Pintu depan rumah terbuka. Bau harum masakan menguar di udara hingga tercium dari halaman rumah yang luas itu. Juga terdengar tangis bayi dari dalam.Kamalia mengucap salam. Suara kakaknya yang menjawab."Masuk, Lia," teriak Eva dengan senyum merekah dari dalam. Bersamaan dengan suara tangis bayi yang mereda.Dari dalam muncul Bu Wanti, yang tersenyum senang saat disalami Kamalia dan Dev.Eva duduk memangku bayinya di springbed yang diletakkan di lantai depan TV. Kamalia mendekat, memeluk sang kakak dengan penuh kerinduan. Dev yang dipersilakan duduk di sofa melihat itu. Pria itu diam. Karena sang kakak ipar seperti kebingungan saat melihat kehadirannya.Baju-baju baby yang dibeli Kamalia waktu liburan, diberikan kepada kakaknya."Ibu buatkan minum dulu, ya. Nak Devin mau kopi," tawar wanita itu pada Dev."Ya, Bu, boleh.""Ibu buatkan dulu. Bapak masih ada di belakang, nanti ibu panggilkan. Kalau Ragil masih ngajar."Dev mengangguk. Bu Wanti segera pergi ke dapur.Kamalia sibuk memang
Penyesalan atas kekhilafan itu hadir di hati keduanya. Kemudian sama-sama berjanji tidak akan mengulang lagi. Eva berhijrah, mulai berhijab atas bimbingan ibunya Ragil. Namun, rasa bersalahnya pada Dev belum bisa ditebus. "Mbak ... Mbak Eva. Kok, nangis ada apa?" tegur Kamalia saat melihat air mata kakaknya menganak sungai dengan isak yang tertahan.Eva menghapus air matanya cepat-cepat. "Enggak ada apa-apa," jawabnya pelan."Cerita saja ada apa?" tanya Kamalia sambil bangun dan duduk bergeser menghadap kakaknya."Mbak senang kalian bahagia. Mbak pernah mendapatkan banyak uang darinya, untuk menopang hidup kita. Untuk biaya sekolahmu juga. Rumah dan tanah milik kita yang dijual Paman, pada kenyataannya hanya dimanfaatkan sendiri untuk biaya anak-anak paman. Bukan untuk keperluan sekolahmu. Mbak tega sama Devin, ya, Lia?"Kamali menunduk sambil menggenggam jemari kakaknya. "Dev pernah bilang enggak mempermasalahkan soal uang. Hanya saja dia benci dikhianati.""Ya, Mbak yang salah."Ev
"Siapa yang nelepon?" tanya Eva sambil mendekati adiknya."Dev, dia akan menjemputku.""Sekarang?"Kamalia mengangguk."Katanya sore baru dijemput.""Sekalian jalan, pas dia ada keperluan keluar," jawab Kamalia berbohong. Willy yang baru saja menutup panggilan dari temannya segera mendekat. Ia duduk satu meter di sebelah Kamalia. Siang itu mereka berbincang di teras depan."Aku sempat khawatir saat membaca berita di koran, waktu istirahat aku langsung ke sini. Tanya sama Mbak Eva.""Itu hanya salah paham saja.""O, syukurlah!" ucap Willy pelan. "Kami baik-baik saja."Willy mengangguk."Mama begitu menyesal setelah kamu pergi. Menyesal telah terlambat memberi restu."Kamalia tersenyum tanpa memandang mantan kekasihnya. "Berarti kita bukan jodoh. Waktunya kamu membuka hati dan coba membina lagi sebuah hubungan.""Belum sekarang kayaknya. Aku belum bisa," jawab Willy sambil menunduk.Eva yang duduk di sebelah mereka sambil mengayun baby Aisyah di ranjang rotan ikut terharu. Cinta yang
Bu Tantri mengamuk setelah tahu dari sopirnya kalau sang suami berkunjung ke perkebunan Dev."Bagus sekarang main rahasia sama Mama," kata Bu Tantri setengah berteriak pada suaminya di kamar mereka.Pak Hamdad yang tidak begitu paham, hanya memandang heran."Untuk apa, Papa, diam-diam pergi ke perkebunan Devin?"Pria itu menghela napas pelan. Kemarin lupa bicara sama sopirnya agar merahasiakan kemana dia pergi."Papa cuman mampir.""Mampir kok pakai acara menginap segala. Papa yang melarang Imel mendekati Devin. Apa jangan-jangan Papa ada niatan mendekati mamanya Dev yang janda itu." Suara Bu Tantri makin meninggi."Astaga, Mama .... Istiqfar, Ma, istiqfar. Kesana pula mikirnya. Mbok ya sadar kalau kita ini sudah tua," jawab Pak Hamdad sambil menggeleng tidak habis pikir. Bisa-bisanya wanita yang telah dinikahi tiga puluh lima tahun ini berpikir sejauh itu.Memang benar, peselingkuh pada akhirnya akan dibayangi kecurigaan terhadap pasangannya."Lagi pula Bu Rahma tidak tinggal di vila
"Mas, nanti kalau Mas kembali ke vila, siapa yang akan mengelus pinggangku kalau malam. Padahal sering pegel sekarang."Dev menoleh. Tidak tahu harus menjawab apa. Sekarang Kamalia memang susah tidur sejak kehamilannya makin besar. Selalu mengeluh engap dan baru tertidur setelah pinggangnya diusap-usap. Haruskah ia membatalkan perjalanan ini? Ia juga berpikir, pendapat Mamanya juga benar. Kalau perlu apa-apa lebih mudah tinggal di kota. Jarak ke rumah sakit hanya sepuluh menit naik mobil.Dev menepikan mobilnya jarak beberapa meter dari hutan pinus. Kamalia menatap heran."Ada apa, Mas, kok berhenti?" tanya Kamalia."Kalau Lia ragu sebaiknya kita kembali ke vila saja. Tidak usah lahiran di rumah Mama.""Mama pasti udah nungguin kita sekarang.""Mas yang akan nelepon Mama setelah kita sampai vila nanti. Mas pasti juga tidak akan tenang kalau kamu di sana."Hening sejenak. Keduanya sibuk dengan perasaan masing-masing."Kita kembali saja, ya?" ajak Dev sekali lagi."Iya. Aku akan hati-
Pagi hari setelah rapi berpakaian, Dev meminta ke Mbok Darmi agar membuatkan kopi yang agak kental. Karena tadi malam ia hanya bisa tidur sebentar saja.Kamalia menemani sarapan tanpa banyak bicara. Ia sudah menduga kalau suaminya lagi ada permasalahan yang dipikirkan. Jadi lebih baik diam.Selesai sarapan Dev segera bersiap agar tidak kesiangan sampai di kota. Tas ransel berisi sepasang baju ganti, charger, dan perlengkapan mandi telah disiapkan Kamalia dan siap dibawa."Mas, janji akan pulang nanti," ucapnya kepada Kamalia saat mereka melangkah keluar."Iya."Dev mengecup kening istrinya sambil bilang I love you. Kamalia menjawab dengan senyuman. Situasi mendadak kaku. Namun Kamalia tetap berpikir positif.Kamalia baru masuk rumah setelah mobil Dev tidak tampak lagi dari pandangan.🌷🌷🌷Mobil melaju cepat di jalan utama yang sepi. Sinar mentari pagi sesekali menyorot menyilaukan mata. Dev mengambil kacamata hitam di atas dashboard dan memakainya.Sebenarnya ia merasa bersalah kare
Cukup lama mereka ngobrol berempat di ruang perawatan Imel. Mengenang kejayaan saat kuliah dulu. Pak Hamdad dan Bu Tantri sengaja meninggalkan mereka, agar bisa berbincang dengan santai dan bebas.Kebetulan Yaksa juga menyusul setelah di telepon oleh Dev. Selang beberapa menit datang Era dan Cita sambil membawa makanan. Ruangan itu seperti menjadi tempat reuni. Imel yang seharusnya butuh suasana tenang, tapi tidak merasa terganggu dengan suara berisik canda tawa mereka. Justru seolah menjadi obat buatnya."Mel, masih nyimpen foto waktu kita mendaki gunung kala itu, enggak? Saat hari sumpah pemuda kalau enggak salah," tanya Era.Imel mengangguk."Kapan-kapan aku mau lihat, Mel. Punyaku hangus ke-delete.""Ada di rumah. Kapan-kapan mainlah, ajak anakmu," jawab Imel dengan suara pelan.Era mengangguk.Mereka membahas satu per satu dosen killer sampai dosen yang paling sering absen mengajar. Mengingat teman-teman yang sebagian hilang kontak karena tempat tinggalnya ada di luar kota, bahk
Dev sendiri merasa diuji. Dirinya yang benci pengkhianatan harus dihadapkan pada situasi dimana ia tidak bisa berterus terang kepada istrinya karena untuk menjaga perasaan Kamalia yang hamil tua.Dirinya bukan sedang curang dibelakang Kamalia. Ia menjenguk pun hanya sebagai teman. Namun dirinya terjebak karena kesulitan bercerita.Selesai makan Dev membantu Kamalia membereskan meja makan. Itu memang kebiasaan Kamalia, kalau habis makan dibereskan sendiri tidak semua dipasrahkan pada Sumi atau Mbok Darmi.Keduanya lantas duduk di sofa depan TV."Apa ada masalah di kerjaan sana?" tanya Kamalia masih penasaran."Tidak ada. Semua baik-baik saja. Bahkan beberapa penyewa sudah mulai menempati gedung.""O, syukurlah!"Dev merangkul pundak istrinya dan menarik kepala Kamalia agar bersandar di bahunya.🌷🌷🌷Pagi itu Pak Karyo membantu Dev menurunkan pot bunga dari atas mobil. Dan meletakkan di dekat pintu pagar. Sebelah bunga bugenvil warna jingga."Mahal enggak harga bunganya, Mas?" tanya K