Sudah aku bilang, kamu bisa mencintaiku kapan saja.
Saat kamu siap, saat kamu sanggup.
Tapi, harusnya kau tak boleh seenaknya. Apalagi meninggalkanku tiba-tiba seperti ini.
(Brian Atmaja)
***
Entah arus sungai yang tak deras, atau memang Tuhan sedang lagi-lagi memberikan keajaibannya.
Hari sudah benar-benar malam. Entah sudah pukul berapa, ketika Athena mencoba menggapai daratan, sementara sang anak sudah tak lagi menangis dalam gendongannya.
Hati Athena menjerit nelangsa.
Ia menginjakkan kakinya di tepian sungai, lalu dalam keremangan cahaya bulan, ia mencoba menatap wajah anaknya. Mengusap wajah mungil yang dingin dan terus saja terlelap itu dengan hati yang berdesir perih.
“Sayang... kamu pasti lagi bobo, kan, nak? Sekarang udah gak apa-apa. Kita udah aman, kamu udah boleh nangis,” lirih Athena pedih.
Ia mencoba menenangkan dirinya. Mencoba tetap berpikir bahwa Valerie tentu saja tidak apa-apa
“Aku baru saja akan membawa mereka ke rumah baruku, Ismail. Aku sudah berniat akan bahagiakan mereka, tapi tenyata rencana hanya tinggal rencana,” gumam Brian sedih.Dengan pakaian serba hitam, Brian menatap nanar sungai yang diduga jadi tempat Athena menceburkan dirinya. Itu sungai yang sangat jauh dari rumah, sepertinya Adnan memang berniat memberikan Athena pada Bima.Brian mengepalkan tangannya kuat-kuat saat mengingat tentang fakta itu.Polisi ada di bawah sana. Sibuk menyelam ke dalam sungai untuk mencari Athena, tapi yang bisa mereka temukan hanya ponsel dan sebelah sandal Athena yang tenggelam di ke dasar sungai yang tidak terlalu dalam itu, sementara yang sebelah lagi ditemukan di tengah hutan.“Tuan sudah jadi suami dan ayah yang terbaik. Saya menyesal karena tidak bisa datang lebih cepat untuk menjemput nona Athena,” ujar Ismail menimpali dengan penuh rasa sesal yang mendalam.Ismail juga ikut beduka. Walau mungki
Mansion mewah yang justru terlihat seperti kastil itu berdiri megah di tengah-tengah hutan. Tak ada pemukiman. Mansion megah itu jadi satu-satunya bangunan yang didirikan di pegunungan.“Kamu sedang apa?” suara bariton itu tiba-tiba menyapa, membuat Athena sempat berjengit terkejut lalu menoleh untuk sekadar mendapati pria asing yang sudah menolongnya itu tengah berdiri di belakangnya dengan kedua tangan yang disilangkan di dada.“Maaf, pak. Saya gak bisa ngasih timbal balik atas kebaikaan anda, jadi saya pikir saya harus beres-beres rumah,” kata Athena seraya membersihkan tangannya dari busa sabun cuci piring.“Kamu baru diobati dan luka di perutmu juga baru dijahit lagi, harusnya banyak istirahat, bukan malah banyak gerak kayak gini. Sana kembali ke kamarmu,” tegasnya pada Athena.“Iya,” jawab Athena pelan.Kemudian, Athena pun memilih menuruti perintah pria itu dan pergi menuju kamar tamu yang suda
Semua pakaian pemberian Andreas untuk Athena dan Valerie itu pun dikemas oleh pelayan Andreas ke dalam satu koper besar.“Pergi dari rumahku, Athena,” usir Andreas seraya melempar koper itu tepat di depan mata Athena.“Dokter Andreas....” Athena berucap lirih. Ia menatap kopernya dengan hati nelangsa.“Jangan buat ekspresi kayak gitu, Athena. Jangan bersikap seolah kamu menderita, karena aku gak merasa iba sama sekali. Kamu berasal dari keluarga konglomerat, apa lagi yang kurang?”“Anda gak tahu apapun, dokter. Anda gak bisa menganggap saya kayak gitu,” sergah Athena menampik ini Andreas tentang dirinya.“Kamu udah hidup enak jadi orang kaya. Cepat pulang. Jangan mengemis belas kasihan dariku,” sinis Andreas.Ia menyilankan kedua tangannya di dada, dan tatapan dinginnya tetap terhunus pada Athena. Seolah ingin membekukan Athena detik itu juga.“Daripada saya harus
“Jadilah orang dungu, Brian. Jangan tunjukan kepintaran kamu buat membantah Papa. Kamu cukup jadi si dungu yang selalu meng-iyakan semua perintah Papa, maka Papa pun gak akan ganggu siapapun dan apapun yang kamu lindungi,” pinta Adnan, yang justru terdengar seperti sebuah ancaman.Brian diam.Semua kalimat yang diucapkan oleh Adnan itu hanya masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri tanpa benar-benar melekat di hatinya. Walau kenyataannya, Brian Sendiri pun tak menolak permintaan itu.“Jawab ucapan Papa, Brian,” tegur Adnan dengan suara yang terdengar tenang.“Hm,” gumam Brian sebagai jawabannya.Dengan ogah-ogahan, Brian menyatap sarapannya. Kalau saja ia tidak berpikir kalau tubuhnya perlu asupan energi agar bisa pergi bekerja, dan agar kondisi tubuhnya pun prima, ia tak ingin memakan sarapannya lagi.“Sayang,” panggil Sandra memecah keheningan yang sebelumnya sempat melingkupi suas
"Mona ada di ruang tamu sama Mama tiri kamu. Sana, ajak dia berkeliling," kata Adnan memerintah. Ia bahkan tak tanggung-tanggung langsung mendatangi Brian di kamarnya, tanpa permisi.Brian menoleh sesaat, membetulkan kacamatanya yang sedikit merosot ke pangkal hidungnya, lalu kemudian kembali memfokuskan pandangannya pada laptopnya. Dengan terang-terangan ia mengabaikan Adnan."Brian...." Suara Adnan menegur sikap diam Brian.“Apa?” sahut Brian yang dengan malas menoleh memandang Adnan yang berdiri menjulang di ambang pintu.“Kamu gak denger? Ada Mona di bawah. Sana, ajak ngobrol dan ajak keliling. Kalian harus saling mengenal dulu sebelum menikah,” ulangnya terdengar jengkel.“Aku lagi kerja. Banyak pekerjaan yang belum selesai,” tolak Brian secara halus.Yang benar, saja. Brian malas kalau harus menemui perempuan yang tak lain adalah keponakan Sandra itu.Persetan dengan pernyataan ‘Sa
Setelah pertemuan pertamanya dengan Mona, penikahan pun dilaksanakan sebulan kemudian.Ballroom hotel bintang lima itu pun disulap jadi begitu megah dengan dekorasi perpaduan dengan warna soft pink dan silver.Gaun pengantin yang dikenakan oleh Mona pun rancangan designer ternama, bertaburkan swarovski kualitas premium.Tamu undangan bahkan lebih dari seribu orang. Tak habis-habisnya Mona terlihat tersenyum bahagia menangapi uluran tangan juga ucapan selamat dari satu persatu tamu, berbeda dengan Brian yang sedari tadi hanya terpaksa menyinggingkan senyumanya."Brian... aku bahagia banget," ucap Mona tersenyum ceria seraya memeluk mesra lengan Brian. "Makasih banyak ya," tambahnya.'Tapi, aku gak bahagia'Ingin sekali Brian mengatakan kalimat seperti itu, tapi ia tak bisa."Iya, aku juga."Pada akhirnya hanya itu kalimat yang mulut Brian katakan. Tanpa perasaan apapun. Hambar.Brian memaksakan senyumnya, mulai berp
“Athena, bisakah kamu kemari sebentar?” suara Andreas memanggil memanggil Athena dari ruangan inkubator di mana Valerie dirawat.Mendengar itu, Athena pun bergegas mengambil langkah seribu untuk segera menghampiri Adnreas.“Ada apa? Valerie gak kenapa-kenapa, kan?” cecar Athena panik.Ia membuka pintu ruangan itu dengan kepanikan luar biasa, lalu kemudian ia pun membeku di tempatnya dengan mata yang terpaku pada sosok Andreas yang terlihat tenang menggendong Valerie.“Athena... Valerie udah sehat,” ucap Andreas mengabarkan. Senyuman manis tercipta di wajah tampannya, membuatnya terlihat seperti malaikat.Ia begitu berseri-seri.Athena bergeming untuk sejenak, sementara matanya sudah mulai berkaca-kaca. Beberapa kali ia mengucek matanya untuk sekadar memastikan kalau ia tak salah lihat.Kemudian, dengan langkah gontai, Athena pun menghampiri Andreas seraya mengulurkan tangannya untuk meng
“Kamu mau sampe kapan bikin Papa, malu?” pedas Adnan yang langsung menerobos masuk ke dalam ruang kantor Brian.Dari balik komputernya, Brian hanya menghela napas kasar lalu kemudian mengangkat wajahnya dan menatap malas ke arah Adnan yang berjalan penuh amarah ke arahnya.“Soal apa?” tanya Brian pelan.Sialnya saat itu tubuh Brian masih sangat lemas dan demam tubuhnya masih saja membara, membuatnya merasa panas dingin oleh suhu tubuhnya sendiri.“Tentu aja soal Mona. Orang tuanya itu konglomerat, Brian. Kamu ini apa gak mikir gimana malunya Papa pas orang tuanya Mona dateng ke rumah cuma buat marah karena anaknya dipermalukan sama kamu,” marahnya seraya menatap tajam ke arah Brian.“Ini di kantor, Pa. Seperti yang Papa liat, aku sedang bekerja. Kita bahas hal pribadi aku saat di rumah aja,” tukas Brian datar. Ia bahkan merasa mual sendiri karena harus jadi anak penurut yang harus memang