Tepat jam tiga sore mereka memasuki kamar Hotel Crown. Dev memilih lantai sembilan dengan kamar deluxe room.
Mahal tidak apa-apa asalkan membuat nyaman istrinya. Apalagi Kamalia terlihat sangat lelah setelah menempuh perjalanan dua jam dari rumah Willy.
"Capek, ya? Sini Mas pijitan." Dev mendekati istrinya yang tengah berbaring.
"Jangan dipijit, Mas. Diusap-usap saja kayak gini." Kamalia memberikan contoh dengan mengusap sendiri pinggangnya.
Dev melakukan seperti yang Lia contohkan. Pertama diajak bicara masih nyambung, lama-lama suaranya tidak terdengar. Ternyata Kamalia telah terlelap.
Setelah menyelimuti kaki istrinya Dev segera membuka koper untuk mengambil baju ganti karena ia ingin mandi lebih dulu.
Tepat jam empat lebih tiga puluh menit Kamalia terbangun. Itu pun setelah dibangunkan Dev karena harus salat ashar.
&
Hingga dini hari Dev masih terjaga. Ada yang dipikirkan hingga susah terlena. Tidak seperti biasanya, setiap selesai bercinta pasti akan mudah terlelap.Dev memperhatikan perut yang membulat di balik selimut. Kemudian di usapnya pelan. Setelah mengecup ia kembali rebah.Sampai saat itu, ia tidak sanggup menceritakan apa yang terjadi di kamar kos Eva beberapa tahun yang lalu. Cukup hanya dirinya saja yang tahu.Suara desah napas dan erangan menjijikkan itu masih bisa diingat jelas hingga sekarang. Di hari Senin siang, ketika matahari terik bersinar. Saat kawasan kosan itu sepi.Nekat Dev mengetuk pintu, cukup lama menunggu hingga Eva dengan rambut kusut membuka pintu kamar. Eva kaget, wajahnya pucat pasi dan kebingungan. Dev lantas pergi tanpa berkata apa-apa.Cinta pertamanya yang berakhir tragis. Tapi ... sudahlah, sekarang semua terbayar manis dengan m
Langit cerah di pagi itu. Suasana pantai belum ramai. Kafe juga banyak yang belum buka.Dev dan Kamalia bertelanjang kaki berjalan di atas pasir. Angin pagi berhembus menyapa mereka."Mas, apa karena wajahku mirip Mbak Eva yang membuat Mas menyukaiku?""Tidak. Bagiku wajah kalian sama sekali tidak mirip. Cantikan kamu," jawab cepat Dev.Kamalia tersenyum sambil memandang jauh ke ujung timur. Matahari perlahan merangkak naik. Tangannya masih digenggam erat oleh suaminya. Ia tersenyum bukan karena tersanjung, tapi tidak percaya kalau wajahnya dibilang tidak mirip sang kakak. Padahal kata orang-orang itu mereka sangat mirip. Tapi ... sudahlah, untuk apa diperdebatkan."Habis dari liburan kita langsung pulang ke vila, 'kan?""Kita pulang ke rumah Mama dulu. Sebab Minggu depan ada sidang di pengadilan. Mas juga ada urusan dengan Yaksa. Daripada
Jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan malam, saat keduanya kembali menikmati percintaan. Beberapa kali panggilan dari sang mama sampai tidak terdengar."Bulan depan ulang tahunmu. Lia mau minta hadiah apa?" tanya Dev setelah beberapa saat selesai menuntaskan hasrat."Mas, sudah memberi banyak untukku. Aku enggak minta apa-apa. Mas, saja harus berhati-hati saat nanti menemui laki-laki yang masih mengincar Mas, itu. Jaga diri baik-baik. Ada aku dan calon anak kita sedang menunggu dan bergantung hidup pada, Mas."Perasaan Dev tersentuh. Dipandangnya mata bening yang tengah menatapnya. "Melihatmu seperti ini, semangat Mas makin membara."Kamalia tersenyum, kemudian menarik selimut hingga sempurna menutup sebatas dada. Dev masih mengambil posisi miring dengan tangan kanan menyangga kepala."Sekarang Mas sadar, kenapa Willy sangat kehilanganmu, bahkan sempat sakit par
"Di kebun belakang sana ada buah kelengkeng kalau, Anak, berdua mau?" Bapak pemilik kebun menawari."Ada buah nangka juga. Marilah ikut bapak." Laki-laki itu berdiri, mengambil parang dan karung lalu melangkah ke kebun belakang. Dev dan Kamalia mengikuti."Panggil saya Pak Dullah." Laki-laki itu mengenalkan diri."Saya Dev dan ini istri saya, Kamalia."Pak Dullah mengangguk-angguk sambil terus melangkah.Di sana ada dua pohon kelengkeng yang berbuah lebat dan berbau harum dari buahnya yang sudah masak. Di sebelahnya pohon nangka besar menjulang tinggi dengan buah beraneka ukuran, ada yang masih kecil, sedang, dan besar. Pak Dullah memilih buah kelengkeng yang sudah masak. Kamalia memetik beberapa buahnya yang besar-besar. Dev dengan posturnya yang menjulang terpaksa harus menunduk-nunduk di bawah pohon kelengkeng."Buahnya sudah pada masak kok b
Jam satu siang Dev pamitan dan langsung ke proyek. Di sana dia ditunggu Adi dan Galih.Mobil langsung masuk ke lokasi dan berhenti di samping bangunan yang hampir jadi.Beberapa pekerja sedang istirahat di rumah darurat yang di bangun dari asbes dan baja ringan.Adi dan Galih buru-buru menghampiri sebelum Dev keluar dari mobil. Dua orang itu langsung masuk ke mobil dan mengajak Dev pergi. "Kita cari tempat lain untuk bicara, di bangunan kosong depan sana ada anak buah Amran," ajak Adi."Sebenarnya dibayar berapa mereka hingga siang malam mengawasi tempat ini?""Entahlah! Sedikit pun kami tidak ingin menegur mereka. Apalagi pengadilan belum menjatuhkan vonis pada Amran. Ayo, segera pergi, Dev!" ganti Galih yang bicara.Kalau tidak ingat istrinya yang lagi hamil, tidak ingin Dev pergi begitu saja. Ia ingin tahu reaksi anak buah Amran saat bertemu
Kamalia tersenyum senang ketika tepat jam lima sore mobil Dev memasuki halaman rumah. Ia segera berdiri di dekat tiang teras untuk menyambutnya.Sang suami keluar dari mobil sambil tersenyum. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Dev menaiki tiga undakan teras kemudian mencium istrinya. Dari dalam muncul Ben yang membawa kacang asin di toples."Nah, pulang masih utuh, 'kan, Lia. Hmm, cemasmu luar biasa tadi. Hampir saja aku disuruh menyusulmu, Mas," kata Ben sambil duduk di kursi teras."Bener begitu?" tanya Dev sambil merangkul istrinya."Habis, Mas, enggak ngabari sama sekali.""Maaf, Mas sibuk tadi."Keduanya masuk rumah dan terus menuju kamar. Kamalia mengambilkan baju ganti untuk suaminya. Dev segera keluar lagi untuk mandi. Kebetulan kamar Dev tidak ada kamar mandi di dalam. Hanya punya Mama
Amran masuk dengan memakai baju tahanan. Melirik sekilas pada Dev yang tidak bereaksi apapun terhadap pria itu.Hakim menanyakan identitas terdakwa dan apakah sudah menerima salinan surat dakwaan. Setelah Amran menjawab telah menerima surat salinan dan menyatakan dirinya sehat, maka persidangan dilanjutkan.Amran tetap didampingi pengacara meskipun hanya terancam hukuman satu hingga dua tahun penjara. Seorang laki-laki seumuran Pak Marhaen yang mendampingi.Dilanjutkan pembacaan surat dakwaan. Karena Hakim menolak eksepsi yang diajukan Amran pada sidang sebelumnya. Juga tidak adanya saksi yang bisa meringankan Amran, makanya pada sidang kali ini hakim langsung menjatuhkan vonis setahun hukuman penjara dipotong masa tahanan."Bagaimana, Pak Dev? Apa Anda puas dengan vonis setahun penjara untuk saudara Amran?" tanya Pak Marhaen pelan."Ya, tidak apa-apa, Pak. Setahun
"Ayo, kita pergi! Mereka akan tetap diam saja jika di tempat ramai begini," ajak Dev.Adi dan Galih menyetujui. Mereka bertiga masuk ke mobilnya Galih. Dari kaca spion Dev bisa melihat empat orang dengan dua motor telah siap duduk di atas jok.Adi yang duduk di belakang menoleh. "Mereka memang mencari kesempatan untuk memancing emosi dan bentrok dengan kita.""Ya. Misalnya saja kita tidak bisa barter tawanan, Amran akan puas jika bisa memasukkan aku ke dalam penjara, melalui anak buahnya itu," kata Dev sambil terus memperhatikan dari kaca spion."Terus, bagaimana kita sekarang?" tanya Galih."Selagi bisa dihindari, hindari saja. Apa bangganya menang melawan mereka. Ingat istri dan anak yang di rumah. Ingat juga Lia yang lagi hamil, Dev." Adi mengingatkan."Oke, kita pergi lewat jalan utama saja. Walaupun harus memutar. Nanti biar ku telepon Ben, biar menungguku di gerbang tol."Kedua temannya menyetujui usulan Devin. Mobil meluncur keluar dan mengambil arah ke kiri dan masuk jalan be