Setelah selesai belanja keperluan rumah, Kamalia dan Sumi makan ice cream di Istana Es. Sebuah kafe di dalam mall yang menyediakan berbagai macam ice cream dan es buah.
Mereka mengambil tempat duduk di pojok depan. Sambil memandang lalu lalang pengunjung mall dari dinding kaca.
"Nanti temani sebentar aku beli baju bayi, ya."
"Kamu sudah hamil, Lia?"
"Aku mau belikan untuk calon keponakanku. Kakakku lagi hamil empat bulan."
"Udah tahu jenis kelaminnya laki-laki apa perempuan?"
Kamalia menggeleng.
"Beli nanti saja, kalau udah tahu keponakanmu laki apa perempuan."
"Enggak apa-apa, beli sekarang saja. Biar nanti aku pilihkan warna netral."
Lagian mumpung ada kesempatan jalan sendiri. Kalau sama Devin, belum tentu ia sempat untuk membeli. Sekalian minta tolong Pak Karyo untuk mengan
Angin malam yang berhembus sepoi membuat suasana makin terasa dingin. Di angkasa bintang bertaburan dengan bulan separuh yang tertutup awan.Devin mematikan rokok di asbak ketika Kamalia menghampiri sambil membawakan segelas jahe hangat dan diletakkan di atas meja balkon."Ini minumnya.""Terima kasih."Kamalia hendak masuk lagi, tapi lengannya di tahan Devin. "Tunggu sebentar," cegahnya."Duduklah dulu, ada yang ingin aku tanyakan."Kamalia duduk di kursi yang berseberangan dengan Devin."Tadi siang mampir ke rumah kakakmu, ya?" tanya Devin pelan dan dingin. Kamalia menghindari tatapan tajam suaminya. Pasti Devin tahu karena tanya ke Pak Karyo. Kalau Sumi tidak mungkin cerita."Ya.""Untuk apa?" Setelah membaca pesan-pesan Eva dan Willy, juga pertemuan tadi siang dengan Ragil membua
Kamalia memulai paginya dengan menyiapkan baju ganti Devin untuk pergi dua hari. Biasa pria itu bertanya apakah dia mau ikut apa tidak. Namun sejak usai salat subuh tadi diam saja. Bahkan langsung tidur usai bercinta.Devin masuk kamar sambil membawa laptop dalam tas."Aku turun dulu, akan kusiapkan sarapan," kata Kamalia."Siapkan roti bakar saja biar kumakan sambil jalan. Aku buru-buru karena harus mampir ke Bank.""Iya."Kamalia bergegas turun ke dapur. Membakar empat keping roti, mengolesinya dengan margarin, dan memasukkan ke dalam bekas makan."Apa Tuan tidak sarapan, Lia?" tanya Sumi yang menghampirinya."Tidak. Dia buru-buru mau pergi. Tolong ambilkan tumbler, biar kubikinkan teh untuk dibawa."Sumi menuju rak kaca, mengambil apa yang diminta Kamalia.Devin yang s
Ben melangkah malas sambil menguap dan membuka pintu depan."Hai, sorry ganggu," ucap Devin melenggang masuk rumah."Kenapa telat banget sih, Mas. Katanya siang dah sampe rumah, enggak tahunya sampe jam sebelas malam." Ben mengikuti kakaknya hingga ke ruang makan."Jalanan macet tadi. Malam Minggu, hujan lagi. Apalagi ada kecelakaan beruntun yang bikin macet total."Devin mengambil air hangat di dispenser. Lantas duduk dan minum."Mama enggak bisa pulang. Ada acara di kampus." Ben memberitahu."Iya. Mama sudah telepon aku tadi.""Kenapa enggak ngabari kalau pulang telat. Ditunggu Kamalia sampe ngantuk-ngantuk duduk di sofa. Akhirnya kusuruh tidur di kamar."'Ditunggu? Tidak biasanya Kamalia menunggu. Sama-sama di rumah pun kadang dia tidur duluan.' Ah, ada apa, Lia?
"Lia, ganti bajumu, kita ke kota sekarang. Mungkin kamu ingin beli sesuatu atau makan sesuatu," ajak Dev pada Kamalia yang sedang membaca di balkon kamar."Aku belum ingin beli apa-apa.""Ayo, ikut saja! Besok aku mulai sibuk, mungkin jarang bisa menemani belanja."Devin masuk kembali ke kamar. Mau tak mau Kamalia akhirnya berdiri. Masuk ke ruang baju untuk mengambil pakaian ganti."Pakai gaun saja, Lia. Lagi hamil jangan pakai celana jeans" tegur Dev sambil memakai kaosnya."Celana ini longgar. Nggak apa-apa kupakai dulu.""Ganti aja."Kamalia kembali masuk ke ruang pakaian. Mengganti celana dengan setelan blouse putih dan rok plisket warna hijau lumut sebatas betis.Cuaca cerah saat mereka keluar. Sesekali mobil bersimpangan dengan beberapa petani yang membawa rumput pulang dari ladang.
Sore itu Devin menemani Kamalia duduk di balkon kamar. Sambil memandang kabut yang turun dari pegunungan dan menyebar ke seluruh penjuru perkebunan.Dingin pun mulai terasa. Kamalia mengancingkan sweater warna abu-abu yang dipakainya. Sedangkan Devin memakai hoodie warna biru tua. Cuaca biasanya tidak sedingin ini.Kamalia mendekat ke pagar balkon. Lampu-lampu di gudang sudah dinyalakan. Ia melihat gerobak bakso yang biasa suka datang ke gudang karena di pesan oleh para karyawan."Itu gerobak bakso Pak Anwar, 'kan?" tanya Kamalia kepada Devin.Devin bangkit dan mendekati istrinya."Iya, kamu mau. Biar kutelepon Bik Siti, agar Pak Anwar disuruh kemari.""Iya. Aku mau.""Panggil Mas dulu kalau begitu."Kamalia tersenyum sambil mengernyitkan dahi. Memandang Dev yang lurus melihat ke depan.&nbs
Setelah makan siang, Devin, Adi, Galih, dan Imelda berkumpul di rumah kontrakan mereka. Sambil membahas berbagai perencanaan untuk memulai bisnis."Yakin ini, Yaksa enggak usah diajak? Padahal kita butuh dana lagi ini," tanya Devin."Dianya yang enggak minat. Aku sudah tanya beberapa hari yang lalu. Katanya sudah terlalu banyak yang diurusnya," jawab Galih."Ngurusin sekretarisnya itu mungkin," sahut Adi yang disambut gelak tawa mereka kecuali Devin.Pria itu mengambil rokok milik Adi dan menyalakan."Tumben kehabisan, Bro, biasanya jadi gudang rokok," kata Galih."Ya, lupa beli tadi.""Tumben. Biasanya enggak pernah telat.""Kurangi, Bro. Biar istrimu lekas hamil," kata Galih."Biar enggak impo**n gitu, maksudmu," seloroh Adi.Galih tertawa. Imelda yang si
Kamalia mendesah pelan. Kecewa, beberapa kali telepon Devin tapi tidak dijawab. Apa sesibuk itu hingga tidak sempat mengangkat panggilan? Ponselnya pun tidak mungkin jauh darinya.Diletakkan ponsel di nakas, lantas berdiri dan keluar kamar."Belum tidur?" tanya Sumi saat Kamalia duduk disebelahnya. Ikut nonton TV."Baru jam delapan. Belum ngantuk. Apa Mbok Darmi sudah ke paviliun?""Sudah, baru saja. Aku mau bikin teh, mau dibuatin enggak?""Enggak usah. Aku minum air putih saja.""Bentar aku ambilin."Sumi ke dapur. Dengan cekatan ia membuat segelas teh dan mengambilkan air hangat buat Kamalia. Malam itu, mereka hanya tinggal berdua saja di vila.Baru saja memberikan air putih dan duduk di sofa. Ponselnya di atas meja berbunyi. Sumi segera melihat siapa yang menelepon."Lia, i
Untuk mengisi waktu, Kamalia menyusun baju di ruang pakaian. Melihat koleksi jam tangan milik suaminya yang tersimpan di laci kaca yang tersekat-sekat berbentuk persegi. Jadi satu kotak cukup untuk meletakkan satu arloji.Jam tangan itu masih hidup semua. Bahkan mungkin ada yang jarang di pakai, atau tidak pernah dipakai sama sekali. Ada dua jam tangan couple, dengan tali dari kulit warna coklat dan yang satunya dengan tali stainless steel.Dia beli itu buat siapa?Kamalia mengambil satu jam tangan Rolex Submarine. Diperhatikan dengan seksama. Willy juga memiliki itu. Sama persis. Willy sering memakainya.Puas merapikan area jam tangan. Kamalia ke arah pakaian. Di hanger lemari yang jarang dibuka ada mantel tebal untuk dipakai saat musim dingin. Ada beberapa warna dan model.Di ruangan itu ataupun di ruang kerja yang dibersihkan empat bulan yang lalu tid
Nostalgia (Ending)Susana Bougenvilla sangat meriah dengan kehadiran kerabat dekat Bu Rahma. Dev mengadakan acara aqiqah untuk anak ketiganya.Teman-teman Dev dari kota juga datang bersama istri dan anak-anaknya. Kerabat dari Kamalia juga datang.Suara anak-anak riang berlarian di halaman vila. Cuaca tidak mendung juga tidak panas. Hawa tetap sejuk dan membuat nyaman.Mbak Mita yang menyukai anak-anak lebih telaten menjaga para keponakannya. Terlebih anaknya Ben yang usianya paling kecil, sering ketinggalan kedua sepupunya yang berlarian di taman yang penuh bunga bugenvil yang beraneka warna."Mas, udah punya dua anak cowok, ceweknya masih satu. Mau nambah lagi, nggak?" tanya Era. "Cukup tiga saja. Kasihan Kamalia," jawab Dev sambil tersenyum."Tapi sebenarnya masih mau lagi, kan?" goda Yaksa."Anak kan rezeki. Kalau di kasih lagi ya mau.""Awas aja kalau masih mau tapi bikinnya sama yang lain. Kan katanya kasihan sama Kamalia. Terus nanti bikin pula sama yang lain," seloroh Adi. Memb
Menikahi Pria tak SempurnaSunshine Malam itu Dev dan Kamalia duduk di balkon kamar. Gaffi tidur ikut Mbak Mita dan suaminya, sementara Tisha sudah tidur pulas di ranjang mereka. Gadis kecil itu kelelahan setelah seharian bermain di pantai bersama kakak dan sepupunya."Kenapa tidak bilang sejak kemarin kalau kamu sedang hamil?" tanya Dev sambil merangkul pundak istrinya."Aku juga nggak tahu kalau hamil, Mas. Kemarin aku baru ingat kalau telat datang bulan. Waktu aku cek sudah tampak jelas garis duanya.""Mas bahagia, hanya saja cemas juga tiap kali menjelang persalinan anak-anak kita."Kamalia tersenyum sambil melingkarkan lengan di pinggang suaminya. Di sandarkan kepala di dada bidang Dev. "Yang penting Mas nemani waktu aku lahiran, itu saja sudah jadi mood booster buatku."Dev mengecup kening istrinya. Keduanya menatap langit malam yang bertabur bintang. Di kejauhan terdengar debur ombak pantai yang menghantam batu-batu karang. 🌷🌷🌷Kamalia terbangun tepat jam empat pagi. Yang
"Mas," panggil Amara lirih sambil menggoyangkan tubuh Ben tengah malam itu.Ben menggeliat sejenak sebelum membuka mata dan duduk. "Ya, ada apa.""Perutku tiba-tiba mulas. Di celana dalamku ada sedikit darah."Netra Ben langsung terbuka sempurna, kantuknya seketika hilang. Ia melihat kening Amara yang berpeluh."Tunggu, ya. Aku panggil Mama."Ben melompat dari atas tempat tidur. Ia bergegas untuk membangunkan mamanya.Sejenak kemudian Bu Rahma masuk ke kamar putranya. Sedangkan Ben bersiap mengganti baju dan mengambil tas berisi perlengkapan untuk dibawa ke rumah sakit."Sejak kapan Mara mulai mulas?" tanya Bu Rahma sambil mengusap perut menantunya."Baru saja, Ma.""Ya sudah, jangan panik. Kita ke rumah sakit sekarang. Mama ganti baju dulu. Ben, kamu hubungi Dokter Keni, kalau beliau ada di klinik kita ke klinik saja.""Ya, Ma."Kendaraan sepi di jam satu malam itu. Perjalanan ke rumah sakit jadi cepat dan lancar.Sesampainya di depan ICU, mereka sudah ditunggu dua orang perawat lak
"Ben, makin hari tambah bulat aja," seloroh Kamalia saat melihat adik iparnya masuk ke dapur di rumah mamanya pagi itu.Ben yang baru datang dari rumah mertuanya tersenyum sambil mengusap perutnya yang berisi. "Jadi keenakan makan ngikutin selera makan Amara. Nantilah, sebulan lagi auto diet ketat. Oh, ya, kapan sampai?""Tadi malam jam sepuluh. Habisnya Mas Dev ngajak berangkat udah jam tujuh malam. Kata Mama, kamu dan Amara nginap di rumah mertua.""Iya, Bapak lagi sakit, makanya kami tidur di sana. Tapi sekarang sudah agak baikan. Cuman demam biasa.""Oh, Alhamdulilah.""Kenapa datang dadakan?""Kami dapat undangan pernikahan Imelda. Undangannya pun dadakan, karena mereka juga enggak ngadain pesta. Cuma ijab qobul aja.""Hmm, baguslah. Akhirnya nikah juga. Gaffi dan Thisa mana?""Habis sarapan kembali main di kamar sama papanya. Kalau Mama lagi belanja."Ben mengambil air minum di dispenser, kemudian duduk dan menghabiskan segelas air putih."Mau sarapan, enggak? Tadi Mbok Tini bik
Kehamilan Amara disambut bahagia dua keluarga besar mereka. Nasehat demi nasehat diberikan kepada calon ibu muda itu.Amara sendiri masih tetap kuliah. Tapi dia sudah membatasi diri dengan kegiatan-kegiatan kampus di luar jam kuliah.Kebahagiaan Ben-Amara membuat iri sebagian mahasiswa. Apalagi untuk beberapa mahasiswi yang pernah mengidolakan Ben. "Katanya dulu kamu minum pil, Ra. Kenapa bisa hamil?" tanya Rensi saat mereka duduk di kantin."Iya. Cuman aku minumnya enggak teratur. Soalnya selalu pusing setelah minum pil itu.""Apa enggak kepikiran mau ganti pakai yang lain?""Rencananya mau ganti. Kutunda-tunda akhirnya keburu hamil.""Ya itu rezeki, Ra. Pak Dosen kelihatan bahagia banget gitu."Amara tersenyum sambil mengusap perutnya yang tengah hamil tujuh bulan. Ben memang sebahagia itu, kalau di rumah tak henti-hentinya dia menciumi calon buah hatinya yang masih ada di perut."Setelah kandunganku delapan bulan, aku akan ngambil cuti kuliah, Ren. Sementara aku ngambil cuti satu
Setelah Kamalia beranjak ke belakang membawa mangkuk bekas makan Thisa, Ben berdiri lantas mendekati istrinya. "Ayo, kita ke kota untuk periksa," ajak Ben."Enggak usah, kayaknya aku hanya masuk angin," jawab Amara pelan."Sejak kita menikah, kamu belum haid, 'kan?" Ben jadi mengingat itu. Sebab selama sebulan ini mereka berhubungan tanpa halangan."Selama ini haidku memang enggak teratur." Pria itu mengangguk pelan kemudian kembali berdiri dan melangkah keluar vila. Amara termenung sambil memperhatikan Thisa bermain. Ia jadi teringat pil KB yang diminumnya. Padahal ia meminumnya hampir habis, tapi kenapa ia tidak datang bulan juga?"Ra, sini!" panggil Kamalia setelah turun dari mengambil sesuatu di kamarnya. Amara mendekat, Thisa ditinggal bersama Sawitri."Coba kamu test, kebetulan aku masih punya persediaan test pack."Kamalia memberikan test pack yang masih berbungkus utuh beserta cawan yang biasa dia gunakan untuk menampung urine.Amara memperhatikan cara penggunaannya."Ini
Sabtu pagi Ben dan Amara berangkat ke rumah kedua kakaknya. Pria itu akan mengajak istrinya ke rumah Mita dan sorenya akan ke vila dan menginap di sana.Bu Rahma yang sebenarnya sangat kangen dengan kedua cucunya menolak ikut saat Ben mengajak. Beliau tidak ingin mengganggu kebersamaan pengantin baru. Beliau bisa pergi lain hari."Kita akan sampai berapa jam perjalanan, Mas?" tanya Amara."Kurang lebih dua jam.""Lumayan jauh, ya?""Nanti kalau sudah terbiasa ke sana, dua jam enggak akan lama."Mereka menikmati perjalanan sambil berbincang. Mengenai apa saja. Tentang kampus, saat keduanya dihadapkan sebagai dosen dan mahasiswi. Banyak yang akhirnya tergali tentang diri masing-masing. Jam sembilan mereka sampai di rumah Mita. Kebetulan dokter Nasir juga ada di rumah. Kedua suami istri itu sedang berkebun di pekarangan belakang ketika Ben dan Amara datang.Segera saja Mita belanja dan masak. Rencana awalnya siang nanti mereka akan kulineran ke luar. Berhubung adik dan iparnya datang, w
"Hai, Ben," sapa Nindy sambil tersenyum ramah.Ben makin erat menggenggam tangan istrinya. Ia melangkah mendekat setelah gemuruh di dadanya mereda."Hai, juga.""Ayo, salim sama Om dan Tante." Nindy menyuruh putrinya untuk menyalami Ben dan Amara.Pria itu menunduk ketika tangan kecil terulur. Amara juga melakukan hal yang sama. Senyumnya merekah saat menyentuh pipi tembam anak Nindy. "Siapa namamu, cantik?""Chika, Tante." Ben memandang Nindy. "Umur berapa?""3,5 tahun.""Sebentar lagi masuk PAUD.""Ya.""Kenalin ini Amara, istriku."Nindy terkejut juga, meski tadi sudah mengira kalau wanita berhijab itu kekasih atau istri Ben.Amara menyalami wanita tinggi semampai di depannya. Ia sebenarnya heran karena sejak tadi wanita itu memperhatikannya."Aku Nindy."Amara mengangguk."Kapan menikah? Kenapa enggak ngundang?""Kami menikah Sabtu kemarin. Belum ada pesta, mungkin nanti setelah Amara wisuda.""Wisuda?""Iya, Mbak. Saya masih kuliah semester tiga." Amara yang menjawab.Nindy menj
Amara melipat mukena setelah salat asar berjamaah dengan suaminya dan meletakkan di rak sudut kamar. Kemudian ia duduk di depan meja rias untuk menyisir rambut.Ben mengambil ponsel untuk melihat beberapa pesan masuk.Kamar Ben cukup besar daripada kamar Amara. Ditambah cat warna putih tulang yang menambah kesan luas pada ruangan.Ranjang king size diletakkan mepet ke dinding. Tidak diletakkan tepat di tengah seperti di kamar lainnya. Sepreinya baru dan wangi, warna biru terang dengan bordir bunga di tepinya. "Kapan ujian oral test, Mas?" tanya Amara sambil memandang Ben yang duduk di tepi ranjang."Malam ini kita mulai duluan," jawab Ben santai sambil menatap istrinya.Amara bisa menangkap maksud dari jawaban suaminya dan itu melenceng jauh dari maksud pertanyaan yang sebenarnya.Oral test mewajibkan mahasiswa mengerjakan ujian dengan melakukan tanya jawab langsung dengan dosen.Test itu akan dilakukan secara one by one. Dan ini menjadi ujian yang menegangkan bagi sebagian mahasiswa