Bu Tantri mengamuk setelah tahu dari sopirnya kalau sang suami berkunjung ke perkebunan Dev."Bagus sekarang main rahasia sama Mama," kata Bu Tantri setengah berteriak pada suaminya di kamar mereka.Pak Hamdad yang tidak begitu paham, hanya memandang heran."Untuk apa, Papa, diam-diam pergi ke perkebunan Devin?"Pria itu menghela napas pelan. Kemarin lupa bicara sama sopirnya agar merahasiakan kemana dia pergi."Papa cuman mampir.""Mampir kok pakai acara menginap segala. Papa yang melarang Imel mendekati Devin. Apa jangan-jangan Papa ada niatan mendekati mamanya Dev yang janda itu." Suara Bu Tantri makin meninggi."Astaga, Mama .... Istiqfar, Ma, istiqfar. Kesana pula mikirnya. Mbok ya sadar kalau kita ini sudah tua," jawab Pak Hamdad sambil menggeleng tidak habis pikir. Bisa-bisanya wanita yang telah dinikahi tiga puluh lima tahun ini berpikir sejauh itu.Memang benar, peselingkuh pada akhirnya akan dibayangi kecurigaan terhadap pasangannya."Lagi pula Bu Rahma tidak tinggal di vila
"Mas, nanti kalau Mas kembali ke vila, siapa yang akan mengelus pinggangku kalau malam. Padahal sering pegel sekarang."Dev menoleh. Tidak tahu harus menjawab apa. Sekarang Kamalia memang susah tidur sejak kehamilannya makin besar. Selalu mengeluh engap dan baru tertidur setelah pinggangnya diusap-usap. Haruskah ia membatalkan perjalanan ini? Ia juga berpikir, pendapat Mamanya juga benar. Kalau perlu apa-apa lebih mudah tinggal di kota. Jarak ke rumah sakit hanya sepuluh menit naik mobil.Dev menepikan mobilnya jarak beberapa meter dari hutan pinus. Kamalia menatap heran."Ada apa, Mas, kok berhenti?" tanya Kamalia."Kalau Lia ragu sebaiknya kita kembali ke vila saja. Tidak usah lahiran di rumah Mama.""Mama pasti udah nungguin kita sekarang.""Mas yang akan nelepon Mama setelah kita sampai vila nanti. Mas pasti juga tidak akan tenang kalau kamu di sana."Hening sejenak. Keduanya sibuk dengan perasaan masing-masing."Kita kembali saja, ya?" ajak Dev sekali lagi."Iya. Aku akan hati-
Pagi hari setelah rapi berpakaian, Dev meminta ke Mbok Darmi agar membuatkan kopi yang agak kental. Karena tadi malam ia hanya bisa tidur sebentar saja.Kamalia menemani sarapan tanpa banyak bicara. Ia sudah menduga kalau suaminya lagi ada permasalahan yang dipikirkan. Jadi lebih baik diam.Selesai sarapan Dev segera bersiap agar tidak kesiangan sampai di kota. Tas ransel berisi sepasang baju ganti, charger, dan perlengkapan mandi telah disiapkan Kamalia dan siap dibawa."Mas, janji akan pulang nanti," ucapnya kepada Kamalia saat mereka melangkah keluar."Iya."Dev mengecup kening istrinya sambil bilang I love you. Kamalia menjawab dengan senyuman. Situasi mendadak kaku. Namun Kamalia tetap berpikir positif.Kamalia baru masuk rumah setelah mobil Dev tidak tampak lagi dari pandangan.🌷🌷🌷Mobil melaju cepat di jalan utama yang sepi. Sinar mentari pagi sesekali menyorot menyilaukan mata. Dev mengambil kacamata hitam di atas dashboard dan memakainya.Sebenarnya ia merasa bersalah kare
Cukup lama mereka ngobrol berempat di ruang perawatan Imel. Mengenang kejayaan saat kuliah dulu. Pak Hamdad dan Bu Tantri sengaja meninggalkan mereka, agar bisa berbincang dengan santai dan bebas.Kebetulan Yaksa juga menyusul setelah di telepon oleh Dev. Selang beberapa menit datang Era dan Cita sambil membawa makanan. Ruangan itu seperti menjadi tempat reuni. Imel yang seharusnya butuh suasana tenang, tapi tidak merasa terganggu dengan suara berisik canda tawa mereka. Justru seolah menjadi obat buatnya."Mel, masih nyimpen foto waktu kita mendaki gunung kala itu, enggak? Saat hari sumpah pemuda kalau enggak salah," tanya Era.Imel mengangguk."Kapan-kapan aku mau lihat, Mel. Punyaku hangus ke-delete.""Ada di rumah. Kapan-kapan mainlah, ajak anakmu," jawab Imel dengan suara pelan.Era mengangguk.Mereka membahas satu per satu dosen killer sampai dosen yang paling sering absen mengajar. Mengingat teman-teman yang sebagian hilang kontak karena tempat tinggalnya ada di luar kota, bahk
Dev sendiri merasa diuji. Dirinya yang benci pengkhianatan harus dihadapkan pada situasi dimana ia tidak bisa berterus terang kepada istrinya karena untuk menjaga perasaan Kamalia yang hamil tua.Dirinya bukan sedang curang dibelakang Kamalia. Ia menjenguk pun hanya sebagai teman. Namun dirinya terjebak karena kesulitan bercerita.Selesai makan Dev membantu Kamalia membereskan meja makan. Itu memang kebiasaan Kamalia, kalau habis makan dibereskan sendiri tidak semua dipasrahkan pada Sumi atau Mbok Darmi.Keduanya lantas duduk di sofa depan TV."Apa ada masalah di kerjaan sana?" tanya Kamalia masih penasaran."Tidak ada. Semua baik-baik saja. Bahkan beberapa penyewa sudah mulai menempati gedung.""O, syukurlah!"Dev merangkul pundak istrinya dan menarik kepala Kamalia agar bersandar di bahunya.🌷🌷🌷Pagi itu Pak Karyo membantu Dev menurunkan pot bunga dari atas mobil. Dan meletakkan di dekat pintu pagar. Sebelah bunga bugenvil warna jingga."Mahal enggak harga bunganya, Mas?" tanya K
Ketukan di pintu mengentikan aktivitas mereka. Dev terlihat sangat kesal. Dia bergeming."Tuan." Suara Sumi dengan nada panik memanggil."Ya, sebentar.""Mungkin itu penting, Mas. Coba dilihat dulu, tidak biasanya Sumi seperti itu."Dev berhenti. Ia menyambar kaos dan celana pendeknya di kepala ranjang, sementara Kamalia menarik selimut untuk menutupi tubuh."Ada apa?" tanya Dev setelah membuka pintu."M-maaf, Mbak Mita demam tinggi sampai menggigil, Tuan. Mbok Darmi yang menyuruh saya memanggil, Tuan."Dev segera keluar dan setengah berlari menuruni tangga. Sumi mengikuti di belakang dengan cemas.Sejak keadaannya membaik, Dev hanya mempekerjakan satu suster saja untuk merawat kakaknya. Itu pun saran dokter yang selalu datang untuk check up sang kakak.Jadi hanya siang saja ada Suster Erna, kalau malam ada Mbok Darmi dan Pak Karyo yang menjaga. Satpam yang sering jaga di paviliun pun sudah resign karena pindah tempat tinggal mengikuti istrinya."Berapa panas tubuhnya, Mbok," tanya De
Setelah Mbak Mita pulang dari rumah sakit. Dev mengajak mereka melakukan pemotretan keluarga disuatu pagi. Bu Rahma sangat antusias, mumpung beliau juga masih ada sisa cuti."Mau manggil fotografer enggak, Dev?""Tidak perlu, Ma. Biar Tony aja yang ngambil gambar. Atau suster Erna. Kemarin hasilnya bagus juga. Nanti saja kalau anakku dah lahir, kita foto keluarga ke studio."Bu Rahma mengiyakan. Sepagi itu mereka telah siap berpakaian rapi. Kamalia menenteng stiletto hitamnya. "Lia, kenapa bawa sepatu seperti itu?" tergur Dev di teras."Bukan untuk dipakai jalan, Mas. Cuman buat foto aja. Biar enggak kelihatan pendek banget. Lihat foto-foto kita yang kemarin itu. Aku jadi kayak gajah mini."Ben menahan senyumnya. "Nanti suruh Mbok Darmi masakin rebung tiap hari, Lia. Biar bisa tambah tinggi."Dev tertawa."Sudah, jangan meledek orang pendek. Mereka ini awet muda tahu. Coba lihat Mama, awet muda, 'kan?" Bela Bu Rahma."Yaelah, iya-iya, Mamaku yang cantik," jawab Ben sambil bangkit da
Gaffi Qohar Narendra, nama yang telah disiapkan Dev dan Kamalia. Yang berarti pria perkasa berhati lembut."Coba dikasih ASI dulu aja, semoga ASI-nya sudah keluar, kasihan nangis terus, Mbak," kata Ibu petani."Iya, coba dekatkan padaku, Sum," kata Kamalia dengan suara lemah.Sumi mendekat, dibantu Dev meletakkan bayi di dada Kamalia. Bayi yang masih merah itu seperti tidak sabar menemukan puting susu. Kemudian ia menghisap kuat-kuat setelah Sumi membantunya memasukkan puting susu di mulutnya yang kecil."Sambil nunggu dokter memang sebaiknya disusui, Mbak. Biar tidak terjadi pendarahan pada ibunya," kata ibu petani itu lagi."Terima kasih, Bu. Sudah menemani kami," ucap Dev. Dijawab anggukan kepala wanita itu.Dev resah dan berulangkali melihat jam tangannya. Dokter Ani belum datang juga. Sempat berpikir untuk ia pergi ke klinik saja, siapa tahu berpapasan di jalan. Tapi nanti tambah susah kalau tidak bertemu, karena jika sudah sampai desa, banyak jalan persimpangan di sana. Ia memu