Kamalia mendesah pelan. Kecewa, beberapa kali telepon Devin tapi tidak dijawab. Apa sesibuk itu hingga tidak sempat mengangkat panggilan? Ponselnya pun tidak mungkin jauh darinya.
Diletakkan ponsel di nakas, lantas berdiri dan keluar kamar.
"Belum tidur?" tanya Sumi saat Kamalia duduk disebelahnya. Ikut nonton TV.
"Baru jam delapan. Belum ngantuk. Apa Mbok Darmi sudah ke paviliun?"
"Sudah, baru saja. Aku mau bikin teh, mau dibuatin enggak?"
"Enggak usah. Aku minum air putih saja."
"Bentar aku ambilin."
Sumi ke dapur. Dengan cekatan ia membuat segelas teh dan mengambilkan air hangat buat Kamalia. Malam itu, mereka hanya tinggal berdua saja di vila.
Baru saja memberikan air putih dan duduk di sofa. Ponselnya di atas meja berbunyi. Sumi segera melihat siapa yang menelepon.
"Lia, i
Untuk mengisi waktu, Kamalia menyusun baju di ruang pakaian. Melihat koleksi jam tangan milik suaminya yang tersimpan di laci kaca yang tersekat-sekat berbentuk persegi. Jadi satu kotak cukup untuk meletakkan satu arloji.Jam tangan itu masih hidup semua. Bahkan mungkin ada yang jarang di pakai, atau tidak pernah dipakai sama sekali. Ada dua jam tangan couple, dengan tali dari kulit warna coklat dan yang satunya dengan tali stainless steel.Dia beli itu buat siapa?Kamalia mengambil satu jam tangan Rolex Submarine. Diperhatikan dengan seksama. Willy juga memiliki itu. Sama persis. Willy sering memakainya.Puas merapikan area jam tangan. Kamalia ke arah pakaian. Di hanger lemari yang jarang dibuka ada mantel tebal untuk dipakai saat musim dingin. Ada beberapa warna dan model.Di ruangan itu ataupun di ruang kerja yang dibersihkan empat bulan yang lalu tid
"Kenapa ponselnya dibiarkan habis baterai? Bikin kepikiran saja," tanya Devin pelan."Iya, kelupaan tadi mau nge-charge."Kamalia segera berdiri dan meraih ponselnya. Membuka pesan masuk. Kemudian ia memandang ke arah Devin. Semua pesannya sudah terbaca semua."Kenapa Willy masih sering mengirim pesan?" tanya Dev mendekat."Hanya kadang-kadang saja, tanya kabar.""Mas tak suka," ucap Dev tegas.Kamalia memandang suaminya. Iya, Dev boleh bilang tidak suka. Tapi apa dirinya juga boleh bilang tidak suka ketika melarang pria itu kerja sama dengan Imelda, yang hanya sekedar teman. Bukan mantan seperti dirinya dan Willy."Bagaimana jika Mas mengganti nomermu?""Iya, enggak apa-apa," jawab Kamalia pelan dan keberatan sambil meletakkan ponsel di meja.Padahal dalam hati ia ingin sekali tahu
Kamalia tiduran sambil memandang layar ponselnya. Siapa tahu Devin akan menelepon siang itu. Ditunggu hingga selesai salat Zuhur, tapi tidak ada panggilan masuk.Yang ada malah pesan masuk dari teman-teman kuliah bertanya tentang kabarnya. Mereka bilang dapat nomer dari Willy.[Aku enggak nyangka kamu dah nikah, Lia. Sama orang lain pula.] Pesan dari Uci.[Tahu enggak, Willy patah hati banget saat cerita sama aku. Apalagi sekarang kamu lagi hamil, ya?] Pesan dari Vero.[Aku udah tiga bulan ini magang, Lia. Doain aku diangkat jadi karyawan tetap, ya.] Pesan dari Yana.Hanya Yana yang tidak banyak bertanya mengenai kehidupan pribadinya. Sementara yang lain sibuk bertanya mengenai keputusannya kenapa menikah dengan orang lain. Kenapa meninggalkan Willy yang kala itu sakit dan berjuang untuk mendapatkan restu orang tua.Sibuk juga Kamalia membalas s
Dev mengambil tisu untuk menghapus air mata istrinya. Kamalia menahan isak tangis agar tidak terdengar oleh Mama mertua dan Ben.Dipeluknya tubuh lelah itu erat. "Lia, kamu percaya, 'kan?"Kamalia melepaskan pelukan. Menghapus air mata, menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskan perlahan."Ayo, kita ditunggu sama Mama." Setelah tenang, Kamalia mengajak kembali ke ruang tamu.Devin mengikuti meskipun pertanyaannya tadi tidak dijawab.Bu Rahma memeluk putranya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Ben dengan malas melakukan hal yang sama.Devin menunggu Kamalia, tapi istrinya diam saja. Ia malah sibuk bicara dengan Ben sambil mengeluarkan beberapa bungkus roti dan minuman."Kue tartnya di buka, Ben. Sekalian nyalain lilinnya," perintah sang Mama."Males aku, Ma," jawab Ben masa bodoh.
"Kalau Lia datang, kenapa tidak kau ajak main ke rumah tadi malam?" kata Adi."Dia masih kecapekan. Makanya langsung tidur.""Apa dia enggak marah lihat kita habis ngerayain ultahmu.""Sampai pagi tadi dia malas ngomong. Mama juga sempat nginterogasi karena melihatku hanya duduk berdua saja sama Imel waktu mereka datang.""Hati-hati aja kalau perempuan dah diam gitu," kata Galih yang duduk di hadapan Dev.Adi memandang Galih. "Hati-hati karena bakalan nganggur gitu, maksudmu?""Iyalah, alamat enggak dapat jatah."Wkwkwkkkk ....Benar-benar tidak tahu diri dua temannya itu. Tahu dirinya lagi resah malah dibuat candaan.Dev segera berdiri. "Aku lihat Kamalia dulu.""Pandai-pandailah kamu merayunya. Jika tidak, sampai anakmu lahir bakalan bujang lagi dirimu." Lagi-lagi Galih yang
Kamalia memperhatikan mall yang penuh dengan pengujung. Padahal ini bukan malam Minggu. Banyak anak muda nongkrong di kafe-kafe dan duduk di bangku koridor mall.Pria dengan tinggi badan 184 cm itu tidak melepaskan pegangan tangannya sejak keluar dari restoran tempat mereka makan tadi.Dengan sedikit dipaksa, akhirnya Kamalia mau diajak ke luar juga."Mau es krim?" Dev menawari ketika mereka lewat depan stand penjual ice cream.Tampak Kamalia berfikir sejenak. Antara mau tapi kenyang."Mau?" tanya Dev mengulang."Kalau ada rasa matcha aku mau.""Ayo!"Dev bertanya kepada seorang pelayan yang berpakaian seragam warna ungu dengan kombinasi warna kuning. Namun sayang, yang diinginkan Kamalia tidak ada."Mau rasa yang lain?"Kamalia menggeleng.&nb
Kamalia memandang suaminya sebentar. Ada senyum di wajah segar itu. Akhirnya diambilnya ponsel dan menggeser icon warna hijau untuk menjawab panggilan."Halo, Assalamu'alaikum, Mbak.""Wa'alaikumsalam. Kamu di mana, Lia?""Aku ikut Dev di luar kota. Ada apa, Mbak?""Mbak ganggu kamu, enggak?"Kamalia duduk di tepi pembaringan. "Enggak. Memangnya mau ngomong apa?""Paman kemarin sore datang ke rumah. Istrinya sakit dan opname di rumah sakit. Dia butuh biaya, sampai nangis-nangis kemarin.""Kan anak-anaknya ada, sih, Mbak. Ngapain datang ke Mbak. Tidak ingat apa kalau selama ini sudah nyusahin kita.""Paman ingin kita membagi dua tanah yang sertifikatnya dikembalikan oleh Devin. Paman ingin menjual lahan itu untuk biaya berobat Bibi.""Memangnya Paman tahu kalau sertifikat sudah, Mbak,
"Devin Danendra," ucap Pak Hamdad sambil menyalami Dev yang duduk di ruang tamu rumah megahnya."Ini kali kedua kita bertemu, ya. Yang kemarin enggak sempat ngobrol. Ayo, silakan di minum tehnya." Ramah sekali Pak Hamdad menyambut Dev."Terima kasih, Om.""Imel sudah banyak cerita tentang kamu. Bagaimana sepak terjang kamu menggeluti perkebunan, properti, dan sekarang pergudangan ini. Hebat ya, usiamu baru tiga puluh tiga. Masih muda, tampan pula."Devin tersenyum. Tidak merasa tersanjung. Ia seperti biasa dengan pembawaan yang tenang. Seumur hidup yang dia ingat, hanya Kamalia yang membuatnya kadang tidak bisa tenang. Meski di depan istrinya menunjukkan sikap sok dingin."Soal perkebunan, saya hanya meneruskan usaha Papa saya, Om.""Tetap saja hebat, Dev. Bisa bertahan hingga sekarang. Imel cerita juga tentang keluargamu. Mamamu dosen, adikmu m