“Kak Lian, syukurlah kamu telepon aku,” ujar suara perempuan di seberang telepon.Lian tersentak. Entah kenapa ucapan adik angkatnya barusan itu membuat perasaannya tidak enak. “Emang ada apa, Mi?”Selama obrolan telepon berlangsung, Arumi mengabarkan bahwa kondisi ibunya semakin mengkhawatirkan. Selain itu, mereka juga tidak mendapat kiriman uang sejak bulan lalu hingga membuat Arumi penasaran apa alasannya.“Tapi aku gak berani tanya ke Kak Lian apalagi Bang Sandi. Aku gak enak udah nyusahin kalian selama ini...”Mendengar pengakuan itu, membuat Lian terhuyung, badannya limbung, karena terpukul dengan kenyataan yang dirinya tidak ketahui selama ini. “Kamu... gak dapet kiriman uang?” tanya Lian dengan suara pelan. Meski Arumi sudah mengatakannya, Lian hanya ingin memastikan karena rasa tidak percaya. Entah tidak percaya pada siapa.“Iya, Kak.”Tanpa mengucap salam, Lian langsung mematikan teleponnya. Dia menghela napas panjang, tangannya terkepal. Matanya tajam melotot pada Sandi yan
Mobil sedan hitam Cantika memasuki pekarangan sebuah rumah mewah gaya Jepang. Gerbang besi tanpa celah langsung tertutup rapat begitu mobil Cantika tidak terlihat lagi dari jalanan.Dua orang pria paruh baya mengenakan setelan kemeja hitam segera berlarian menghampiri mobil Cantika yang terparkir di halaman belakang. Satu orang membukakan pintu kemudi untuk Cantika keluar, satu lagi membawakan tasnya.“Non Cantika sudah sampai,” pria yang membawakan tas Cantika menggumam sambil menyentuhkan telunjuk tangan kanannya ke earpiece yang terus terpasang di telinga. Laporan ke majikan seperti biasa.Cantika jalan lebih dulu dan masuk melalui pintu belakang kemudian naik lift yang angkanya menunjukkan bahwa dirinya menuju lantai tiga. “Kenapa Kakek nyuruh naik ke ruang kerjanya, sih?” gerutu Cantika.“Tuan Besar sedang tidak enak badan, tapi masih harus mengurus beberapa pekerjaan,” sahut pria baju hitam yang membawakan tasnya. “Beliau akan terus di sana sampai malam.”Cantika mendengus kesal
Lian berguling ke samping kanan sambil mendekap guling begitu mimpi tidurnya berakhir karena mendengar suara ketukan di pintu depan. Dengan mata yang masih mengantuk, dia raih HP-nya di meja sebelah ranjang. Dilihatnya layar HP yang menunjukkan pukul satu dini hari. Sempat dikiranya mimpi tapi ternyata suara ketukan itu masih terus berbunyi bahkan makin lama makin digedor tanda tidak sabar. “Siapa sih gedor pintu jam segini?” gumam Lian sambil menguap. Dia memang sudah biasa kalau Fandy suka datang malam-malam untuk menginap atau sekadar minta dibuatkan makan. Tapi tidak pernah dengan cara menggedor pintu secara kasar. Apalagi sohibnya itu kan sedang ngambek. Meski sangat mengantuk tapi tidak ada pilihan lain untuk membuka pintu daripada diteriaki tetangga sebelah. Mau tidak mau Lian bangun dan menuju sumber suara. Dilihatnya Lilo juga terbangun di dalam kandang. “Kasihan, anak ayah jadi kebangun,” Lian memasukkan jarinya ke dalam jeruji kendang Lilo hanya untuk sekadar menggelitiki
“Anak?” Cantika terperangah sesaat tapi kemudian dia menggeleng. “Gak, gak. Setahu gue lo belum pernah nikah jadi mustahil punya anak.”Lian berdecak. “Aku punya, Can.”Cantika melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Lian dengan tajam.“Anak bulu maksudnya...” gumam Lian sambil garuk kepala.Seketika Cantika mendengus kesal. Dia langsung teringat Dion yang sangat peduli pada kucing piaraan Lian. Bahkan di hari dia meminta bantuan Dion untuk memilih model undangan pertunangan keduanya malah berakhir ribut gara-gara kandang si anabul yang Lian maksud.“Oh... Trus kenapa?” Cantika bersungut-sungut. “Bagus dong kalo ditinggal.”Ganti Lian yang menatap Cantika dengan tajam. “Gak bisa! Aku gak bisa tinggalin dia sendirian di sana, Cantika. Dia anakku satu-satunya!” nada Lian sedikit sangar.Cantika terkekeh. Dia tidak habis pikir ada orang yang sebegitu tergila-gilanya pada hewan piaraan. Dan orang itu adalah tunangannya sendiri, Lian.“Tapi sorry ya, gue gak ijinin lo keluar lagi
Lian keluar dari kamar mandi setelah selesai memandikan Lilo. Dia heran melihat Cantika dan Fandy sedang berdiri berhadapan sambil keduanya sama-sama melipat tangan di dada. Tatapan Fandy tajam, Cantika balik menatapnya tapi seperti ogah-ogahan.“Mendadak ada kontes saling tatap, nih?” celetuk Lian. Sontak Fandy dan Cantika bersamaan menoleh padanya. Dirinya hanya diam memerhatikan keduanya sambil tersenyum tipis lalu buru-buru melambaikan tangan. “Gak, gak, gue gak ikutan.”Fandy meraih lengan Lian yang beranjak.“Apaan sih, Fan?” tanya Lian. “Gue kan udah bilang gak mau ikutan.”Sambil terus diam Fandy melotot pada Lian.“Lepasin! Gue mau jemur Lilo nih, kasian dia kedinginan,” titah Lian.Fandy melepas tangannya. “Gue butuh penjelasan dari lo.”Lian bingung. “Penjelasan apa?”“Mulai dari kenapa lo pindah kontrakan. Dan kenapa ada si lampir ini di sini sama lo pagi-pagi?” Fandy menunjuk pada Cantika.Cantika langsung memukul telunjuk Fandy karena tersinggung. “Lo sebut gue apa? Lamp
Sekali lagi Lian mencicipi kuah sayur yang baru disendoknya. Diam sejenak sambil menimang rasa. “Oke, udah pas,” gumamnya sembari melepas celemek. Setelah mematikan api kompor, dibawanya panci kecil berisi sayur asem itu menuju meja. Di sana sudah tersaji sepiring tahu dan tempe goreng, paha ayam goreng, beserta sambal terasi sebagai pelengkapnya.Lian memerhatikan dengan bangga semua hasil masakannya sambil melipat tangan di dada. Tiba-tiba dia teringat, “Oh, menu wajibnya belum.” Buru-buru dia kembali ke dapur lalu mengangkat panci ricecooker dan meletakkannya bersama makanan lain di atas meja.Lian mondar-mandir seolah menunggu sesuatu dengan resah. Tak lain dan tak bukan adalah Cantika. Sejam yang lalu cewek itu sempat mengirim chat yang memberitahukan bahwa dirinya akan datang lagi. Malam hari. Dan itu sukses membuat Lian sebal pada awalnya. Karena dia tidak ingin Cantika menginap bersamanya lagi. Tapi dia pun tak bisa mengelak, karena tempat itu kan Cantika yang ngontrak.Suara
“Semalem Cantika kesini lagi?!” teriak Fandy. Matanya melotot tapi tangannya dengan cekatan menerima sodoran sepiring nasi goreng kecap buatan Lian.Lian mengangguk. “Tapi gak nginep, kok. Habis makan malem trus pulang. Dia kalang kabut ditelepon Kakeknya,” terang Lian sambil mulai makan.Fandy mendengus kesal. Dikiranya ancaman Rahadi terhadap Lian bisa membuat Cantika ciut dan melepasbebaskan cowok itu. Tapi makin hari malah makin dekat saja interaksi mereka.“Lian, lo kenapa sih gak bisa nolak Cantika? Apalagi sekarang lo tuh dalam bahaya.” Fandy mengunyah makanannya dengan kasar. Dia khawatir sekaligus kesal pada sahabatnya itu. Cantika saja takut pada kakeknya, bagaimana bisa Lian tetap bersikap santai?Lian tersenyum getir. “Gimana mau nolak dia, Fan? Kontrakan ini aja dia yang bayar.” Lian menoleh pada Lilo yang sedang grooming di dekat kakinya. Selama beberapa hari tinggal di tempat baru itu, Lilo terlihat nyaman. Mungkin efek kontrakan mahal. Lian jadi sayang untuk pindah ke
Mobil sedan Cantika berbelok masuk gang. Dia sempatkan melirik smartwatch warna pink di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 8 malam.“Lian udah tidur belum, ya?” gumamnya.Selang beberapa saat, Cantika memarkirkan mobilnya di halaman kontrakan. Kali ini dia sengaja datang tanpa pemberitahuan. Niatnya mau mengejutkan Lian. Sekaligus ingin tahu cowok itu masak menu apa untuk makan malam jika dirinya tidak bilang akan datang.Dengan penuh semangat, Cantika melenggang menuju pintu kontrakan Lian. Tidak lunglai seperti kemarin ketika hari pertama dirinya mulai bekerja. Kali ini dia sudah langsung terbiasa kerja keras bagai kuda, dan Lianlah yang akan dia jadikan sebagai obat capeknya.Cantika hendak mengetuk pintu tapi urung. Dia segera merogoh tas selempang dan mengeluarkan kunci rumah dengan gantungan akrilik bergambar potret Lilo meringis dari sana. Dia kan berencana mau mengejutkan Lian, jadi lebih baik membuka pintunya sendiri dengan kunci yang dia sita dari tunangannya