Mobil yang dikendarai Ben melaju membelah lalu lintas kota. Disebelahnya Dev duduk bersandar dengan kaki setengah selonjor. Di bangku tengah ada Mama dan Kamalia.
Dev menelepon Adi dan Galih, mengabari bahwa ia telah pulang ke rumah mamanya. Dan urusan kerjaan dipasrahkan kepada mereka. Tidak tahu juga kapan Dev bisa datang lagi ke proyek.
Aplikasi pesan dilihatnya. Ada beberapa pesan masuk dari nomer yang sama.
[Maaf, maaf banget, Dev. Dikarenakan diriku kamu terluka seperti itu.]
[Bagaimana keadaanmu? Aku enggak bisa tenang karena telah membuatmu celaka.]
[Kamu sudah baikan, 'kan, Dev?]
[Bagaimana cara aku bisa menebus salahku?]
Dan masih beberapa pesan lagi yang malas dia baca. Dev menekan titik tiga pojok kanan atas dan clear chat semua pesan Imelda.
Diletakkan begitu saja ponsel di dashboard.
"Soal asmara dari dulu kamu ini penuh misteri. Kita berteman dari SMA, Dev. Hesty juga khawatir sama Lia. Dia yatim piatu dari kecil, udah gitu punya paman malah tega manfaatin dia. Kasihan banget hidupnya. Kemarin Hesty sampe nangis ingat istrimu."Dev diam sambil memandang ke luar jendela."Jaga istrimu baik-baik. Pasti sekarang ia terluka melihatmu bertaruh nyawa untuk perempuan lain yang ia tahu sedang mengincarmu.""Iya. Terima kasih, Ton. Nanti kalau mau pulang aku kabari dulu.""Oke, yang penting kamu sembuh dulu.""Ya."Panggilan selesai bersamaan dengan Kamalia yang masuk kamar dan membawa setumpuk baju bersih. Dev segera menghampiri."Sini biar Mas yang nyusun di lemari.""Enggak usah. Biar kutaruh sendiri."Kamalia meletakkan baju di atas tempat tidur. Kemudian menyu
"Loh, siapa yang metik bunga mawar Mama ini. Habis Maghrib kemarin masih ada." Bu Rahma mengamati pot bunga mawarnya yang tinggal batang dan daunnya saja di pojok teras.Dev santai memandang sang Mama. Sementara Kamalia menatap suaminya."Padahal baru berbunga lagi, setelah lama enggak mau ngembang. Kamu ya, Ben, yang metik?" tanya Bu Rahma pada Ben yang siap berangkat kuliah bareng dirinya."Yaelah, Ma, buat apa jomlo metik bunga. Mau dikasihkan ke siapa coba," jawab Ben santai.Mbok Tini yang mendengar dari teras samping menahan senyum. Ingat tadi malam Dev minta gunting dan pergi ke luar rumah."Loh, kamu putus sama si Nindi?""Udah dua bulan yang lalu, Ma. Masa anak ngenes Mama enggak peka."Dev tertawa dan Kamalia tersenyum mendengar ucapan adik iparnya."Mama doain dapat gantinya," jawab cepat sang
"Tadi Mama bilang, besok Mas di antar Pak Gino untuk kontrol ke rumah sakit." Kamalia memberitahu setelah mereka selesai salat Isya dan duduk di tepi ranjang."Padahal Mas udah bisa nyetir sendiri. Mas mikirnya besok kita bisa pergi berdua saja.""Mama udah telepon Pak Gino tadi. Dituruti saja daripada Mama marah."Dev mengiyakan. Kemudian mendekati istrinya. "Mobil sudah ada, kita bisa liburan lusa.""Apa enggak terlalu cepat. Mas baru kontrol besok. Kita dengar dulu apa hasil pemeriksaan dokter."Pria itu tidak menanggapi ucapan istrinya. Justru ia mulai membuka mukena yang dipakai Kamalia. Meletakkan begitu saja di lantai. Kemudian mencium istrinya."Jangan bilang tidak, Mas udah kangen banget ini.""Matiin lampunya.""Tidak usah.""Aku malu dengan perut besar begini."&nbs
"Mas, juga mau, 'kan ngenterin aku reuni?"Dev tidak menjawab, diraihnya jemari Kamalia dan segera diajak turun.Jarak rumah dan rumah sakit umum hanya ditempuh dengan perjalanan dua puluh menit.Pak Gino menunggu di parkiran, sementara Dev dan Kamalia berjalan melewati lorong untuk menuju ruang praktek dokter umum, dr. Teguh. Kemarin Bu Rahma sudah bikin apoitment untuk Dev.Di depan ruang praktek telah menunggu beberapa pasien. Dev mengambil tempat duduk di bangku tunggu paling pinggir. Tangannya masih menggenggam jemari istrinya."Kenapa, Mas, enggak ngizinin aku reuni?" tanya Kamalia pelan."Lihat situasi dulu. Kalau Mas longgar nanti Mas anterin."Kamalia tersenyum. "Terima kasih.""Hmm."🌷🌷🌷Gerimis turun menjelang senja. Dev duduk di balkon dekat dengan
Perumahan itu tidak kalah asri dengan lingkungan tempat tinggal Bu Rahma. Bedanya di lingkungan rumah Willy pagarnya menjulang tinggi-tinggi. Seolah kesan individualisme-nya sangat kentara.Kamalia menyuruh Dev berhenti di rumah nomer 19-A. Kebetulan di depan pagar sudah ada dua mobil yang terparkir. Dan pintu pagar telah terbuka.Devin dan Kamalia turun dari mobil. Baru sampai depan pagar, Yana berlari menyambutnya. Memeluk erat Kamalia. Netra mereka berkaca-kaca."Terima kasih ya, Mas. Telah nganterin best friend saya datang ke sini," ucap Yana sambil menyalami Dev.Pria itu tersenyum ramah.Di sana telah hadir beberapa orang yang langsung memeluk Kamalia, ketika wanita itu selesai mengucap salam.Willy yang ngobrol dengan salah satu teman segera berdiri. Rona wajahnya menjelaskan apa yang ada dihatinya. Antara bahagia dan terluka.
Tepat jam tiga sore mereka memasuki kamar Hotel Crown. Dev memilih lantai sembilan dengan kamar deluxe room.Mahal tidak apa-apa asalkan membuat nyaman istrinya. Apalagi Kamalia terlihat sangat lelah setelah menempuh perjalanan dua jam dari rumah Willy."Capek, ya? Sini Mas pijitan." Dev mendekati istrinya yang tengah berbaring."Jangan dipijit, Mas. Diusap-usap saja kayak gini." Kamalia memberikan contoh dengan mengusap sendiri pinggangnya.Dev melakukan seperti yang Lia contohkan. Pertama diajak bicara masih nyambung, lama-lama suaranya tidak terdengar. Ternyata Kamalia telah terlelap.Setelah menyelimuti kaki istrinya Dev segera membuka koper untuk mengambil baju ganti karena ia ingin mandi lebih dulu.Tepat jam empat lebih tiga puluh menit Kamalia terbangun. Itu pun setelah dibangunkan Dev karena harus salat ashar.&
Hingga dini hari Dev masih terjaga. Ada yang dipikirkan hingga susah terlena. Tidak seperti biasanya, setiap selesai bercinta pasti akan mudah terlelap.Dev memperhatikan perut yang membulat di balik selimut. Kemudian di usapnya pelan. Setelah mengecup ia kembali rebah.Sampai saat itu, ia tidak sanggup menceritakan apa yang terjadi di kamar kos Eva beberapa tahun yang lalu. Cukup hanya dirinya saja yang tahu.Suara desah napas dan erangan menjijikkan itu masih bisa diingat jelas hingga sekarang. Di hari Senin siang, ketika matahari terik bersinar. Saat kawasan kosan itu sepi.Nekat Dev mengetuk pintu, cukup lama menunggu hingga Eva dengan rambut kusut membuka pintu kamar. Eva kaget, wajahnya pucat pasi dan kebingungan. Dev lantas pergi tanpa berkata apa-apa.Cinta pertamanya yang berakhir tragis. Tapi ... sudahlah, sekarang semua terbayar manis dengan m
Langit cerah di pagi itu. Suasana pantai belum ramai. Kafe juga banyak yang belum buka.Dev dan Kamalia bertelanjang kaki berjalan di atas pasir. Angin pagi berhembus menyapa mereka."Mas, apa karena wajahku mirip Mbak Eva yang membuat Mas menyukaiku?""Tidak. Bagiku wajah kalian sama sekali tidak mirip. Cantikan kamu," jawab cepat Dev.Kamalia tersenyum sambil memandang jauh ke ujung timur. Matahari perlahan merangkak naik. Tangannya masih digenggam erat oleh suaminya. Ia tersenyum bukan karena tersanjung, tapi tidak percaya kalau wajahnya dibilang tidak mirip sang kakak. Padahal kata orang-orang itu mereka sangat mirip. Tapi ... sudahlah, untuk apa diperdebatkan."Habis dari liburan kita langsung pulang ke vila, 'kan?""Kita pulang ke rumah Mama dulu. Sebab Minggu depan ada sidang di pengadilan. Mas juga ada urusan dengan Yaksa. Daripada