Mata Cherry penuh kekesalan menatap Mia dan Han. Cemburu itulah yang sebenarnya sedang ia rasakan. 'Han, kamu sungguh keterlaluan. Aku lebih lama mengenalmu tapi sekali pun kamu tidak pernah mengukir senyum untukku. Sedangkan dia? Huh, menyebalkan sekali,' batin Cherry.
"Cherry," panggil Roselly membubarkan lamunannya.
"Eh, iya mah?"
"Apa yang sedang kamu pikirkan, mamah memanggil kamu dari tadi malah nggak nyaut."
"Maaf mah. Memangnya ada apa mah?"
"Pergilah membeli makanan, kita semua belum makan. Jangan sampai kita juga ikut sakit saat Zira sadar nanti."
"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanya Cherry. Ia tidak sadar jika ucapannya telah salah."Apa itu benar?" tanya Zira. "Tapi bagaimana itu bisa terjadi. Aku, ahh." Zira kembali meringis kesakitan dan memegangi kepalanya."Sayang," ucap Steve. Ia langsung menggenggam tangan Zira. "Kita sudah menikah dan kita baru kehilangan calon anak pertama kita." Ucapan yang begitu saja lolos dari bibir Steve membuat Zira menatap kearah pria yang saat ini tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca."Kita, menikah?" Seakan tidak percaya, Zira menoleh kearah Mia dan mengharapkan jawaban darinya. Mia satu-satunya orang yang bisa ia percayai saat ini. Mia menganggukkan kepalanya dan Zira pun kembali menoleh kearah Steve, ia menarik tangannya dari genggaman Steve d
"Kenapa kalian semua diam, aku ingin pulang dan bertemu ibu, kenapa dia tidak ada di sini?" ucap Zira kembali."Zira kamu masih sakit, dan harus banyak istirahat. Setelah sembuh kamu pasti akan bertemu dengan ibumu," ucap Roselly."Aku ingin bertemu ibuku.""Sayang, bersabarlah. Percayalah pada kami," ucap Steve. Ia memegang tangan Zira sambil menatapnya."Tuan, aku …," Zira merasa canggung. Dia memang mengenal Steve dan tau persis siapa Steve, namun dia lupa dan belum bisa menerima jika saat ini Steve adalah suaminya."Aku mengerti, tapi aku yakin perlahan kamu akan mengingat tentang hubungan kita."
"Sudah sampai," ucap Han datar."Terimakasih. Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?" ucap Mia dengan tatapan matanya yang mengarah ke depan tanpa menoleh kearah Han."Hemm.""Sepertinya adik bosmu sangat menyukaimu, tapi kenapa kamu terlihat sangat acuh padanya?"Han menoleh ke arah Mia. "Darimana kamu tau dia menyukaiku?"Mia pun menoleh ke arah Han yang menjawab pertanyaannya. "Aku selalu melihat ekspresi wajahnya yang akan langsung berubah masam ketika kamu bersamaku. Aku yakin dia sedang cemburu.""Aku tidak tahu."
Zira menggelengkan kepalanya, dan air matanya mengalir semakin deras, ia kemudian menghamburkan tubuhnya ke Steve. "Terimakasih, aku sangat senang dengan ini semua," ucap Zira dalam pelukan Steve. Mia ikut meneteskan air mata bahagianya. Zira menatap Steve sambil bertanya. "Tapi bagaimana kamu tau jika ini adalah kering aku dan kedua orangtuaku?" Steve hanya tersenyum dan mengarahkannya matanya ke Mia. Zira pun menoleh ke arah mia, ia melepaskannya pelukanku pada Steve dan mendekati Mia. "Maafkan aku sempat marah padamu," ucap Zira. "Kamu memang pantas marah padaku Zira," ucap Mia. Mereka pun akhirnya saling berpelukan. "Sebaiknya kita segera masuk, kasian anak-anak yang sudah menunggumu," ucap Steve. Zira dan Mia pun mengangguk, mereka melangkah masuk kedalam ru
"Sial! apa yang sebenarnya terjadi padaku," gumam Steve sambil memijat pelipisnya. Perlahan tubuhnya terasa panas dan perasaan aneh di hatinya semakin menjadi, dengan langkah gontai ia menuju lift dan memencet tombol menuju sebuah kamar hotel.Steve keluar dari lift dengan perasaan yang semakin menjadi, hasratnya untuk menuntaskan keinginan hatinya tak bisa ditunda lagi, saat ini dia sangat membutuhkan seorang wanita untuk melayaninya.Ia berjalan di lorong kamar hotel dengan debaran jantung yang semakin tak menentu, nafasnya mulai tak beraturan menahan perasaan yang tidak jelas di hatinya.Seorang gadis yang tengah berjalan di lorong hotel melihat Steve yang terlihat sempoyongan, ia pun segera menghampirinya.
Steve membuka matanya, ia meregangkan tubuhnya yang masih tersisa rasa lelah karena aktivitasnya semalam, melihat sekeliling kamarnya yang berantakan dan pakaian yang berceceran di lantai."Heh, gadis itu sudah pergi rupanya, bahkan aku belum melihat jelas wajahnya!" batin Steve. Matanya seketika tertuju pada sebuah tanda merah di kasurnya.Sejenak Steve pun terdiam dalam pikiran yang bergejolak, "Hemmm, apa yang sebenarnya terjadi semalam? kenapa aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri, bahkan aku tidak bisa mengingat jelas semua yang terjadi."Steve mengusap mukanya dan beranjak dari tempat tidurnya hendak ke kamar mandi."Uucch Shit! Apa ini?" pekiknya melihat benda yang membuat telapak kaki
FlashbackSteve seorang CEO dingin dan arogan itu datang dengan gayanya yang cool, wajah yang tampan dan tubuh yang kekar dengan memakai setelan jas hitam yang membuat aura kewibawaannya terpancar jelas hingga setiap wanita yang melihatnya akan tergila-gila.Di sampingnya, Han, sang asisten yang setia menemaninya pun tak kalah menarik, namun di balik pesonanya dia adalah tangan kanan yang tidak diragukan lagi kesetiaannya, kedisiplinan dan kekejamannya pun sudah dikenal di seluruh pelosok negeri."Oh Steve, siapa yang tidak tertarik dengan pria tampan yang sudah termasuk pria muda terkaya di Asia itu, bukankah itu pria sempurna idaman setiap wanita?" tanya seorang wanita pada temannya yang melihat Steve. melintas di depannya.
"Selamat datang Steve, sungguh sebuah kehormatan untukku, kamu bersedia hadir di acara paman yang kecil ini," ucap pria paruh baya menghampiri Steve. Steve menatap datar pria tersebut. "Jika aku tak mengingat paman adalah sahabat papah, mungkin aku tidak akan ada waktu dan tidak bisa menyempatkan untuk datang ke sini," "Paman mengerti hal itu Steve, kamu adalah anak muda yang sukses dan sibuk, mana mungkin akan sempat datang ke acara biasa seperti ini, pasti banyak hal yang lebih penting dari ini bukan?" jawab Hendarto. Steve pun hanya menyunggingkan senyumnya menanggapi ucapannya. "Heh! kalo saja bukan karena investasinya yang cukup besar, aku pun tidak akan sudi berbicara dengan anak ingusan yang sombong ini!" gerutu Hendarto dalam hati.
Zira menggelengkan kepalanya, dan air matanya mengalir semakin deras, ia kemudian menghamburkan tubuhnya ke Steve. "Terimakasih, aku sangat senang dengan ini semua," ucap Zira dalam pelukan Steve. Mia ikut meneteskan air mata bahagianya. Zira menatap Steve sambil bertanya. "Tapi bagaimana kamu tau jika ini adalah kering aku dan kedua orangtuaku?" Steve hanya tersenyum dan mengarahkannya matanya ke Mia. Zira pun menoleh ke arah mia, ia melepaskannya pelukanku pada Steve dan mendekati Mia. "Maafkan aku sempat marah padamu," ucap Zira. "Kamu memang pantas marah padaku Zira," ucap Mia. Mereka pun akhirnya saling berpelukan. "Sebaiknya kita segera masuk, kasian anak-anak yang sudah menunggumu," ucap Steve. Zira dan Mia pun mengangguk, mereka melangkah masuk kedalam ru
"Sudah sampai," ucap Han datar."Terimakasih. Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?" ucap Mia dengan tatapan matanya yang mengarah ke depan tanpa menoleh kearah Han."Hemm.""Sepertinya adik bosmu sangat menyukaimu, tapi kenapa kamu terlihat sangat acuh padanya?"Han menoleh ke arah Mia. "Darimana kamu tau dia menyukaiku?"Mia pun menoleh ke arah Han yang menjawab pertanyaannya. "Aku selalu melihat ekspresi wajahnya yang akan langsung berubah masam ketika kamu bersamaku. Aku yakin dia sedang cemburu.""Aku tidak tahu."
"Kenapa kalian semua diam, aku ingin pulang dan bertemu ibu, kenapa dia tidak ada di sini?" ucap Zira kembali."Zira kamu masih sakit, dan harus banyak istirahat. Setelah sembuh kamu pasti akan bertemu dengan ibumu," ucap Roselly."Aku ingin bertemu ibuku.""Sayang, bersabarlah. Percayalah pada kami," ucap Steve. Ia memegang tangan Zira sambil menatapnya."Tuan, aku …," Zira merasa canggung. Dia memang mengenal Steve dan tau persis siapa Steve, namun dia lupa dan belum bisa menerima jika saat ini Steve adalah suaminya."Aku mengerti, tapi aku yakin perlahan kamu akan mengingat tentang hubungan kita."
"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanya Cherry. Ia tidak sadar jika ucapannya telah salah."Apa itu benar?" tanya Zira. "Tapi bagaimana itu bisa terjadi. Aku, ahh." Zira kembali meringis kesakitan dan memegangi kepalanya."Sayang," ucap Steve. Ia langsung menggenggam tangan Zira. "Kita sudah menikah dan kita baru kehilangan calon anak pertama kita." Ucapan yang begitu saja lolos dari bibir Steve membuat Zira menatap kearah pria yang saat ini tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca."Kita, menikah?" Seakan tidak percaya, Zira menoleh kearah Mia dan mengharapkan jawaban darinya. Mia satu-satunya orang yang bisa ia percayai saat ini. Mia menganggukkan kepalanya dan Zira pun kembali menoleh kearah Steve, ia menarik tangannya dari genggaman Steve d
Mata Cherry penuh kekesalan menatap Mia dan Han. Cemburu itulah yang sebenarnya sedang ia rasakan. 'Han, kamu sungguh keterlaluan. Aku lebih lama mengenalmu tapi sekali pun kamu tidak pernah mengukir senyum untukku. Sedangkan dia? Huh, menyebalkan sekali,' batin Cherry."Cherry," panggil Roselly membubarkan lamunannya."Eh, iya mah?""Apa yang sedang kamu pikirkan, mamah memanggil kamu dari tadi malah nggak nyaut.""Maaf mah. Memangnya ada apa mah?""Pergilah membeli makanan, kita semua belum makan. Jangan sampai kita juga ikut sakit saat Zira sadar nanti."
"Apa kakak baik-baik saja?" tanya Mia membuyarkan lamunan Rian."Aku baik-baik saja.""Nak Rian, aku yakin kamu tahu yang terbaik buat Zira," ucap Roselly."Mungkin aku memang sangat menyayangi Zira, tapi aku juga tidak akan pernah mengambil apa yang sudah menjadi milik orang lain. Hanya saja, aku selalu ingin dia bahagia tanpa ada penderitaan lagi yang ia rasakan. Dan sekarang apa yang harus aku lakukan dengan keadaannya yang seperti ini?"Semuanya terdiam, Roselly pun tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu anaknya sangat mencintai Zira, namun saat ini Zira belum bisa mengingat apa yang terjadi selama ini bersama Steve. Sedangkan orang yang bisa membantunya perlahan mengingat semua kejadian dua
Suara lirih Zira yang menandakan ia sadar membuat semua mata di ruangan tersebut menoleh ke arahnya. "Ibu tolong aku Bu," ucap Zira yang masih memejamkan matanya.Roselly memencet sebuah tombol di dekat ranjang untuk memanggil dokter, ia lalu menggenggam tangan Zira dan mencoba membangunkannya. "Sayang sadarlah, mamah ada di sini.'"Ibu, jangan pergi. Mia kamu dimana?" Zira masih terus memanggil ibunya, dan kali ini nama Mia pun terdengar dalam ucapannya. Di ruangan yang dingin keringat Zira mulai bercucuran. Rasa takut terlihat dari raut wajah dengan mata terpejamnya.Mia segera menggenggam tangan Zira dan berusaha menyadarkan sahabatnya. "Zira, aku di sini. Sadarlah," bisik Mia.Perlahan mata Zir
"Apa maksudmu, ada kemungkinan dia tidak bisa mengingatku?" tanya Steve lirih. Doni menganggukkan kepalanya. "Ya, tapi itu masih kemungkinan." Steve terdiam sejenak, hatinya merasa gelisah setelah mendengar perkataan Doni. Ada rasa takut dihatinya, takut jika saat Zira sadar ia benar-benar sudah melupakan Steve. Rian keluar dari ruangan tersebut di gandeng seorangpun suster. "Kak Rian," ucap Mia menghampiri. "Tolong minta kakak anda istirahat, karena dia menolak untuk istirahat di dalam. Badannya masih terasa lemas karena sudah mendonorkan darah yang cukup lumayan banyak, nanti dokter Doni akan memberitahu resep obat untuk kakak Anda," ucap suster tersebut pada Mia.
"Aahhhh!" Teriak Zira dengan tubuh yang terguling menuruni anak tangga. "Kak Zira," Teriak Cherry yang melihat Zira terjatuh dari tangga. Ia Pun langsung berlari ke arah Zira sambil berteriak histeris. "Kak Steve, kak Zira jatuh!" Semua orang berlarian termasuk Steve dan Han yang bergegas keluar dari ruang kerja saat mendengar teriakan Cherry. Mereka semuanya berlari menuju tangga menghampiri Zira yang sudah tergeletak di ujung tangga tak sadarkan diri dan berlumuran darah. "Zira!" Teriak Steve yang langsung menghampiri tubuh Zira dan langsung menopangnya. "Zira, sadarlah. Aku mohon sadarlah," ucap Steve. Ia terlihat sangat panik saat melihat darah di pelipis Zira yang mengalir deras, dan pendarahan yang begitu parah.