“Enggak usah kuliah, kamu udah Ibu jodohkan sama anak milik perusahaan tempat Ayah kerja!” ucap seorang wanita tiba-tiba membentur fokusnya pada selebaran kertas soal-soal latihan tes masuk perguruan tinggi.
“Maksud Ibu?” tanya Gadis itu memperjelas. Rasa tidak percaya dengan apa yang dilontarkan ibunya, membuat dia merasa salah dengar.
“Ya, kamu mau kamu nikahkan sama anak orang kaya!” kata ibunya tegas.
Deg! Jantungnya memberi sentuhan tak kepalang dengan apa yang diucapkan Yuli–ibunya. Tangan tiba-tiba gemetar, lembaran soal yang melekat manis dalam genggaman ikut berserakan seperti berserakannya perasaannya saat ini. Napasnya kembang kempis, matanya melotot menatap wajah mamanya tajam. Penuh ketidakpercayaan.
“Tapi aku enggak mau, Bu. Aku mau sekolah, aku mau impianku tercapai, aku belum mau nikah, Bu,” pekiknya sambil berdiri. Sungguh sakit luar biasa, baginya ini seperti buruk, dan dia sendiri ingin segera bangun dari mimpi buruk ini.
“Kamu pikir sekolah itu enggak bayar?! Kamu pikir Ibu mau ngorbanin uang yang biasanya dipake makan, jadi biaya sekolah kamu? Kamu pernah mikir, keadaan ekonomi rumah kita sekarang?” bentak Yuli.
“Ini ada orang kaya mau nolongin Bapak kamu, angkat derajat orang tua kamu, biar gak susah terus. Harusnya kamu mikir sampe ke sana! Kalau kamu enggak bisa buat hidup Ibu enak, seenggaknya nurutin Ibu!” tambahnya lagi, membuat kolam di mata gadis itu nyaris tumpah.
Wajah lesu itu menunduk, tak kuasa mendengar bentakan orang yang paling dia cintai dalam hidupnya. Merasa bersalah dan tak berguna benar-benar menyelimuti hati gadis itu. Perasaannya berkecamuk disertai rasa bersalah, karena ketidakmampuan untuk menuruti apa yang ibunya perintahkan.
Rasa ingin segera lari dari hadapan ibu dan meninggalkan seluruh ucap, sudah sangat tak terbendung, tetapi tertahan oleh tuntutan kalau seorang anak tak boleh lari dari ucapan orang tuanya. Tubuh dan perasaannya tertahan di sana, dia memendam amarahnya, tangisannya, dan seluruh rasa yang telah hadir.
“Kamu ngerti, kan, sekarang?” tegas ibunya sambil melangkah ke dapur.
Masuk ke kamar, mengunci pintu, lalu duduk dengan tatapan kosong. Hanum masih meratapi kejadian yang baru saja terjadi. Sesekali dia menampar pipinya keras-keras hanya untuk membuktikan bahwa yang terjadi saat ini adalah mimpi. Namun, tamparan itu nyata terasa sakit dan menjawab bahwa saat ini Hanum sedang tak tertidur.
Setelah meyakinkan semuanya memang nyata, barulah kesadarannya semakin timbul. Kecemasan tiba-tiba datang tanpa permisi dan membayangi seluruh pertanyaan, bagaimana jika benar terjadi?
Sungguh, perasaannya benar-benar tidak baik, dia tidak mau menghadapi situasi yang dia sendiri tak pernah menginginkan itu terjadi. Selama beberapa jam, dia merenung, meratap dalam kesendirian, dan terus berusaha meyakinkan diri, dia tak akan dinikahkan.
Pintu tiba-tiba diketuk dari luar, ketukan yang sopan dan sudah terbayang, bahwa yang datang adalah Yudo–ayahnya. Hanum masih tak bergeming, dia tak peduli dengan siapa yang masuk. Tatapan kosong itu, telah menyelimuti matanya, menghiasi perasaannya yang sedang kacau.
“Han? Kenapa? Udah belajarnya?” tanya Yudo.
“Eh, Ayah udah pulang,” katanya basa-basi, pura-pura baik-baik saja untuk menutupi pemanasan luka yang baru saja terjadi.
“Han,” ujar Yudo pelan.
“Iya, Ayah?”
“Kamu udah tahu semuanya?” tanya Yudo sambil menundukkan pandangannya di hadapan Hanum.
Tak mampu menjawab. Hanum tak memiliki kekuatan untuk berucap, rasa sakit sudah lebih dahulu menghalangi lisannya. Hanum takut tak dapat membendung air mata di depan ayahnya. Mulut itu masih membisu, sedangkan Yudo menunggu jawaban Hanum.
“Hanum? Jawab aja, kamu udah tahu?”
Duaaar! Perasaan dan air mata gadis mungil yang baru saja melepas seragam SMA itu, sudah tak dapat terbendung mendengar kelembutan ayah saat berbicara. Dia begitu rindu dan butuh rangkulan untuk saat ini. Jatuh ke pelukan ayah dan menangis di sana. Suasana begitu menyakitkan.
“Aku enggak mau dinikahin, Ayah! Aku masih mau sekolah!” ucapku pelan sebagai tanda bahwa dia tak bisa menerima berita yang disampaikan ibunya.
“Maafin Ayah, Hanum! Ini gara-gara Ayah enggak bisa bayar utang, jadi mereka minta kamu jadi istri buat anaknya.”
Rasa sakit macam apa lagi ini, ya Allah! Batin gadis itu berteriak. Dia sangat sayang ayahnya, dia tidak mau mengecewakan ibunya, tetapi dia tidak bisa menerima yang akan terjadi. Hanum segera melepaskan pelukan Yudo, menatapnya tajam, dan terus berusaha meyakinkan diri, pasti ayah bisa melunasi hutang dengan cara lain, tidak harus dipenjara atau pun memberikan anaknya menikah dengan seorang yang meminjam uang ke ayah.
“Ayah enggak boleh dipenjara!” tangisnya kembali pecah.
Yudo tersenyum sambil mengangguk, berpura-pura kuat di depan Hanum, sebelum akhirnya dia meninggalkan putri bungsunya itu di kamar seorang diri.
***
Kembali dengan ketakutan dan berbagai perasaan yang entah apa namanya, yang terus berkecamuk. Sampai-sampai, Hanum tak sadar kalau saat ini perutnya sedang kelaparan, tetapi rasa lapar seolah telah hilang dan hanya memberi bekas sakit di lambungnya.
“Hanuuum, makaaan!” teriak Yuli dari dapur tiba-tiba menepis kesunyian Hanum di kamarnya.
Hanum sangat takut dengan sebuah teriakan, dan kemarahan juga omelan dari ibunya, hingga setelah mendengar suara nyaring dari Yuli, dia segera keluar kamar dan menghampiri ibunya ke dapur, meskipun sebenarnya mengurung diri dan menyepi adalah perkara yang lebih baik dari apa pun untuk saat ini.
Sepiring nasi dan lauknya juga secangkir minum yang telah disajikan Yuli, dan jika melihat hal ini, membuat Hanum merasa jadi anak yang paling beruntung saat anak lain tidak pernah mendapat perhatian dari orang tuanya. Hanum tidak punya celah untuk bisa lari dari permintaan ibunya.
“Hanum, kamu persiapkan diri kamu, ya! Makan yang banyak biar gak sakit! Ibu udah siapin semuanya buat pernikahan kamu.”
“Besok jangan ke mana-mana! Keluarga dari calon suami kamu mau nanya kesiapan kamu. Apa pun yang terjadi kamu harus siap, ingat, jangan kecewakan ibu!”
“Apa enggak kecepatan, Bu?” sergah Yudo.
“Ya, enggaklah, Ayah! Udah, Ayah ikut aja!”
Jiwa Hanum semakin tertekan, dia kehilangan harapannya dan dunia benar-benar akan menyakitinya dengan cara ini. Dia tak kuasa membendung cemasnya. Gadis itu segera kakinya berlari menuju kamar, menahan semburat rasa yang bergejolak.
Menangis tanpa suara adalah hal yang paling menyesakkan dada. Dia merasa dadanya sesak, napasnya cepat karena tak kuasa menahan amarah. Ingin menolak hal yang akan terjadi, tetapi tidak bisa. Bagi Hanum, seorang ibu terlalu baik jika harus dia kecewakan, tetapi ini begitu menyakitkan.
Aku menangis di bawah malam
Dengan rasa sesak yang tak terpendam
Semua yang terjadi adalah kelam
“Ini ya, yang namanya Hanum itu? Cantik sekali!” sapa seorang wanita berusia empat puluh tahun kepada Hanum, saat dia dipaksa ibunya masuk ruang tamu. Nampak, seluruh keluarga dari calon suami Hanum sudah datang untuk menanyakan kesiapan pernikahan anak mereka.“Hai, Hanum!” kata seorang pria muda, hidung bangir, berpengawakan atletik, pria itu bernama Afian, pria yang tak lain adalah calon suami Hanum. Deretan giginya menunjukkan kalau dia adalah pria yang dan sopan, juga menyenangkan. Tentu, ibu Hanum sangat setuju dan merasa cocok Afian akan menjadi suami Hanum.Gadis itu sedikit menyunggingkan senyum, pura-pura baik-baik saja agar tidak kena marah ibunya dan menyembunyikan kebenaran di depan orang-orang kalau dia sedang tidak baik-baik saja.“Hanum, salim, dong!” perintah Yuli sembari menepis tangan Hanum.***Cakap demi cakap telah terlewati untuk membuka inti dari pertemuan kedua keluarga itu. Tak lain adal
Dinding rumah yang kini telah diselimuti dekorasi cantik, telah sempurna memperindah hari kebahagiaan yang seharusnya milik Hanum. Kamarnya kini dihias menjadi surganya para pengantin. Hanum tampil cantik dengan pakaian putih yang membalut tubuhnya.Tanggal yang dijatuhkan telah tiba, ini adalah hari pernikahan Hanum.Wajah yang sebelumnya dibalut luka dan darah, kini tersamarkan oleh warna make-up yang membuatnya semakin cantik. Sayangnya, tidak ada senyum sedikit pun yang terbit. Dia dituntut seseorang untuk mengikuti acara ijab qobul di tempat yang telah disiapkan.“Selamat, ya, Neng! Udah, enggak usah tegang gitu, santai aja,” bisik seorang MUA menggoda Hanum.Hanum hanya menyunggingkan senyum, kemarahannya di hatinya belum juga mereda. Rasa sakit yang teramat dalam yang terjadi pada hari ini, adalah sejarah paling menyakitkan dalam hidupnya.“Hanum, ayo cepat!” perintah Yuli melihat kelambatan Hanum.Dia telah be
Bayang-bayang mengerikan tentang sesuatu yang berhubungan dengan malam pertama, terus terngiang-ngiang di pikiran Hanum. Dia memang masih sendiri di kamar, karena sedari tadi Afian masih sibuk berkenalan dengan keluarga Hanum. Tentu, sebagai pengganti paksaan, malam ini adalah malam yang paling mengerikan bagi dirinya.“Hanum! Nama yang cantik.”“Kenapa harus menangis seperti itu? Kamu enggak suka dinikahin sama saya?”Afian tiba-tiba masuk kamar, menyapa Hanum yang sedang menangis sejadi-jadinya. Dia berjalan mendekati jiwa yang sedang ketakutan itu.“Kamu kenapa tegang banget wajahnya? Aku, kan, udah jadi suami kamu,” ujarnya sedikit menggoda.Gerak-gerik Afian di mata Hanum adalah keasingan, ketika Afian duduk di sampingnya, Hanum malah menjauh beranjak dari tempat tidur. Dia berusaha menghindar dari kewajibannya sebagai seorang istri. Tanpa harus bertanya pun, Afian sudah paham cara Hanum bertingkah laku. Dia
Semua yang terlihat adalah pembaruan. Dunianya umpama perawan–tak pernah tersentuh. Gadis dengan tubuh mungil itu dipaksa siap pergi meninggalkan tempat dan ruang di mana dia dia dilahirkan. Raut muka yang sedih dibalut air mata yang terus mengalir mengiringi langkahnya menuju luar rumah.“Kamu yang betah, ya, di sana!” ujar Yudo sambil mengelus kepala Hanum lembut.Hanum hanya tersenyum keberatan mendengar ucapan ayahnya, menerima dengan sakit adalah kunci jawaban atas kehidupannya saat ini. Dia melanjutkan langkahnya untuk menaiki kendaraan jemputan dari keluarga Afian.Mobil mewah membawa keluarga Hanum menuju rumah Afian, dengan segala perbekalan sembari menyerahkan Hanum sebagai istri Afian. Kerabat yang semalam menginap pun tak ingin ketinggalan supaya bisa ikut mengantarkan Hanum tinggal di rumah keluarga barunya. Semuanya begitu bahagia, tidak peduli dengan perasaan Hanum yang sebenarnya.Hanum duduk di kursi paling belakan