Jam satu siang Dev pamitan dan langsung ke proyek. Di sana dia ditunggu Adi dan Galih.
Mobil langsung masuk ke lokasi dan berhenti di samping bangunan yang hampir jadi.
Beberapa pekerja sedang istirahat di rumah darurat yang di bangun dari asbes dan baja ringan.
Adi dan Galih buru-buru menghampiri sebelum Dev keluar dari mobil. Dua orang itu langsung masuk ke mobil dan mengajak Dev pergi. "Kita cari tempat lain untuk bicara, di bangunan kosong depan sana ada anak buah Amran," ajak Adi.
"Sebenarnya dibayar berapa mereka hingga siang malam mengawasi tempat ini?"
"Entahlah! Sedikit pun kami tidak ingin menegur mereka. Apalagi pengadilan belum menjatuhkan vonis pada Amran. Ayo, segera pergi, Dev!" ganti Galih yang bicara.
Kalau tidak ingat istrinya yang lagi hamil, tidak ingin Dev pergi begitu saja. Ia ingin tahu reaksi anak buah Amran saat bertemu
Kamalia tersenyum senang ketika tepat jam lima sore mobil Dev memasuki halaman rumah. Ia segera berdiri di dekat tiang teras untuk menyambutnya.Sang suami keluar dari mobil sambil tersenyum. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Dev menaiki tiga undakan teras kemudian mencium istrinya. Dari dalam muncul Ben yang membawa kacang asin di toples."Nah, pulang masih utuh, 'kan, Lia. Hmm, cemasmu luar biasa tadi. Hampir saja aku disuruh menyusulmu, Mas," kata Ben sambil duduk di kursi teras."Bener begitu?" tanya Dev sambil merangkul istrinya."Habis, Mas, enggak ngabari sama sekali.""Maaf, Mas sibuk tadi."Keduanya masuk rumah dan terus menuju kamar. Kamalia mengambilkan baju ganti untuk suaminya. Dev segera keluar lagi untuk mandi. Kebetulan kamar Dev tidak ada kamar mandi di dalam. Hanya punya Mama
Amran masuk dengan memakai baju tahanan. Melirik sekilas pada Dev yang tidak bereaksi apapun terhadap pria itu.Hakim menanyakan identitas terdakwa dan apakah sudah menerima salinan surat dakwaan. Setelah Amran menjawab telah menerima surat salinan dan menyatakan dirinya sehat, maka persidangan dilanjutkan.Amran tetap didampingi pengacara meskipun hanya terancam hukuman satu hingga dua tahun penjara. Seorang laki-laki seumuran Pak Marhaen yang mendampingi.Dilanjutkan pembacaan surat dakwaan. Karena Hakim menolak eksepsi yang diajukan Amran pada sidang sebelumnya. Juga tidak adanya saksi yang bisa meringankan Amran, makanya pada sidang kali ini hakim langsung menjatuhkan vonis setahun hukuman penjara dipotong masa tahanan."Bagaimana, Pak Dev? Apa Anda puas dengan vonis setahun penjara untuk saudara Amran?" tanya Pak Marhaen pelan."Ya, tidak apa-apa, Pak. Setahun
"Ayo, kita pergi! Mereka akan tetap diam saja jika di tempat ramai begini," ajak Dev.Adi dan Galih menyetujui. Mereka bertiga masuk ke mobilnya Galih. Dari kaca spion Dev bisa melihat empat orang dengan dua motor telah siap duduk di atas jok.Adi yang duduk di belakang menoleh. "Mereka memang mencari kesempatan untuk memancing emosi dan bentrok dengan kita.""Ya. Misalnya saja kita tidak bisa barter tawanan, Amran akan puas jika bisa memasukkan aku ke dalam penjara, melalui anak buahnya itu," kata Dev sambil terus memperhatikan dari kaca spion."Terus, bagaimana kita sekarang?" tanya Galih."Selagi bisa dihindari, hindari saja. Apa bangganya menang melawan mereka. Ingat istri dan anak yang di rumah. Ingat juga Lia yang lagi hamil, Dev." Adi mengingatkan."Oke, kita pergi lewat jalan utama saja. Walaupun harus memutar. Nanti biar ku telepon Ben, biar menungguku di gerbang tol."Kedua temannya menyetujui usulan Devin. Mobil meluncur keluar dan mengambil arah ke kiri dan masuk jalan be
Dev menghampiri istrinya yang sedang menutup gorden jendela kamar sehabis mereka salat Maghrib."Besok kita pulang," kata Dev."Besok?""Iya. Mas sudah bilang sama, Mama.""Apa, Mas, enggak capek?""Duduk sini Mas ajak ngomong." Dev menggandeng istrinya dan diajak duduk di ranjang."Besok kita berangkat agak siangan saja. Jam sepuluh atau sebelas. Kita nemui Pak Hamdad sama Imel dulu. Terus kita cari hotel untuk nginap semalam saja, besoknya baru kita pulang ke vila. Biar kamu tidak kecapekan."Kamalia sangat senang karena bisa segera bertemu dengan keponakannya. Ingin segera melihat wajahnya seperti siapa? Namun ada yang membuatnya muram. Kenapa harus bertemu Imel dulu?"Kenapa harus bertemu Imel dulu, sih, Mas?" Akhirnya pertanyaan itu keluar."Tidak ada apa-apa. Besok Lia akan tahu Mas ada urusan apa sama dia."Kamalia mengangguk. "Ya, enggak apa-apa. O ya, Mas tadi memang benar-benar berkelahi, ya?""Tidak. Kami cuma menghindari terus pergi.""Bener?"Dev tersenyum, kemudian merai
Devin memilih Hotel Nirwana di tengah kota untuk tempat istirahat semalam saja. Sebuah hotel tingkat tiga yang menyatu dengan restoran di lantai bawah.Pengunjung restoran sangat ramai siang itu. Ada beberapa bus pariwisata yang membawa rombongan para peziarah.Seorang tukang parkir mengarahkan Devin agar parkir masuk ke bagian dalam."Kita pesan makan siang ke kamar saja, ya. Di bawah rame," kata Dev setelah mereka masuk kamar di tingkat tiga."Iya, Mas saja yang pesan."Kamalia duduk di tepi ranjang sambil mengelus perutnya."Kenapa?" tanya Dev khawatir."Enggak apa-apa. Capek saja. Aku tiduran bentar, ya."Devin membantu istrinya merebahkan tubuh. Kemudian ia memeriksa suhu AC."Bener, kamu enggak apa-apa?"Kamalia menggeleng. "Cuman capek duduk."Selembar daftar menu diambil Dev dan dibacakan untuk istrinya. Berbagai menu yang tersedia disebutkan Dev."Lia, mau pesan apa?" "Pesan nasi rames saja sama milo es.""Oke, Mas pesenin." Dev mengambil ponsel yang tersedia di nakas sampin
Perjalanan pagi itu sangat menyenangkan. Meski cuaca agak mendung. Lalu lintas juga tidak sepadat biasanya. Namun Dev tetap tidak bisa melaju lebih cepat, kasihan istri dan bayinya.Mobil berhenti beberapa kali untuk istirahat dan minum teh. Makanya tengah hari baru sampai di vila. Gerimis siang itu menyambut kedatangan mereka.Mboh Darmi dan Sumi gembira melihat majikannya pulang.Wanita sepuh itu mengusap perut Kamalia. "Sudah tambah besar, ya. Hampir sebulan enggak ketemu.""Iya, Mbok. Sudah lima bulan ini."Sumi membantu Dev menurunkan bawang bawaan."Keadaan, Tuan, bagaimana? Waktu pulang hari itu Ibu cerita kalau Tuan kena tusuk.""Alhamdulillah sudah sembuh, Mbok," jawab Dev."Syukurlah! Si mbok kepikiran waktu di kabari sama ibu. Mau makan apa siang ini, biar si mbok siapkan?""Enggak usah, Mbok. Kami sudah mampir makan tadi. Mau istirahat saja sekarang. Pinggang rasanya capek banget," tolak Kamalia.Mereka bedua masuk kamar. Hawa dingin pegunungan menghadirkan kantuk yang tida
Pintu depan rumah terbuka. Bau harum masakan menguar di udara hingga tercium dari halaman rumah yang luas itu. Juga terdengar tangis bayi dari dalam.Kamalia mengucap salam. Suara kakaknya yang menjawab."Masuk, Lia," teriak Eva dengan senyum merekah dari dalam. Bersamaan dengan suara tangis bayi yang mereda.Dari dalam muncul Bu Wanti, yang tersenyum senang saat disalami Kamalia dan Dev.Eva duduk memangku bayinya di springbed yang diletakkan di lantai depan TV. Kamalia mendekat, memeluk sang kakak dengan penuh kerinduan. Dev yang dipersilakan duduk di sofa melihat itu. Pria itu diam. Karena sang kakak ipar seperti kebingungan saat melihat kehadirannya.Baju-baju baby yang dibeli Kamalia waktu liburan, diberikan kepada kakaknya."Ibu buatkan minum dulu, ya. Nak Devin mau kopi," tawar wanita itu pada Dev."Ya, Bu, boleh.""Ibu buatkan dulu. Bapak masih ada di belakang, nanti ibu panggilkan. Kalau Ragil masih ngajar."Dev mengangguk. Bu Wanti segera pergi ke dapur.Kamalia sibuk memang
Penyesalan atas kekhilafan itu hadir di hati keduanya. Kemudian sama-sama berjanji tidak akan mengulang lagi. Eva berhijrah, mulai berhijab atas bimbingan ibunya Ragil. Namun, rasa bersalahnya pada Dev belum bisa ditebus. "Mbak ... Mbak Eva. Kok, nangis ada apa?" tegur Kamalia saat melihat air mata kakaknya menganak sungai dengan isak yang tertahan.Eva menghapus air matanya cepat-cepat. "Enggak ada apa-apa," jawabnya pelan."Cerita saja ada apa?" tanya Kamalia sambil bangun dan duduk bergeser menghadap kakaknya."Mbak senang kalian bahagia. Mbak pernah mendapatkan banyak uang darinya, untuk menopang hidup kita. Untuk biaya sekolahmu juga. Rumah dan tanah milik kita yang dijual Paman, pada kenyataannya hanya dimanfaatkan sendiri untuk biaya anak-anak paman. Bukan untuk keperluan sekolahmu. Mbak tega sama Devin, ya, Lia?"Kamali menunduk sambil menggenggam jemari kakaknya. "Dev pernah bilang enggak mempermasalahkan soal uang. Hanya saja dia benci dikhianati.""Ya, Mbak yang salah."Ev