Kamalia masih termangu di tengah tangga, tapi lega karena ponselnya tergeletak di meja dan Devin sedang serius nonton pertandingan bola.
'Semoga saja tidak membaca pesan-pesan dari Mbak Eva.'
"Mau kubuatkan minum?" tanya Kamalia setelah berdiri di belakang sofa. Devin menoleh sejenak.
"Boleh."
"Teh atau wedang jahe?"
"Kopi saja."
"Kopi?" Kamalia heran karena Devin tidak suka minum kopi di malam hari.
"Iya, karena aku tidak ingin tidur malam ini."
"Sebentar aku buatkan."
Kamalia ke dapur. Rasa heran menjejali hati, kenapa Devin tidak ingin tidur? Apa dia akan begadang nonton pertandingan bola.
Diambilnya teko untuk merebus air dan menyiapkan cangkir kecil. Sumi mungkin sudah tidur. Biasanya kalau malam-malam terdengar ia di dapur, gadis itu akan
Devin duduk termenung di dekat jendela kantornya. Memandang keluar dengan perasaan ... entah. Peristiwa di kamar tadi menimbulkan denyar yang masih terasakan nyerinya. Ditolak saat jiwanya telah membara dan garang.Pantang baginya menunjukkan kekalahan. Dia punya ego yang tidak bisa direndahkan. Kamalia harus membayar mahal, apa yang dilakukan tadi.'Lihat nanti, Kamalia.'"Dev," panggil Tony dari ambang pintu."Ya, ada apa?""Tuh, diluar ada Imelda. Dia nyetir sendirian kesini.""Untuk apa?" tanya Devin heran sambil berdiri."Keluar dan temui dia. Kusuruh masuk enggak mau. Kayaknya frustasi banget."Devin melangkah cepat ke halaman. Imelda yang berdiri di samping mobilnya segera berlari dan memeluknya. Wanita itu terisak di pundak Devin."Ayo, masuk. Tidak enak dil
"Kenapa kamu tidak jujur, telah mengganti bajuku waktu pingsan?" tanya Kamalia setelah keduanya berada di kamar. Devin sudah rebahan dan Kamalia masih duduk di kursi meja rias."Karena kamu pasti langsung marah kalau aku jujur. Tidak enak marahan pas kita liburan. Masih pengantin baru pula."Kamalia berdecak lirik."Lagian kamu, 'kan, istriku. Jadi apa salahnya aku yang mengganti bajumu. Coba bayangkan, apa aku harus minta tolong sama karyawati hotel? Sudahlah, tidak perlu di bahas lagi. Ayo, tidur!"Kamalia berdiri, kemudian mendekati jendela. Menyingkap sedikit gorden dan melihat ke luar. Suasana gelap karena lampu jalan depan vila mati beberapa biji dan gerimis turun pula malam itu."Kenapa tadi siang langsung main pulang saja waktu ngantar makan siang?" Devin melanjutkan tanya sambil duduk."Aku tidak enak jika mengganggu kalian. Ada w
Kamalia menunjukkan wajah cerah saat sarapan dengan mamanya, apalagi saat berbincang. Namun, tatapannya datar ketika memandang Devin.Untungnya Ben belum bangun, jadi selamatlah mereka dari adiknya yang suka usil.Bu Rahma menanyakan kondisi perkebunan, juga rencana Devin yang waktu itu sempat di tawari sebagai pemasok teh di sebuah perusahaan baru. Devin menjabarkan banyak pertimbangan."Mungkin setelah resmi pensiun dua tahun lagi, Mama belum pulang ke sini dulu, Dev. Mama masih tetap ngajar. Lumayan dapat gaji tambahan. Sekalian dampingi adik kamu sampai wisuda.""Mama, tidak capek?""Belum. Nanti Mama akan berhenti kalau sudah bosan. Tinggal sama kalian di sini sambil momong cucu."Devin memandang Kamalia yang menunduk menikmati sarapannya."Iya. Tapi Mama jangan memaksakan diri juga. Ngukur kemampuan dan ingat usia, Ma.
"Aku akan ke luar kota pagi ini, mungkin menginap dua malam. Ada kerjaan dan ketemuan sama teman. Siapkan bajuku." Devin berkata setelah mereka selesai sarapan.Kamalia mengangguk. "Iya."Mereka menaiki tangga untuk sama-sama menuju kamar.Kamalia mengeluarkan tas ukuran kecil, lantas menyiapkan pakaian. Tidak lupa pouch kecil diisi, sisir, minyak wangi, sikat gigi, pasta gigi, dan sabun cair.Dengan santainya Devin berganti baju di hadapan Kamalia. Membuat wanita itu memalingkan wajahnya. Kaos kerah warna navy, celana jeans hitam telah rapi dipakai. Tidak lupa jam tangan Casio melingkar di pergelangan tangannya.Kehidupan mereka dijalani seperti semula. Seminggu setelah malam pertama dilalui Devin lebih banyak menghabiskan malamnya di ruang kerja. Demi menjaga dirinya tetap waras saat has***nya sebagai pria dewasa menuntut untuk dituntaskan.
Rumah Yaksa sangat besar dengan beberapa kamar dan ruangan. Pekarangannya juga sangat luas. Istrinya tidak suka rumah tingkat, jadi rumah diperluas saja.Wanita yang sedang hamil enam bulan itu sangat ramah dan baik. Devin sangat menyayangkan kalau Yaksa telah menduakannya."Istrimu mirip banget sama kakaknya. Pantesan enggak dapat kakak, adek pun jadi."Devin tidak menanggapi ucapan temannya, ia malah menoleh kepada istrinya yang sedang ngobrol dengan istri Yaksa di karpet tidak jauh darinya. Yakin kalau Kamalia pasti mendengar ucapan tadi.Jam sembilan malam Devin mengajak Kamalia kembali ke hotel."Kawan-kawanmu sudah tahu tentang Mbak Eva. Seperti apa hubungan kalian dulu?" tanya Kamalia setelah selesai salat Isya dan mengganti bajunya dengan piyama."Seperti yang kamu tahu saja dan aku tidak ingin membahasnya."Se
"Kenapa nikah enggak mau bilang-bilang," kata seorang teman pria."Biar dikira masih jomlo, Bro." Goda teman yang lain."Biar masih bisa lirak-lirik cewek," sahut yang satunya pula."Kupikir saat loe ngelanjutin S2 ke Australia, pulang bakalan bawa bini bule," seloroh teman yang lain."Bulepotan."Tawa pecah seketika. Devin hanya menggelengkan kepala. Memandang Kamalia yang menunduk di sebelah istrinya Yaksa."Ceritanya ini sekalian honeymoon ya?"tanya seorang teman perempuan."Iyalah, masih anget-angetnya ini," jawab Yaksa."Kalian ini nggak bisa jaga perasaan banget, sih. Ada istrinya ini lho," tegur Era."Sorry, ya, Lia. Teman-teman Dev memang pada gila semua." Adi menimpali.Kamalia menoleh sambil tersenyum hambar. "Enggak apa-apa."
Kamalia kembali mematikan ponselnya. Air mata menganak sungai tidak terbendung. Tubuhnya jatuh pada tempat tidur. Meratapi nasib yang tidak berpihak baik padanya. Andaian demi andaian membuatnya beku.Jam sepuluh malam Kamalia segera bangkit untuk menggosok gigi dan mencuci muka.Tepat setelah selesai salat Isya, pintu kamar terbuka. Devin tersenyum kemudian mengunci kembai pintu.Kamalia segera menutup hidungnya saat mencium aroma al*ohol."Kamu minum, ya?""Tidak.""Bohong, baunya aja menyengat gini.""Aku tidak minum, Lia.""Enggak usah bohong."Devin mendekat, mengangkat dagu istrinya dan mencium bibir bahkan melumatnya kasar. Kamalia mendorong tubuh Devin kuat-kuat, tapi bergerak pun tidak. Akhirnya Devin yang melepaskan."Apaan, sih?" Kamalia mengusap
"Kamu sama siapa?" tanya Eva setelah Kamalia masuk lewat pintu samping yang langsung ke dapur."Ada yang nganter, Mbak."Kamalia duduk di kursi kayu sebelah Kakaknya.Eva tidak bisa melihat ke sebelah utara, karena pintu dapur menghadap ke timur."Kok sepi, Ibu dan Bapak kemana, Mbak?""Masih di sawah. Mungkin sebentar lagi pulang. Mas Ragil juga langsung ke Bimbel.""Aku enggak bisa lama, Mbak. Langsung saja, Mbak mau cerita apa?""Tentang Dev. Mbak takut dia cuman mau mempermainkan kamu saja. Mbak banyak salah sama dia."Eva menarik napas panjang, lantas memegangi perutnya yang sedang hamil empat bulan. Matanya berkaca-kaca."Dulu, Dev sering mengirim uang buat Mbak. Waktu itu dia masih kuliah. Jujur yang kita pakai untuk keperluan sehari-hari waktu itu adalah uang darinya. Hingga
Nostalgia (Ending)Susana Bougenvilla sangat meriah dengan kehadiran kerabat dekat Bu Rahma. Dev mengadakan acara aqiqah untuk anak ketiganya.Teman-teman Dev dari kota juga datang bersama istri dan anak-anaknya. Kerabat dari Kamalia juga datang.Suara anak-anak riang berlarian di halaman vila. Cuaca tidak mendung juga tidak panas. Hawa tetap sejuk dan membuat nyaman.Mbak Mita yang menyukai anak-anak lebih telaten menjaga para keponakannya. Terlebih anaknya Ben yang usianya paling kecil, sering ketinggalan kedua sepupunya yang berlarian di taman yang penuh bunga bugenvil yang beraneka warna."Mas, udah punya dua anak cowok, ceweknya masih satu. Mau nambah lagi, nggak?" tanya Era. "Cukup tiga saja. Kasihan Kamalia," jawab Dev sambil tersenyum."Tapi sebenarnya masih mau lagi, kan?" goda Yaksa."Anak kan rezeki. Kalau di kasih lagi ya mau.""Awas aja kalau masih mau tapi bikinnya sama yang lain. Kan katanya kasihan sama Kamalia. Terus nanti bikin pula sama yang lain," seloroh Adi. Memb
Menikahi Pria tak SempurnaSunshine Malam itu Dev dan Kamalia duduk di balkon kamar. Gaffi tidur ikut Mbak Mita dan suaminya, sementara Tisha sudah tidur pulas di ranjang mereka. Gadis kecil itu kelelahan setelah seharian bermain di pantai bersama kakak dan sepupunya."Kenapa tidak bilang sejak kemarin kalau kamu sedang hamil?" tanya Dev sambil merangkul pundak istrinya."Aku juga nggak tahu kalau hamil, Mas. Kemarin aku baru ingat kalau telat datang bulan. Waktu aku cek sudah tampak jelas garis duanya.""Mas bahagia, hanya saja cemas juga tiap kali menjelang persalinan anak-anak kita."Kamalia tersenyum sambil melingkarkan lengan di pinggang suaminya. Di sandarkan kepala di dada bidang Dev. "Yang penting Mas nemani waktu aku lahiran, itu saja sudah jadi mood booster buatku."Dev mengecup kening istrinya. Keduanya menatap langit malam yang bertabur bintang. Di kejauhan terdengar debur ombak pantai yang menghantam batu-batu karang. 🌷🌷🌷Kamalia terbangun tepat jam empat pagi. Yang
"Mas," panggil Amara lirih sambil menggoyangkan tubuh Ben tengah malam itu.Ben menggeliat sejenak sebelum membuka mata dan duduk. "Ya, ada apa.""Perutku tiba-tiba mulas. Di celana dalamku ada sedikit darah."Netra Ben langsung terbuka sempurna, kantuknya seketika hilang. Ia melihat kening Amara yang berpeluh."Tunggu, ya. Aku panggil Mama."Ben melompat dari atas tempat tidur. Ia bergegas untuk membangunkan mamanya.Sejenak kemudian Bu Rahma masuk ke kamar putranya. Sedangkan Ben bersiap mengganti baju dan mengambil tas berisi perlengkapan untuk dibawa ke rumah sakit."Sejak kapan Mara mulai mulas?" tanya Bu Rahma sambil mengusap perut menantunya."Baru saja, Ma.""Ya sudah, jangan panik. Kita ke rumah sakit sekarang. Mama ganti baju dulu. Ben, kamu hubungi Dokter Keni, kalau beliau ada di klinik kita ke klinik saja.""Ya, Ma."Kendaraan sepi di jam satu malam itu. Perjalanan ke rumah sakit jadi cepat dan lancar.Sesampainya di depan ICU, mereka sudah ditunggu dua orang perawat lak
"Ben, makin hari tambah bulat aja," seloroh Kamalia saat melihat adik iparnya masuk ke dapur di rumah mamanya pagi itu.Ben yang baru datang dari rumah mertuanya tersenyum sambil mengusap perutnya yang berisi. "Jadi keenakan makan ngikutin selera makan Amara. Nantilah, sebulan lagi auto diet ketat. Oh, ya, kapan sampai?""Tadi malam jam sepuluh. Habisnya Mas Dev ngajak berangkat udah jam tujuh malam. Kata Mama, kamu dan Amara nginap di rumah mertua.""Iya, Bapak lagi sakit, makanya kami tidur di sana. Tapi sekarang sudah agak baikan. Cuman demam biasa.""Oh, Alhamdulilah.""Kenapa datang dadakan?""Kami dapat undangan pernikahan Imelda. Undangannya pun dadakan, karena mereka juga enggak ngadain pesta. Cuma ijab qobul aja.""Hmm, baguslah. Akhirnya nikah juga. Gaffi dan Thisa mana?""Habis sarapan kembali main di kamar sama papanya. Kalau Mama lagi belanja."Ben mengambil air minum di dispenser, kemudian duduk dan menghabiskan segelas air putih."Mau sarapan, enggak? Tadi Mbok Tini bik
Kehamilan Amara disambut bahagia dua keluarga besar mereka. Nasehat demi nasehat diberikan kepada calon ibu muda itu.Amara sendiri masih tetap kuliah. Tapi dia sudah membatasi diri dengan kegiatan-kegiatan kampus di luar jam kuliah.Kebahagiaan Ben-Amara membuat iri sebagian mahasiswa. Apalagi untuk beberapa mahasiswi yang pernah mengidolakan Ben. "Katanya dulu kamu minum pil, Ra. Kenapa bisa hamil?" tanya Rensi saat mereka duduk di kantin."Iya. Cuman aku minumnya enggak teratur. Soalnya selalu pusing setelah minum pil itu.""Apa enggak kepikiran mau ganti pakai yang lain?""Rencananya mau ganti. Kutunda-tunda akhirnya keburu hamil.""Ya itu rezeki, Ra. Pak Dosen kelihatan bahagia banget gitu."Amara tersenyum sambil mengusap perutnya yang tengah hamil tujuh bulan. Ben memang sebahagia itu, kalau di rumah tak henti-hentinya dia menciumi calon buah hatinya yang masih ada di perut."Setelah kandunganku delapan bulan, aku akan ngambil cuti kuliah, Ren. Sementara aku ngambil cuti satu
Setelah Kamalia beranjak ke belakang membawa mangkuk bekas makan Thisa, Ben berdiri lantas mendekati istrinya. "Ayo, kita ke kota untuk periksa," ajak Ben."Enggak usah, kayaknya aku hanya masuk angin," jawab Amara pelan."Sejak kita menikah, kamu belum haid, 'kan?" Ben jadi mengingat itu. Sebab selama sebulan ini mereka berhubungan tanpa halangan."Selama ini haidku memang enggak teratur." Pria itu mengangguk pelan kemudian kembali berdiri dan melangkah keluar vila. Amara termenung sambil memperhatikan Thisa bermain. Ia jadi teringat pil KB yang diminumnya. Padahal ia meminumnya hampir habis, tapi kenapa ia tidak datang bulan juga?"Ra, sini!" panggil Kamalia setelah turun dari mengambil sesuatu di kamarnya. Amara mendekat, Thisa ditinggal bersama Sawitri."Coba kamu test, kebetulan aku masih punya persediaan test pack."Kamalia memberikan test pack yang masih berbungkus utuh beserta cawan yang biasa dia gunakan untuk menampung urine.Amara memperhatikan cara penggunaannya."Ini
Sabtu pagi Ben dan Amara berangkat ke rumah kedua kakaknya. Pria itu akan mengajak istrinya ke rumah Mita dan sorenya akan ke vila dan menginap di sana.Bu Rahma yang sebenarnya sangat kangen dengan kedua cucunya menolak ikut saat Ben mengajak. Beliau tidak ingin mengganggu kebersamaan pengantin baru. Beliau bisa pergi lain hari."Kita akan sampai berapa jam perjalanan, Mas?" tanya Amara."Kurang lebih dua jam.""Lumayan jauh, ya?""Nanti kalau sudah terbiasa ke sana, dua jam enggak akan lama."Mereka menikmati perjalanan sambil berbincang. Mengenai apa saja. Tentang kampus, saat keduanya dihadapkan sebagai dosen dan mahasiswi. Banyak yang akhirnya tergali tentang diri masing-masing. Jam sembilan mereka sampai di rumah Mita. Kebetulan dokter Nasir juga ada di rumah. Kedua suami istri itu sedang berkebun di pekarangan belakang ketika Ben dan Amara datang.Segera saja Mita belanja dan masak. Rencana awalnya siang nanti mereka akan kulineran ke luar. Berhubung adik dan iparnya datang, w
"Hai, Ben," sapa Nindy sambil tersenyum ramah.Ben makin erat menggenggam tangan istrinya. Ia melangkah mendekat setelah gemuruh di dadanya mereda."Hai, juga.""Ayo, salim sama Om dan Tante." Nindy menyuruh putrinya untuk menyalami Ben dan Amara.Pria itu menunduk ketika tangan kecil terulur. Amara juga melakukan hal yang sama. Senyumnya merekah saat menyentuh pipi tembam anak Nindy. "Siapa namamu, cantik?""Chika, Tante." Ben memandang Nindy. "Umur berapa?""3,5 tahun.""Sebentar lagi masuk PAUD.""Ya.""Kenalin ini Amara, istriku."Nindy terkejut juga, meski tadi sudah mengira kalau wanita berhijab itu kekasih atau istri Ben.Amara menyalami wanita tinggi semampai di depannya. Ia sebenarnya heran karena sejak tadi wanita itu memperhatikannya."Aku Nindy."Amara mengangguk."Kapan menikah? Kenapa enggak ngundang?""Kami menikah Sabtu kemarin. Belum ada pesta, mungkin nanti setelah Amara wisuda.""Wisuda?""Iya, Mbak. Saya masih kuliah semester tiga." Amara yang menjawab.Nindy menj
Amara melipat mukena setelah salat asar berjamaah dengan suaminya dan meletakkan di rak sudut kamar. Kemudian ia duduk di depan meja rias untuk menyisir rambut.Ben mengambil ponsel untuk melihat beberapa pesan masuk.Kamar Ben cukup besar daripada kamar Amara. Ditambah cat warna putih tulang yang menambah kesan luas pada ruangan.Ranjang king size diletakkan mepet ke dinding. Tidak diletakkan tepat di tengah seperti di kamar lainnya. Sepreinya baru dan wangi, warna biru terang dengan bordir bunga di tepinya. "Kapan ujian oral test, Mas?" tanya Amara sambil memandang Ben yang duduk di tepi ranjang."Malam ini kita mulai duluan," jawab Ben santai sambil menatap istrinya.Amara bisa menangkap maksud dari jawaban suaminya dan itu melenceng jauh dari maksud pertanyaan yang sebenarnya.Oral test mewajibkan mahasiswa mengerjakan ujian dengan melakukan tanya jawab langsung dengan dosen.Test itu akan dilakukan secara one by one. Dan ini menjadi ujian yang menegangkan bagi sebagian mahasiswa