"Kenapa kamu tidak jujur, telah mengganti bajuku waktu pingsan?" tanya Kamalia setelah keduanya berada di kamar. Devin sudah rebahan dan Kamalia masih duduk di kursi meja rias.
"Karena kamu pasti langsung marah kalau aku jujur. Tidak enak marahan pas kita liburan. Masih pengantin baru pula."
Kamalia berdecak lirik.
"Lagian kamu, 'kan, istriku. Jadi apa salahnya aku yang mengganti bajumu. Coba bayangkan, apa aku harus minta tolong sama karyawati hotel? Sudahlah, tidak perlu di bahas lagi. Ayo, tidur!"
Kamalia berdiri, kemudian mendekati jendela. Menyingkap sedikit gorden dan melihat ke luar. Suasana gelap karena lampu jalan depan vila mati beberapa biji dan gerimis turun pula malam itu.
"Kenapa tadi siang langsung main pulang saja waktu ngantar makan siang?" Devin melanjutkan tanya sambil duduk.
"Aku tidak enak jika mengganggu kalian. Ada w
Kamalia menunjukkan wajah cerah saat sarapan dengan mamanya, apalagi saat berbincang. Namun, tatapannya datar ketika memandang Devin.Untungnya Ben belum bangun, jadi selamatlah mereka dari adiknya yang suka usil.Bu Rahma menanyakan kondisi perkebunan, juga rencana Devin yang waktu itu sempat di tawari sebagai pemasok teh di sebuah perusahaan baru. Devin menjabarkan banyak pertimbangan."Mungkin setelah resmi pensiun dua tahun lagi, Mama belum pulang ke sini dulu, Dev. Mama masih tetap ngajar. Lumayan dapat gaji tambahan. Sekalian dampingi adik kamu sampai wisuda.""Mama, tidak capek?""Belum. Nanti Mama akan berhenti kalau sudah bosan. Tinggal sama kalian di sini sambil momong cucu."Devin memandang Kamalia yang menunduk menikmati sarapannya."Iya. Tapi Mama jangan memaksakan diri juga. Ngukur kemampuan dan ingat usia, Ma.
"Aku akan ke luar kota pagi ini, mungkin menginap dua malam. Ada kerjaan dan ketemuan sama teman. Siapkan bajuku." Devin berkata setelah mereka selesai sarapan.Kamalia mengangguk. "Iya."Mereka menaiki tangga untuk sama-sama menuju kamar.Kamalia mengeluarkan tas ukuran kecil, lantas menyiapkan pakaian. Tidak lupa pouch kecil diisi, sisir, minyak wangi, sikat gigi, pasta gigi, dan sabun cair.Dengan santainya Devin berganti baju di hadapan Kamalia. Membuat wanita itu memalingkan wajahnya. Kaos kerah warna navy, celana jeans hitam telah rapi dipakai. Tidak lupa jam tangan Casio melingkar di pergelangan tangannya.Kehidupan mereka dijalani seperti semula. Seminggu setelah malam pertama dilalui Devin lebih banyak menghabiskan malamnya di ruang kerja. Demi menjaga dirinya tetap waras saat has***nya sebagai pria dewasa menuntut untuk dituntaskan.
Rumah Yaksa sangat besar dengan beberapa kamar dan ruangan. Pekarangannya juga sangat luas. Istrinya tidak suka rumah tingkat, jadi rumah diperluas saja.Wanita yang sedang hamil enam bulan itu sangat ramah dan baik. Devin sangat menyayangkan kalau Yaksa telah menduakannya."Istrimu mirip banget sama kakaknya. Pantesan enggak dapat kakak, adek pun jadi."Devin tidak menanggapi ucapan temannya, ia malah menoleh kepada istrinya yang sedang ngobrol dengan istri Yaksa di karpet tidak jauh darinya. Yakin kalau Kamalia pasti mendengar ucapan tadi.Jam sembilan malam Devin mengajak Kamalia kembali ke hotel."Kawan-kawanmu sudah tahu tentang Mbak Eva. Seperti apa hubungan kalian dulu?" tanya Kamalia setelah selesai salat Isya dan mengganti bajunya dengan piyama."Seperti yang kamu tahu saja dan aku tidak ingin membahasnya."Se
"Kenapa nikah enggak mau bilang-bilang," kata seorang teman pria."Biar dikira masih jomlo, Bro." Goda teman yang lain."Biar masih bisa lirak-lirik cewek," sahut yang satunya pula."Kupikir saat loe ngelanjutin S2 ke Australia, pulang bakalan bawa bini bule," seloroh teman yang lain."Bulepotan."Tawa pecah seketika. Devin hanya menggelengkan kepala. Memandang Kamalia yang menunduk di sebelah istrinya Yaksa."Ceritanya ini sekalian honeymoon ya?"tanya seorang teman perempuan."Iyalah, masih anget-angetnya ini," jawab Yaksa."Kalian ini nggak bisa jaga perasaan banget, sih. Ada istrinya ini lho," tegur Era."Sorry, ya, Lia. Teman-teman Dev memang pada gila semua." Adi menimpali.Kamalia menoleh sambil tersenyum hambar. "Enggak apa-apa."
Kamalia kembali mematikan ponselnya. Air mata menganak sungai tidak terbendung. Tubuhnya jatuh pada tempat tidur. Meratapi nasib yang tidak berpihak baik padanya. Andaian demi andaian membuatnya beku.Jam sepuluh malam Kamalia segera bangkit untuk menggosok gigi dan mencuci muka.Tepat setelah selesai salat Isya, pintu kamar terbuka. Devin tersenyum kemudian mengunci kembai pintu.Kamalia segera menutup hidungnya saat mencium aroma al*ohol."Kamu minum, ya?""Tidak.""Bohong, baunya aja menyengat gini.""Aku tidak minum, Lia.""Enggak usah bohong."Devin mendekat, mengangkat dagu istrinya dan mencium bibir bahkan melumatnya kasar. Kamalia mendorong tubuh Devin kuat-kuat, tapi bergerak pun tidak. Akhirnya Devin yang melepaskan."Apaan, sih?" Kamalia mengusap
"Kamu sama siapa?" tanya Eva setelah Kamalia masuk lewat pintu samping yang langsung ke dapur."Ada yang nganter, Mbak."Kamalia duduk di kursi kayu sebelah Kakaknya.Eva tidak bisa melihat ke sebelah utara, karena pintu dapur menghadap ke timur."Kok sepi, Ibu dan Bapak kemana, Mbak?""Masih di sawah. Mungkin sebentar lagi pulang. Mas Ragil juga langsung ke Bimbel.""Aku enggak bisa lama, Mbak. Langsung saja, Mbak mau cerita apa?""Tentang Dev. Mbak takut dia cuman mau mempermainkan kamu saja. Mbak banyak salah sama dia."Eva menarik napas panjang, lantas memegangi perutnya yang sedang hamil empat bulan. Matanya berkaca-kaca."Dulu, Dev sering mengirim uang buat Mbak. Waktu itu dia masih kuliah. Jujur yang kita pakai untuk keperluan sehari-hari waktu itu adalah uang darinya. Hingga
Setelah selesai belanja keperluan rumah, Kamalia dan Sumi makan ice cream di Istana Es. Sebuah kafe di dalam mall yang menyediakan berbagai macam ice cream dan es buah.Mereka mengambil tempat duduk di pojok depan. Sambil memandang lalu lalang pengunjung mall dari dinding kaca."Nanti temani sebentar aku beli baju bayi, ya.""Kamu sudah hamil, Lia?""Aku mau belikan untuk calon keponakanku. Kakakku lagi hamil empat bulan.""Udah tahu jenis kelaminnya laki-laki apa perempuan?"Kamalia menggeleng."Beli nanti saja, kalau udah tahu keponakanmu laki apa perempuan.""Enggak apa-apa, beli sekarang saja. Biar nanti aku pilihkan warna netral."Lagian mumpung ada kesempatan jalan sendiri. Kalau sama Devin, belum tentu ia sempat untuk membeli. Sekalian minta tolong Pak Karyo untuk mengan
Angin malam yang berhembus sepoi membuat suasana makin terasa dingin. Di angkasa bintang bertaburan dengan bulan separuh yang tertutup awan.Devin mematikan rokok di asbak ketika Kamalia menghampiri sambil membawakan segelas jahe hangat dan diletakkan di atas meja balkon."Ini minumnya.""Terima kasih."Kamalia hendak masuk lagi, tapi lengannya di tahan Devin. "Tunggu sebentar," cegahnya."Duduklah dulu, ada yang ingin aku tanyakan."Kamalia duduk di kursi yang berseberangan dengan Devin."Tadi siang mampir ke rumah kakakmu, ya?" tanya Devin pelan dan dingin. Kamalia menghindari tatapan tajam suaminya. Pasti Devin tahu karena tanya ke Pak Karyo. Kalau Sumi tidak mungkin cerita."Ya.""Untuk apa?" Setelah membaca pesan-pesan Eva dan Willy, juga pertemuan tadi siang dengan Ragil membua