tangan mengepal setir erat-erat. Perut lapar yang dirasakannya sepulang kerja seketika lenyap.Karena tidak fokus dan kondisi jalan yang temaram, Cantika nyaris menyerempet pejalan kaki yang baru menyeberang. Dia tersentak dan refleks membanting setir ke arah kiri hingga mobilnya oleng. Beruntung tidak terjadi kecelakaan.“Woy! Kurang ajar, lo!!”Sumpah serapah terdengar dari luar. Dilihatnya beberapa orang jalan cepat mendekat ke mobilnya tapi dia langsung injak gas meninggalkan mereka yang melempar kerikil dan sendal.Cantika tidak punya waktu untuk meladeni orang-orang itu. Sudah cukup dengan bersyukur tidak ada korban akibat dari kelakuannya. Yang terpenting saat ini hanyalah segera menemukan dan menyelamatkan Lian. Perkara lain itu belakang
Tanpa berlama-lama, Cantika melesat meninggalkan ruangan sesaat setelah dia menonton video Lian diseret keluar menuju halaman belakang. Pengawal wanita yang tadi mengajaknya kini lebih memilih untuk diam saja membiarkan.Cantika berlari menuruni tangga dan nyaris jatuh terjungkal jika seorang pengawal muda tidak sigap menarik lengannya. Morgan, pemuda yang dulu sempat menjadi teman bermainnya saat kecil itu kini bekerja sebagai salah satu orang bawahan kakeknya.“Cantika, lo hati-hati, dong,” tegur Morgan.Cantika hanya menatapnya dengan pelototan, membuat Morgan keheranan. “Lo kenapa?”Cantika menyentakkan tangan Morgan hingga lepas dari lengannya. Tanpa berbicara, Cantika melepas high heels-nya lalu melemparnya sembarangan dan kembali menuruni tangga dengan langkah cepat.“Can!” teriak Morgan. Mereka memang sangat jarang bertemu, tapi selama ini gadis itu tidak pernah bersikap sedingin itu padanya.Begitu sampai di bawah, Cantika dihadang beberapa pengawal. “Minggir kalian!!” titahn
Cantika menghentak kaki menuju ruang kerja Rahadi. Pintu berukiran naga sudah terbuka lebar untuknya. Seolah pria tua itu memang sudah siap untuk dia labrak.“Kakek!” teriak Cantika.Rahadi yang sedang duduk di kursi meja kerjanya pun mendongak.“Kenapa Kakek bisa sesadis ini?!” bentak Cantika begitu sampai di hadapan Rahadi. Tapi pria tua itu malah menatapnya lembut sambil tersenyum ramah, membuat Cantika semakin marah.“Aku kan udah bilang, Lian gak salah apa-apa. Aku yang salah, Kek, hukum aku aja!” Cantika benar-benar meluapkan amarah hingga napasnya terengah-engah.Rahadi melepas kacamatanya lalu menaruhnya di dekat pigura yang membingkai potret dirinya sedang main di kebun dengan Cantika kecil. Sejenak dia perhatikan foto itu kemudian menghela napas pelan.“Cantika... Kamu masih muda, masih belum paham kerasnya kehidupan. Apa yang Kakek lakukan ini semua semata-mata demi masa depanmu yang cerah bersama pria yang Kakek akui kompetensinya.” Rahadi berdiri dan berjalan pelan mendek
Setelah keluar lift, Cantika berjalan cepat menyusuri koridor sayap kiri rumah sakit. Tangan kiri memegang tumbler dengan kantong plastik berisi kotak kukis tergantung di pergelangannya. Pundak kanan menjinjing totebag besar sambil tangan menyeret koper kecil berisi pakaian dan segala keperluan untuk Lian. Semuanya baru dia beli. Tentu dengan uang tabungan pribadi.“Ya ampun, kamar Lian jauh amat sih dapetnya!” gerutu Cantika.Sebenarnya dia bersyukur karena Fandy mau sukarela menggelontorkan banyak dana untuk membiayai kamar VIP itu. Tapi Cantika kesal kalau dapat yang letaknya jauh, apalagi mau berlari supaya cepat sampai pun pasti dilarang. Dia kan ingin cepat bertemu Lian.Di saat terburu-buru, HP Cantika berdering. Dia cek ternyata chat dari Fandy. Cowok itu mengabarkan akan datang agak siang karena masih ada keperluan. Cantika mendengus kesal.“Bodo amat!” gerundel Cantika sambil mengantongi HP-nya lagi.Semalam dia memang mengontak Fandy, bermaksud untuk meminta cowok itu menga
Cantika melangkah gontai di lantai koridor menuju ruangan Lian. Namun sesaat setelah tiba di depan pintu ruangan tempat Lian dirawat, Cantika justru berdiri membatu. Cantika termenung sejenak sambil menghela napas panjang. Pikirannya berkecamuk, baru pertama kali Cantika merasa sekalut ini. Bahkan beberapa hari ini, tak memiliki keberanian untuk bertemu dengan Lian. Beberapa hari ini Cantika hanya berdiri di depan ruang rawat Lian dan menatapnya dari ambang pintu. Memerhatikan perkembangan kondisi Lian dari ambang pintu.Kali ini pun Cantika melakukan hal yang sama, tangan kanannya bergerak, memutar handle pintu ruang rawat Lian perlahan hingga pintu sedikit terbuka. Cantika bisa melihat Lian berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam. Cantika termenung, memerhatikan wajah damai Lian dengan tatapan iba. Lamunan Cantika buyar saat mendengar suara derap kaki yang mendekat. Cantika menoleh dan melihat Dion dan Fandy yang mendekat.“Lo nggak masuk?” tanya Fandy. Cantika menggeleng. Ca
Cantika datang lagi ke rumah sakit membawa buah-buahan yang baru dibelinya di supermarket. Kaki Cantika yang melangkah mantap seketika berhenti di dekat pintu kamar rawat Lian. Dadanya bergemuruh. Isi pikirannya kembali runyam. Tapi dia tiba-tiba tersentak saat perawat laki-laki berperawakan tinggi keluar dari ruangan Lian dan menutup pintu. Cantika yakin jika perawat ini adalah Juniar, orang yang dipercaya Fandy untuk membantu mengurus Lian.“Mbak Cantika?” sapa Juniar.“Ah, iya...”“Mau masuk, kan?”Cantika terbata. Dia bahkan bingung bagaimana menjawab karena tiba-tiba merasa tidak siap untuk bertemu Lian.Tanpa mendapat jawaban, Juniar kembali membuka pintu dan tangannya bergerak memberi tanda mempersilakan Cantika masuk. “Silahkan,” ucapnya.Pintu sudah terlanjur terbuka, Juniar masih di tempatnya, Cantika merasa gengsi kalau malah melenggang pergi. Jadi dia bersikap biasa, tersenyum sambil sedikit menundukkan kepala tanda terimakasih pada Juniar. Perawat itu pun tersenyum sebent
Matahari sudah tenggelam saat mobil taksi yang ditumpangi Cantika berhenti di rumah sakit. Cantika turun dari taksi tersebut sambil menenteng buket bunga anyelir segar. Cantika termenung sejenak melihat bunga dengan pita putih di tangannya, dia sudah kehabisan akal bagaimana bisa membuat Lian memaafkannya. Cantika tersenyum getir teringat kejadian sebelumnya, saat Cantika berniat minta maaf pada Lian, malah berakhir bertengkar hebat dengan laki-laki itu.“Dasar biang kerok— bisanya cuma nyari gara-gara,” Cantika merutuk dirinya sendiri kemudian melangkah meninggalkan parkiran rumah sakit. Cantika berpapasan dengan para pengunjung rumah sakit yang lain. Saat itu Cantika baru teringat, selain Dion dan Fandy, sepertinya tidak ada orang yang menjenguk Lian lagi. Cantika mengernyit heran saat tersadar jika selama ini dia memang tidak tau apa pun soal Lian. Cantika bertekad, setelah ini dia akan cari tau lebih banyak soal Lian.Cantika melangkah masuk lift dan menekan angka 4, lantai di ma