Kamalia memperhatikan mall yang penuh dengan pengujung. Padahal ini bukan malam Minggu. Banyak anak muda nongkrong di kafe-kafe dan duduk di bangku koridor mall.
Pria dengan tinggi badan 184 cm itu tidak melepaskan pegangan tangannya sejak keluar dari restoran tempat mereka makan tadi.
Dengan sedikit dipaksa, akhirnya Kamalia mau diajak ke luar juga.
"Mau es krim?" Dev menawari ketika mereka lewat depan stand penjual ice cream.
Tampak Kamalia berfikir sejenak. Antara mau tapi kenyang.
"Mau?" tanya Dev mengulang.
"Kalau ada rasa matcha aku mau."
"Ayo!"
Dev bertanya kepada seorang pelayan yang berpakaian seragam warna ungu dengan kombinasi warna kuning. Namun sayang, yang diinginkan Kamalia tidak ada.
"Mau rasa yang lain?"
Kamalia menggeleng.
&nb
Kamalia memandang suaminya sebentar. Ada senyum di wajah segar itu. Akhirnya diambilnya ponsel dan menggeser icon warna hijau untuk menjawab panggilan."Halo, Assalamu'alaikum, Mbak.""Wa'alaikumsalam. Kamu di mana, Lia?""Aku ikut Dev di luar kota. Ada apa, Mbak?""Mbak ganggu kamu, enggak?"Kamalia duduk di tepi pembaringan. "Enggak. Memangnya mau ngomong apa?""Paman kemarin sore datang ke rumah. Istrinya sakit dan opname di rumah sakit. Dia butuh biaya, sampai nangis-nangis kemarin.""Kan anak-anaknya ada, sih, Mbak. Ngapain datang ke Mbak. Tidak ingat apa kalau selama ini sudah nyusahin kita.""Paman ingin kita membagi dua tanah yang sertifikatnya dikembalikan oleh Devin. Paman ingin menjual lahan itu untuk biaya berobat Bibi.""Memangnya Paman tahu kalau sertifikat sudah, Mbak,
"Devin Danendra," ucap Pak Hamdad sambil menyalami Dev yang duduk di ruang tamu rumah megahnya."Ini kali kedua kita bertemu, ya. Yang kemarin enggak sempat ngobrol. Ayo, silakan di minum tehnya." Ramah sekali Pak Hamdad menyambut Dev."Terima kasih, Om.""Imel sudah banyak cerita tentang kamu. Bagaimana sepak terjang kamu menggeluti perkebunan, properti, dan sekarang pergudangan ini. Hebat ya, usiamu baru tiga puluh tiga. Masih muda, tampan pula."Devin tersenyum. Tidak merasa tersanjung. Ia seperti biasa dengan pembawaan yang tenang. Seumur hidup yang dia ingat, hanya Kamalia yang membuatnya kadang tidak bisa tenang. Meski di depan istrinya menunjukkan sikap sok dingin."Soal perkebunan, saya hanya meneruskan usaha Papa saya, Om.""Tetap saja hebat, Dev. Bisa bertahan hingga sekarang. Imel cerita juga tentang keluargamu. Mamamu dosen, adikmu m
"Mau ke mana?" tanya Dev sambil menahan tubuh istrinya yang hendak berdiri setelah mereka selesai salat Subuh."Mau masak.""Kita beli saja nanti, ayo, sini!"Kamalia kembali duduk, mereka saling berhadapan."Ada apa?"Devin mencium, kemudian melepaskan mukena istrinya. Membingkai wajah Kamalia dengan tatapan mata, membawa tubuh itu ke ranjang hingga ... deritan ranjang kayu terdengar sepagi itu.Beberapa saat setelahnya, mereka masih berpelukan di bawah selimut. Menikmati kebersamaan di awal hari."Jam berapa, Mas?" tanya Kamalia yang tidur di lengan suaminya.Dev mengambil jam tangan di nakas. "Baru jam lima.""Enggak usah beli sarapan, Mas. Aku masih sempat kalau masak.""Tidak usah. Nanti kita beli nasi kuning di warung depan. Selama di sini tidak
Devin memarkir mobilnya tepat di depan lokasi bangunan. Tidak lama kemudian Galih mendekat. Dev turun dari mobil."Kamu langsung mau pulang apa mampir dulu nengok Cita ke rumah sakit?" tanya Galih."Aku sudah menengoknya kemarin malam. Mungkin aku telat balik ke sini. Ada yang mau aku urus di rumah," jawab Dev. Ya, memang harusnya sebelum Sabtu kemarin mereka pulang, karena Cita melahirkan akhirnya tertunda."Ya, enggak apa-apa. Biar ku-handle yang di sini. Untuk masalahmu dengan Imel, cari jalan penyelesaian yang terbaik, Bro. Kasihan Adi telah menjual tanahnya untuk memulai usaha ini.""Iya aku ngerti. Hari ini juga akan kutemui Pak Hamdad. Beritahu aku dimana alamat kantornya."Galih menyebutkan sebuah alamat. Devin mengangguk paham."Aku pergi dulu."Galih mengiyakan. Devin kembali ke mobil. Galih melambaikan tangan ke K
"Mas, boleh enggak kalau malam ini aku nginap di rumah Mbak Eva?" tanya Kamalia setelah mereka hampir sampai di rumah Bu Wanti.Devin memandang istrinya. "Kenapa mesti nginap?""Ya, pengen saja.""Bukan karena ada masalah foto itu, 'kan?"Kamalia tersenyum. "Bukan.""Mas akan mundur dari join itu kalau kamu merasa tidak nyaman.""Kasihan sama Mas Adi. Dia bela-belain jual lahan untuk memulai usaha itu. Sudahlah enggak apa-apa Mas jalan terus. Aku percaya kalau Mas enggak akan macam-macam.""Bener?""Iya. Jika Mas benci pengkhianatan, berarti Mas tidak akan mengkhianati."Devin tersenyum kemudian menggenggam erat jemari istrinya.Kamalia memandang jauh ke barat dari kaca mobil, langit sore yang berwarna jingga. Ia rindu menikmati indahnya senja di kampung ha
"Aku heran sama perempuan itu, enggak ada capeknya ngejar, Mas." Kamalia berkata sambil mengelap bibir suaminya dengan tisu."Apa sih enaknya ngejar suami orang? Yang dikejar juga mau-mau aja.""Bilang apa tadi?" tanya Dev sambil menarik perlahan lengan istrinya. Netranya menatap wajah polos Kamalia."Aku juga enggak tahu selama tiga bulan ini Mas ngapain aja sama dia. Buktinya Mas sampai nekat jadi tameng sampai kayak gini. Mas, enggak mikir sebelum bertindak. Kalau terjadi apa-apa pasti Mama, Ben, aku, dan anak ini yang kehilangan. Aku enggak habis pikir sama tindakan, Mas."Devin berusaha menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan istrinya, tapi rasa nyeri di perut membuatnya meringis menahan sakit."Mas refleks saja kemarin. Sumpah, tidak ada pikiran apapun. Cobalah, Lia tanya sama teman-teman Mas. Bagaimana keseharian di lokasi kerja. Bagaimana Mas menghindari
Jam dua siang Dev dan Kamalia berada di ruang praktek dokter obgyn. Tadi seorang perawat membatunya membuat apoitment dengan dokter Zizi.Kamalia berbaring di ranjang pemeriksaan sedangkan Dev duduk di kursi roda.Dari layar mereka dapat melihat bayi yang mulai terbentuk."Janin, ibu, beratnya sudah 290 gram dengan panjang 16,5 sentimeter. Ini coba lihat, jenis kelaminnya juga sudah bisa dideteksi." Dokter Zizi menggerakkan tranduser di perut Kamalia.Dev melihatnya dengan takjub. Itu calon anaknya. Seorang suster yang menemani juga ikut memperhatikan."Ingin tahu enggak, baby-nya laki apa perempuan? Atau pengennya jadi surprise saja nanti?" Dokter Zizi memandang Kamalia dan Ben secara bergantian. Suami istri itu juga saling tatap."Kasih tahu saja, Dok. Biar kami tidak pernasaran.""He's a baby boy."
Mobil yang dikendarai Ben melaju membelah lalu lintas kota. Disebelahnya Dev duduk bersandar dengan kaki setengah selonjor. Di bangku tengah ada Mama dan Kamalia.Dev menelepon Adi dan Galih, mengabari bahwa ia telah pulang ke rumah mamanya. Dan urusan kerjaan dipasrahkan kepada mereka. Tidak tahu juga kapan Dev bisa datang lagi ke proyek.Aplikasi pesan dilihatnya. Ada beberapa pesan masuk dari nomer yang sama.[Maaf, maaf banget, Dev. Dikarenakan diriku kamu terluka seperti itu.][Bagaimana keadaanmu? Aku enggak bisa tenang karena telah membuatmu celaka.][Kamu sudah baikan, 'kan, Dev?][Bagaimana cara aku bisa menebus salahku?]Dan masih beberapa pesan lagi yang malas dia baca. Dev menekan titik tiga pojok kanan atas dan clear chat semua pesan Imelda.Diletakkan begitu saja ponsel di dashboard.