3 Juni 2023
Tiga bulan sebelum hari pertunangan.
Cantika memasuki klinik hewan milik Lian yang sudah sepi. Cantika memang sengaja memilih jam malam, karena Lian pasti sudah selesai praktik saat ini. Cantika melangkah menuju ruangan praktik Lian, namun sebelum tiba di sana Cantika lebih dulu disambut oleh Fandy—asisten Lian.
“Maaf, kami sudah tutup.”
“Aku emang sengaja nunggu tutup. Dokter Lian ada di ruangannya, kan?” Cantika hendak lanjut berjalan menuju ruangan Lian, namun Fandy menghadangnya. “Maaf, tapi dokter Lian sudah mau pulang.”
“Bilang sama dia kalo yang dateng calon istrinya,” tegas Cantika dan langsung duduk di kursi tunggu yang di sediakan di depan ruang praktik Lian. Fandy terdiam beberapa saat, seolah masih mencerna ucapan Cantika barusan.
“Kenapa malah bengong di situ? Buruan kasih tau Lian.”
“I—iya permisi…” Fandy buru-buru melipir masuk ke ruangan Lian. Cantika tersenyum penuh rencana. “Liat aja Dion— aku bakal kasih kamu kejutan yang nggak pernah kamu sangka-sangka.”
Tak berapa lama kemudian, Lian keluar di dampingi oleh Fandy. Lian menatap heran pada Cantika yang masih duduk di kursi tunggu sambil melambai mesra ke arahnya.
“Hai, Sayang…” sapa Cantika tanpa segan. Lian makin bingung dengan sikap Cantika. Fandy masih terheran-heran hingga menyodok lengan Lian.
“Beneran lo mau nikah? Kenapa gak pernah cerita sama gue? Terus cewek itu kayaknya gak asing deh, tunangan si Dion kan?” bisik Fandy, detik berikutnya Lian langsung menyentil jidat Fandy.
“Gak usah kepo! Lo balik sana!” Lian mendorong Fandy menjauh darinya. Fandy berdecak, dia melirik ke arah Cantika lalu kembali pada Lian— seolah masih enggan pergi duluan.
“Buruan!” Lian melotot pada Fandy.
“Iya, bawel!” Fandy berdecak kesal sebelum akhirnya pergi.
Lian terdiam sejenak, sedang serius memikirkan alasan kenapa Cantika tiba-tiba datang ke kliniknya—bahkan menyapanya dengan sebutan ‘sayang’. Lian ingat betul, sejak pertama kali dia mengenal Cantika, perempuan itu selalu menunjukkan ketidaksukaannya.
Lian akhirnya melangkah menghampiri Cantika sembari tersenyum manis. “Halo, Mbak Cantik. Tumben banget dateng ke klinik?”
“Lo udah lama tau kalo gue calon istri Dion, kan?”
Lian mengerutkan kening saat mendengar pertanyaan Cantika. Perempuan itu hanya menanyakan sesuatu yang sudah jelas. “Yaa— ya taulah.”
“Terus apa lo tau, kalo selama ini lo selalu ganggu hubungan gue sama Dion?” tanya Cantika dengan ekspresi sinis. Lian tersenyum garing, ekspresinya menunjukkan jika ia sedang tak habis pikir.
“Maksud mbak Cantik ganggu— ganggu yang kayak gimana?”
“Selama ini Dion selalu mentingin lo ketimbang gue. Bahkan waktu gue minta Dion bantu ngurus acara pertunangan, dia lebih milih bawain kandang kuncing ke rumah lo.” Cantika bangkit dari duduknya, terus menatap Lian dengan sengit sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Gaya judesnya saat menegur Lian sebenarnya mengingatkan dirinya pada adegan istri sah yang lagi ngelabrak pelakor di sinetron-sinetron.
“Mbak, aku nggak pernah nyuruh Dion ngelakuin itu, semua yang dia lakuin atas inisiatif dia sendiri,” tegas Lian.
“Lo kan bisa nolak? Lo bisa ngusir dia, lo bisa nyuruh dia buat mentingin gue— se-simple itu!”
“Nggak simple kalo urusannya sama Dion, mbak Cantik tau sendiri kalo dia kepala batu,” ujar Lian. Lian mendorong Cantika agar kembali duduk, kemudian dia sendiri juga duduk di bangku tunggu dengan memberi jarak satu kursi dari Cantika. Entah kenapa bicara dengan perempuan itu sangat menguras energinya.
“Sekarang coba mbak tanya sama diri sendiri— selama ini hubungan mbak sama Dion nggak berjalan mulus, apa karena masalah dari luar? Harusnya mbak jadi orang yang paling tau, sebenarnya masalah kalian sumbernya dari mana.”
“Dari elo!!” Cantika kembali bangkit, berdiri tepat di hadapan Lian yang masih duduk di bangku tunggu. “Dion lebih peduli sama elo. Gue dikacangin gara-gara elo. Jangan-jangan kalian emang pacaran? Iya? Kalian gay?”
“Mbak jangan sembarangan ngomong ya!” Lian berdiri dari duduknya hingga kini mereka berdiri saling berhadapan. “Meski aku nggak alim-alim banget, tapi aku orang beriman. Aku juga masih normal, 200% normal!” Nada bicara Lian agak meninggi dari sebelumnya. Kali ini Lian memang tak bisa menahan emosinya.
Cantika mengangkat sebelah tangannya, memberi kode agar Lian tak lagi bicara. Cantika sebenarnya sadar jika apa yang terjadi bukan salah Lian, namun dia sedang butuh orang untuk dipersalahkan.
“Kalo lo normal, berarti Dion yang hombreng. Selama ini dia bucin sama lo.”
“Mbak, fitnah lebih kejam dari pembunuhan.” Lian mulai lelah bicara dengan Cantika.
“Perhatian dia ke elo gak bisa bohong, Lian. Gue inget waktu gue sakit, dia gak pernah mau jagain gue. Kalo elo yang sakit, dia rela gak pulang buat jagain lo. Fix sih, kalian emang pacaran,” tuding Cantika.
"Mbak sakit bisul doang kali, makanya Dion males jagain," tebak Lian.
Cantika langsung melotot marah. Ngeri dengan tatapan tajam Cantika, Lian buru-buru menjelaskan, “Aku sama Dion nggak pacaran, Mbak. Aku berani sumpah.”
“Kalo lo normal, coba buktiin.” Cantika menatap Lian dengan ekspresi menatang, membuat Lian bergidik dan langsung menutup dadanya dengan kedua tangan seolah ingin melindungi diri jika ada serangan mendadak dari Cantika.
“Maksudnya mbak mau nyoba kejantananku? Astaghfirullah, nggak boleh loh mbak nganu sebelum nikah.”
Cantika kesal dan meraup muka Lian. “Gue nggak ngajak lo nganu.”
“Terus?”
Cantika berdeham, sebelum bertanya, “Menurut lo, gue cantik gak?”
“Iya, cantik banget,” jawab Lian tanpa keraguan.
Cantika manggut-manggut. “Kalo gitu, mending lo aja yang nikah sama gue.”
Lian tersedak ludah sendiri sesaat setelah mendengar permintaan Cantika hingga terbatuk beberapa kali. “Mbak Cantik tadi ngomong apa? Kayaknya tadi aku salah denger.”
“Gue pengen kita nikah!” tegas Cantika.
“Mbak lagi sakit, ya?” Lian menyentuh kening Cantika sejenak, kemudian tersenyum garing. “Tapi maaf, Mbak. Ini klinik hewan, bukan kejiwaan.”
Cantika kesal, dia menarik kerah baju Lian, lalu menghempaskan tubuh Lian ke arah dinding dengan kasar. Lian terbelalak kaget dengan sikap barbar perempuan itu. Namun sebelum Lian pindah posisi, Cantika lebih dulu menggunakan lengannya untuk menahan dada Lian agar tubuhnya tetap tersudut pada dinding.
“Kamu apa-apaan sih?” Lian kesal.
“Gue serius sama ucapan gue tadi, gue beneran pengen nikahin lo,” ucap Cantika tanpa ragu. Kedua matanya menatap tajam pada Lian yang tubuhnya masih terkunci oleh lengannya. Lian terdiam beberapa jenak, seolah berusaha mengontrol emosinya. Lian menarik napas panjang, lalu mulai tergelak menertawakan Cantika.
“Lo lagi ngetawain apa?”
“Mbak lucu deh, emang seputus asa itu mbak sama Dion? Sampe mbak malah ngajak aku nikah?” Ledek Lian. Cantika balas tertawa. “Gue gak peduli lo mau komen apa, yang jelas gue bakal nikahin lo.”
“Aku nggak mau, Mbak.”
“Sayangnya gue nggak lagi nawarin lo, tapi gue perintahin lo jadi suami gue.”
“Mbak nggak bisa maksa aku…”
“Oh ya?” Cantika tertawa, “Sayangnya masa depan lo ada di tangan gue.”
Lian mengernyit heran. Cantika bisa melihat ekspresi penasaran tersebut.
“Jadi gak tega liat lo penasaran gini.” Cantika mengangkat tangannya yang sebelumnya menahan dada Lian. Cantika kemudian meraih hp di tasnya, lalu mengutak atiknya sejenak.
“Gue tau kalo lo dokter hewan gandungan.”
Lian terdiam dengan eskpresi tegang saat mendengar ucapan Cantika. Terlebih saat Cantika menunjukkan layar hp-nya yang memperlihatkan laman website untuk mengecek status dokter.
“Nama lo nggak terdaftar sebagai dokter, gue juga tau kalo klinik lo ini juga ilegal. Lo bisa bayangin sendiri, apa yang bakal terjadi kalo gue sebarin fakta ini? Lo bakal tamat.”
Lian hanya diam dengan ekspresi shock. Cantika tersenyum puas melihat ekspresi Lian. Cantika mencubit ujung dagu Lian, lalu berbisik, “Gimana? Udah mau jadi nikah sama gue?”
5 September 2023 Beberapa jam setelah acara pertunangan usai. Banquet Hall sudah sepi, menyisakan Lian dan Cantika yang masih duduk di sudut ruangan. Cantika memerhatikan Lian yang mengompres lukanya dengan kantong es. “Sakit?” Cantika menyentuh luka di sudut bibir Lian yang belum kering. “Pake nanya lagi, jelas sakit banget lah, Mbak,” jawab Lian sambil menyinkirkan tangan Cantika. “Makanya jangan pegang-pegang.” “Ntar gue ganti rugi deh, bilang aja lo mau berapa?” Lian memutar bola matanya saat Cantika membahas soal ganti rugi. “Di mata kamu, aku sematre itu? Yaudah, dua juta aja deh.” Cantika tertawa mencibir sesaat setelah Lian meminta kompensasi. “Padahal tadi acaranya udah seru, sayang banget bokap gue ngerusak suasana,” keluh Cantika. Lian mencebik. “Kamu sendiri kali yang ngerusak suasana. Puas kamu sekarang?” tanya Lian dengan nada datar. “Puas dong, Sayang… soalnya sekarang kita udah resmi tunangan. Gue udah berhasil ngerebut lo dari Dion.” Cantika tersenyum tanpa d
Tubuh Lian terhempas hingga membentur pagar rumah kontrakannya sesaat setelah Dion melayangkan pukulan telak di wajahnya. Lian meringis, sambil mengusap sudut bibirnya yang lagi-lagi terkena hantaman—setelah sebelumnya juga dipukul oleh Robby. Dion makin kesal karena Lian sama sekali tidak memberikan perlawanan. Dion kembali mendekat pada Lian, menjenggut kerah bajunya dengan kasar. “Kenapa lo diem aja?” “Karena gue ngerasa bersalah sama lo. Gue udah mempermalukan lo— sekarang terserah lo mau ngapain. Lo boleh hajar gue sepuas lo.” Dion mencengkeram kerah baju Lian makin erat. Emosinya memuncak saat melihat wajah Lian yang terlihat pasrah saja. “Jangan kira kalo gue nggak tega sama lo!” Dion sekali lagi menghantamkan pukulan di wajah Lian, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Tubuh Lian oleng menabrak bak sampah yang berdiri di depan rumah kemudian terguling ke aspal. Lian meringis menahan perih di tangannya yang sempat bergesekan dengan jalanan aspal. Dion baru saja menarik tu
Lian menghentikan laju motor vespanya di depan klinik. Belum juga sempat menata motor ke tempat parkir, dia kaget melihat Cantika duduk di atas kap mobil warna lime-nya yang terparkir di tepi jalan depan klinik. Lian turun dari motor. “Masih pagi udah ke sini aja, Mbak?” sapa Lian setelah membuka kaca helmnya. “Kayaknya aku bakal sial sampe matahari tenggelam.” Cantika menghampiri Lian lalu menarik resleting jaket Lian sampai separo dan terlihat seragam klinik yang cowok itu kenakan. “Aku udah ngira kamu bakal tetep mau praktik.” Dia naikkan lagi resleting jaket bomber butut itu. “Gak! Pokoknya aku gak ijinin!” Lian melepas helm lalu dia taruh di spion motor. “Nggak bisa gitu dong, Can. Aku mau tetep praktik karena aku butuh duit.” “Dasar matre!” ketus Cantika, kesal. Lian buang muka sambil nyengir menyindir ejekan Cantika. Dia tidak memedulikan cewek itu dan malah menuntun vespanya sampai di parkiran klinik. “Bodo amat mau aku dikatain matre kek, mata duitan kek. Mau buang aer aj
Mobil lime Cantika mengerem galak di depan gerbang berukiran gold yang mewah, disertai dengan bunyi klakson yang terus dibunyikan tanpa henti. Lian hanya bisa geleng kepala. “Udahan dong bunyiin klakson, udah kek orang kesurupan,” ucapnya mencoba menghentikan aksi gila Cantika. Tapi bukan Cantika namanya kalau menggubris suruhan macam itu. Aksi bar-bar Cantika baru berhenti setelah gerbang mewah itu perlahan terbuka lebar. Cantika segera menginjak gas dan melajukan mobilnya ugal-ugalan hingga terparkir sembarangan di rumput hias taman depan, sampai mengukirkan jejak ban yang awut-awutan. “Aduh, Can! Kita nggak bakal disuruh ganti rugi, kan?” tanya Lian. “Perlu gue suruh orang buat hancurin nih taman kalo sampe kita disuruh ganti?” ketus Cantika. Lian kicep, geleng kepala. “Nggak. Aku sempet lupa kalau kamu nggak ada lawan pokoknya.” “Nah, itu tahu!” Cantika turun, diikuti Lian yang sudah mengenakan kemeja tartan flanel bermerek. Sempat mampir ganti baju di toilet SPBU tadi. Cant
CCTV berkedip merah, tanda bahwa mesin perekam video itu menyala dan berfungsi menyorot situasi cafe. Lian yang sedang duduk berhadapan dengan Dion di kursi pojok belakang sejenak memerhatikan benda di sudut plafon atas kasir itu. “Woy!” Seketika Lian agak terlonjak karena selentingan barusan. Dilihatnya lekat-lekat cowok yang mengaku sebagai sahabatnya yang terkhianati pemilik suara itu. Dia langsung mendelik lalu menyeruput lemon tea yang lima belas menit lalu dipesankan untuknya. “Sorry, gue salfok sama CCTV itu, kayaknya bagus kalo gue beli satu buat di klinik.” “Gak usah ngeles, deh. Buruan lo jelasin kejadian sebenernya antara lo sama Cantika ke gue,” sahut Dion tergesa. Bukannya menuruti suruhan Dion, Lian malah terus asyik menyedot minumannya. Haus beneran. Lagipula dia ragu kalau harus menceritakan detil yang dimaksud Dion. Tapi kalau tidak cerita juga dia merasa tidak enak main rahasia dengan sahabatnya. “Yaudah, iya, bakal gue jelasin, runtut dari A ampe Z,” jawab Lia
Cantika menarik lengan Lian keluar cafe meninggalkan Dion yang menatap mereka dengan penuh amarah. Sesekali Cantika melirik Dion lalu tertawa-tawa.“Puas amat ketawanya?” Lian heran.“Puas dong, sayang!” sahut Cantika, “karena aku ngerasa udah berhasil balas dendam dengan ngerebut kamu dari Dion.” Cantika melanjutkan tawanya sampai di parkiran lalu masuk mobil. Kali ini mobil sedan warna hitam. Lian sudah tidak kaget lagi dengan gaya ala sultan cewek satu ini.Awalnya Lian malas masuk mobil yang bodinya mengilap sampai bisa membuatnya ngaca itu. Tapi lagi-lagi demi kemaslahatan umat, alias demi ketenangan bersama, dia pilih menuruti si cewek gila. Dia masuk mobil yang seketika itu menyeruakkan semerbak harum menenangkan.“Sekali lagi aku ingetin ya, Dion itu gak seperti yang kamu pikirin, Can.” Begitu pikiran tenang, Lian coba menjelaskan. “Percaya deh sama aku, Dion itu normal.”Cantika cuek saja, dia pura-pura fokus berkendara, menjauhi cafe yang beberapa saat lalu menjadi saksi bis
Lian menuntun vespa bututnya sampai di depan kontrakan. Ternyata Fandy sudah di emperan, menyambut dengan tatapan tajam sambil melipat tangan di dada. Lagaknya sudah seperti emak yang geram menunggu pulang anaknya.“Seneng ya tiap hari nuntun si butut gitu?” sindir Fandy. “Mayan, gak usah fitness.”Lian berhenti di samping Fandy lalu menurunkan standar motornya. Dia menghela napas lelah. Sudah yakin sindiran itu akan berlanjut dengan omelan.“Gak tiap hari juga kali, Fan,” sangkal Lian.Fandy mendengus kesal. “Kan gue bilang juga lo tuh kudu giat cari duit, biar bisa beli motornya Kamen Rider, noh, gantiin si butut ini!” Fandy menggoyang keras stang vespa yang tidak salah apa-apa. “Atau minimal selametan buat matic keluaran terbaru, gitu!”“Matic keluaran terbaru juga sama aja mahal,” Lian nyengir. Sebenarnya malas meladeni asistennya yang tak lain si anak sultan satu itu. Meski omongannya selalu jadi pecutan, tapi bukannya bantuin nyumbang, sukanya nyinyir doang.“Lagian lo bukannya
“Dompet, mana dompet?”Lian tampak sibuk mengemasi beberapa barang ke dalam tas pinggangnya. Kesana kemari membenahi penampilan dan sesekali melirik dirinya yang terpantul di cermin panjang. Lilo yang berbaring di tikar bolak-balik menggerakkan kepala memerhatikan babu manusianya. Tiba-tiba Lian berhenti.“HP baruku mana?” Matanya menerawang mengingat dimana terakhir kali dia meletakkan gadget keluaran terbaru pemberian Cantika itu.“Terakhir kan kupake chat Cantika semalem buat janji ketemuan,” gumamnya sambil menggapit kepala, berusaha keras untuk mengingat.“Ah...” Lian memukul telapak tangan kirinya. “Kan kutaruh di lemari.” Begitu ingat dia buru-buru masuk kamar untuk mengambilnya, kemudian keluar lagi sambil mengusap-usap benda itu dengan hati-hati.Meski merasa tak punya harga diri karena bisa memiliki benda mahal bukan hasil jerih payahnya sendiri melainkan dari hasil mokondo, tapi Lian tidak peduli. Toh dia sudah berkorban waktu, tenaga, dan kewarasan untuk menjadi aktor dada
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S
“Saya memohon restu Pak Rahadi untuk meminang Cantika menjadi istri saya,” terang Lian dengan suara tegas. Degup jantungnya menggebu sampai jemari tangannya sedikit gemetar bahkan keringat terus merembes keluar membasahi telapak tangan.Rahadi yang semula tampak sehat langsung merasa tak enak badan. Dadanya sakit, kepalanya berdenyut nyeri, tengkuk terasa panas. Agni yang menyadari sikap aneh Rahadi langsung panik lalu mengeceknya.“Ayah! Ayah kenapa?” Agni memegang bahu Rahadi. “Ada yang sakit?”Rahadi tidak menjawab. Dia coba mengatur napas dan menelan ludah untuk menyetabilkan emosi. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di ruangan itu panik juga, takut Rahadi kumat sakit jantungnya.Dengan napas berat Rahadi berujar, “Kamu masih tidak menyerah ya, Lian? Kamu anggap remeh saya?!” bentak Rahadi.Agni geleng kepala. “Ayah, tolong jangan mar
Lian duduk santai di salah satu café yang berjarak dekat dengan rumah sakit tempat Dokter Septian berpraktik. Hari itu cerah, namun pikiran Lian terombang-ambing dalam kegalauan yang mendalam. Setelah hasil tes DNA membuktikan bahwa dia memang anak biologis Septian, rasanya masih terasa aneh baginya. Tak lama kemudian, Dokter Septian datang dengan wajah berseri. Lian langsung memberikan senyuman dan menyapanya, “Selamat siang, Dok. Makasih udah meluangkan waktu.”Dokter Septian menjawab sapaan Lian dengan ramah, “Kenapa manggil ‘Dok’ lagi?”Lian baru menyadari jika dia salah menyebut panggilan untuk Septian. “Maaf—” Lian memang masih belum terbiasa memanggil Septian dengan sebutan Ayah. Rasanya masih begitu asing di lidahnya. Namun dia juga takut jika Septian akan merasa sedih jika dia tidak bersedia memanggilnya ayah.Melihat Lian yang terdiam kebingungan, Septian malah tertawa. “Ayah hany
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri