Dev menghampiri istrinya yang sedang menutup gorden jendela kamar sehabis mereka salat Maghrib."Besok kita pulang," kata Dev."Besok?""Iya. Mas sudah bilang sama, Mama.""Apa, Mas, enggak capek?""Duduk sini Mas ajak ngomong." Dev menggandeng istrinya dan diajak duduk di ranjang."Besok kita berangkat agak siangan saja. Jam sepuluh atau sebelas. Kita nemui Pak Hamdad sama Imel dulu. Terus kita cari hotel untuk nginap semalam saja, besoknya baru kita pulang ke vila. Biar kamu tidak kecapekan."Kamalia sangat senang karena bisa segera bertemu dengan keponakannya. Ingin segera melihat wajahnya seperti siapa? Namun ada yang membuatnya muram. Kenapa harus bertemu Imel dulu?"Kenapa harus bertemu Imel dulu, sih, Mas?" Akhirnya pertanyaan itu keluar."Tidak ada apa-apa. Besok Lia akan tahu Mas ada urusan apa sama dia."Kamalia mengangguk. "Ya, enggak apa-apa. O ya, Mas tadi memang benar-benar berkelahi, ya?""Tidak. Kami cuma menghindari terus pergi.""Bener?"Dev tersenyum, kemudian merai
Devin memilih Hotel Nirwana di tengah kota untuk tempat istirahat semalam saja. Sebuah hotel tingkat tiga yang menyatu dengan restoran di lantai bawah.Pengunjung restoran sangat ramai siang itu. Ada beberapa bus pariwisata yang membawa rombongan para peziarah.Seorang tukang parkir mengarahkan Devin agar parkir masuk ke bagian dalam."Kita pesan makan siang ke kamar saja, ya. Di bawah rame," kata Dev setelah mereka masuk kamar di tingkat tiga."Iya, Mas saja yang pesan."Kamalia duduk di tepi ranjang sambil mengelus perutnya."Kenapa?" tanya Dev khawatir."Enggak apa-apa. Capek saja. Aku tiduran bentar, ya."Devin membantu istrinya merebahkan tubuh. Kemudian ia memeriksa suhu AC."Bener, kamu enggak apa-apa?"Kamalia menggeleng. "Cuman capek duduk."Selembar daftar menu diambil Dev dan dibacakan untuk istrinya. Berbagai menu yang tersedia disebutkan Dev."Lia, mau pesan apa?" "Pesan nasi rames saja sama milo es.""Oke, Mas pesenin." Dev mengambil ponsel yang tersedia di nakas sampin
Perjalanan pagi itu sangat menyenangkan. Meski cuaca agak mendung. Lalu lintas juga tidak sepadat biasanya. Namun Dev tetap tidak bisa melaju lebih cepat, kasihan istri dan bayinya.Mobil berhenti beberapa kali untuk istirahat dan minum teh. Makanya tengah hari baru sampai di vila. Gerimis siang itu menyambut kedatangan mereka.Mboh Darmi dan Sumi gembira melihat majikannya pulang.Wanita sepuh itu mengusap perut Kamalia. "Sudah tambah besar, ya. Hampir sebulan enggak ketemu.""Iya, Mbok. Sudah lima bulan ini."Sumi membantu Dev menurunkan bawang bawaan."Keadaan, Tuan, bagaimana? Waktu pulang hari itu Ibu cerita kalau Tuan kena tusuk.""Alhamdulillah sudah sembuh, Mbok," jawab Dev."Syukurlah! Si mbok kepikiran waktu di kabari sama ibu. Mau makan apa siang ini, biar si mbok siapkan?""Enggak usah, Mbok. Kami sudah mampir makan tadi. Mau istirahat saja sekarang. Pinggang rasanya capek banget," tolak Kamalia.Mereka bedua masuk kamar. Hawa dingin pegunungan menghadirkan kantuk yang tida
Pintu depan rumah terbuka. Bau harum masakan menguar di udara hingga tercium dari halaman rumah yang luas itu. Juga terdengar tangis bayi dari dalam.Kamalia mengucap salam. Suara kakaknya yang menjawab."Masuk, Lia," teriak Eva dengan senyum merekah dari dalam. Bersamaan dengan suara tangis bayi yang mereda.Dari dalam muncul Bu Wanti, yang tersenyum senang saat disalami Kamalia dan Dev.Eva duduk memangku bayinya di springbed yang diletakkan di lantai depan TV. Kamalia mendekat, memeluk sang kakak dengan penuh kerinduan. Dev yang dipersilakan duduk di sofa melihat itu. Pria itu diam. Karena sang kakak ipar seperti kebingungan saat melihat kehadirannya.Baju-baju baby yang dibeli Kamalia waktu liburan, diberikan kepada kakaknya."Ibu buatkan minum dulu, ya. Nak Devin mau kopi," tawar wanita itu pada Dev."Ya, Bu, boleh.""Ibu buatkan dulu. Bapak masih ada di belakang, nanti ibu panggilkan. Kalau Ragil masih ngajar."Dev mengangguk. Bu Wanti segera pergi ke dapur.Kamalia sibuk memang
Penyesalan atas kekhilafan itu hadir di hati keduanya. Kemudian sama-sama berjanji tidak akan mengulang lagi. Eva berhijrah, mulai berhijab atas bimbingan ibunya Ragil. Namun, rasa bersalahnya pada Dev belum bisa ditebus. "Mbak ... Mbak Eva. Kok, nangis ada apa?" tegur Kamalia saat melihat air mata kakaknya menganak sungai dengan isak yang tertahan.Eva menghapus air matanya cepat-cepat. "Enggak ada apa-apa," jawabnya pelan."Cerita saja ada apa?" tanya Kamalia sambil bangun dan duduk bergeser menghadap kakaknya."Mbak senang kalian bahagia. Mbak pernah mendapatkan banyak uang darinya, untuk menopang hidup kita. Untuk biaya sekolahmu juga. Rumah dan tanah milik kita yang dijual Paman, pada kenyataannya hanya dimanfaatkan sendiri untuk biaya anak-anak paman. Bukan untuk keperluan sekolahmu. Mbak tega sama Devin, ya, Lia?"Kamali menunduk sambil menggenggam jemari kakaknya. "Dev pernah bilang enggak mempermasalahkan soal uang. Hanya saja dia benci dikhianati.""Ya, Mbak yang salah."Ev
"Siapa yang nelepon?" tanya Eva sambil mendekati adiknya."Dev, dia akan menjemputku.""Sekarang?"Kamalia mengangguk."Katanya sore baru dijemput.""Sekalian jalan, pas dia ada keperluan keluar," jawab Kamalia berbohong. Willy yang baru saja menutup panggilan dari temannya segera mendekat. Ia duduk satu meter di sebelah Kamalia. Siang itu mereka berbincang di teras depan."Aku sempat khawatir saat membaca berita di koran, waktu istirahat aku langsung ke sini. Tanya sama Mbak Eva.""Itu hanya salah paham saja.""O, syukurlah!" ucap Willy pelan. "Kami baik-baik saja."Willy mengangguk."Mama begitu menyesal setelah kamu pergi. Menyesal telah terlambat memberi restu."Kamalia tersenyum tanpa memandang mantan kekasihnya. "Berarti kita bukan jodoh. Waktunya kamu membuka hati dan coba membina lagi sebuah hubungan.""Belum sekarang kayaknya. Aku belum bisa," jawab Willy sambil menunduk.Eva yang duduk di sebelah mereka sambil mengayun baby Aisyah di ranjang rotan ikut terharu. Cinta yang
Bu Tantri mengamuk setelah tahu dari sopirnya kalau sang suami berkunjung ke perkebunan Dev."Bagus sekarang main rahasia sama Mama," kata Bu Tantri setengah berteriak pada suaminya di kamar mereka.Pak Hamdad yang tidak begitu paham, hanya memandang heran."Untuk apa, Papa, diam-diam pergi ke perkebunan Devin?"Pria itu menghela napas pelan. Kemarin lupa bicara sama sopirnya agar merahasiakan kemana dia pergi."Papa cuman mampir.""Mampir kok pakai acara menginap segala. Papa yang melarang Imel mendekati Devin. Apa jangan-jangan Papa ada niatan mendekati mamanya Dev yang janda itu." Suara Bu Tantri makin meninggi."Astaga, Mama .... Istiqfar, Ma, istiqfar. Kesana pula mikirnya. Mbok ya sadar kalau kita ini sudah tua," jawab Pak Hamdad sambil menggeleng tidak habis pikir. Bisa-bisanya wanita yang telah dinikahi tiga puluh lima tahun ini berpikir sejauh itu.Memang benar, peselingkuh pada akhirnya akan dibayangi kecurigaan terhadap pasangannya."Lagi pula Bu Rahma tidak tinggal di vila
"Mas, nanti kalau Mas kembali ke vila, siapa yang akan mengelus pinggangku kalau malam. Padahal sering pegel sekarang."Dev menoleh. Tidak tahu harus menjawab apa. Sekarang Kamalia memang susah tidur sejak kehamilannya makin besar. Selalu mengeluh engap dan baru tertidur setelah pinggangnya diusap-usap. Haruskah ia membatalkan perjalanan ini? Ia juga berpikir, pendapat Mamanya juga benar. Kalau perlu apa-apa lebih mudah tinggal di kota. Jarak ke rumah sakit hanya sepuluh menit naik mobil.Dev menepikan mobilnya jarak beberapa meter dari hutan pinus. Kamalia menatap heran."Ada apa, Mas, kok berhenti?" tanya Kamalia."Kalau Lia ragu sebaiknya kita kembali ke vila saja. Tidak usah lahiran di rumah Mama.""Mama pasti udah nungguin kita sekarang.""Mas yang akan nelepon Mama setelah kita sampai vila nanti. Mas pasti juga tidak akan tenang kalau kamu di sana."Hening sejenak. Keduanya sibuk dengan perasaan masing-masing."Kita kembali saja, ya?" ajak Dev sekali lagi."Iya. Aku akan hati-