“Ini ya, yang namanya Hanum itu? Cantik sekali!” sapa seorang wanita berusia empat puluh tahun kepada Hanum, saat dia dipaksa ibunya masuk ruang tamu. Nampak, seluruh keluarga dari calon suami Hanum sudah datang untuk menanyakan kesiapan pernikahan anak mereka.
“Hai, Hanum!” kata seorang pria muda, hidung bangir, berpengawakan atletik, pria itu bernama Afian, pria yang tak lain adalah calon suami Hanum. Deretan giginya menunjukkan kalau dia adalah pria yang dan sopan, juga menyenangkan. Tentu, ibu Hanum sangat setuju dan merasa cocok Afian akan menjadi suami Hanum.
Gadis itu sedikit menyunggingkan senyum, pura-pura baik-baik saja agar tidak kena marah ibunya dan menyembunyikan kebenaran di depan orang-orang kalau dia sedang tidak baik-baik saja.
“Hanum, salim, dong!” perintah Yuli sembari menepis tangan Hanum.
***
Cakap demi cakap telah terlewati untuk membuka inti dari pertemuan kedua keluarga itu. Tak lain adalah membicarakan tanggal pernikahan yang tak akan lama lagi terselenggara. Mereka telah sepakat untuk segera menentukan tanggal pernikahan dalam waktu yang tak akan lama lagi. Usia Afian sudah cukup matang untuk menikah.
Di ruang itu, semua begitu bahagia dengan penentuan sebuah tanggal, tetapi tidak untuk sang gadis sebagai pemeran utama dalam wacana pernikahannya. Setelah berlama-lama memasang wajah bahagia, Hanum meninggalkan pertemuan, kembali masuk kamar dengan segunduk perasaan hancur tak tertolong. Seperti hidup dalam ketidakmungkinan. Tidak mungkin, dia akan menikah dalam waktu dekat, pikirnya.
Duaaar! Tangisnya pecah ditelan keadaan. Masih dengan tangis tanpa suara, begitu sesak dan nyeri. Bayangan ucapan tentang tanggal pernikahan yang telah ditempokan begitu terngiang-ngiang di kepalanya.
Aaghrr, ya Allah! teriaknya sambil memukul-mukul kepalanya.
Amarahnya membuncah, tetapi dia tak punya kendali bagaimana bisa selamat dari jalan hidup yang sama sekali bukan keinginannya. Terlalu berat untuk diterima.
***
“Hanum, Hanum baik-baik aja?” tanya Yudo dari balik pintu, setelah acara pertemuan selesai dan keluarga Afian telah pulang.
“Iya, Ayah. Hanum enggak papa, kok,” jawabnya renyah, seolah baik-baik saja.
“Ayah mau ngomong.”
“Eh, jangan sekarang, Ayah, Hanum mau salat dulu.” Lagi, jawabnya berbohong.
Yudo tahu Hanum sedang menyembunyikan luka, makanya tanpa izin dan permisi, dia membuka pintu dan langsung masuk ke kamar anaknya itu. Yudo melihat, rambut yang biasanya tertutup kain, kini tergerai dengan kondisi acak-acakan. Matanya Hanum menampilkan sederet bekas tangisan. Dia sedang duduk di depan jendela sembari memeluk lutut.
“Ya Allah, Nak!” cakap Yudo kaget lihat keadaan Hanum.
Gadis itu tak kalah terkejut dengan kedatangan ayahnya. Wajah murung yang selalu dia sembunyikan, kini tak terhalang oleh apa pun, tidak ada senyuman palsu dan topeng emosi. Seketika, Hanum menundukkan pandangannya, merasa malu karena ketahuan sedang menangis.
“Kenapa Hanum iyakan, tadi?” tanya Yudo dengan hati-hati, langsung pada inti. Dia tahu betul perasaan yang sedang dihadapi anaknya.
“Aku enggak mau ibu kecewa, Yah,” jawabnya sambil meneteskan air mata.
“Aku juga enggak mau Ayah kena resiko.”
Yudo menatap lekat wajah anaknya itu, dia tertegun dengan pengorbanan Hanum untuk ibunya, meski harus tertekan dan hatinya sulit menerima, tetapi Hanum telah melakukan semuanya demi orang tuanya.
“Hanum sebenernya enggak mau, kan? Maafin Ayah, ya, Num!”
“Ayah enggak salah. Eh, Ayah aku mau tidur duluan, ya!”
Yudo keluar kamar, dia tahu Hanum butuh waktu sendiri. Pasrah dan belajar menerima adalah jalan utama, agar dia tetap waras. Berpura-pura tertidur supaya ditinggalkan sendirian, juga pilihan yang tepat untuk Hanum saat ini. Dia menaiki ranjang, merebahkan tubuhnya, dan menutupnya dengan selimut, lalu melakukan ritual membedah air mata sebagai luapan dari rasa kecewa.
Ya Allah! Kenapa harus terjadi! Aku enggak mau, ya Allah! Tolong! Kenapa takdirmu begitu membuat aku sesak, ya Allah, kenapa?! Ish!
Terus saja dia menangis hingga sudut di matanya pun mengering, tak lagi ada air mata. Matanya sampai pegal, tetapi kantuk juga tak kunjung menjemput. Di luar sudah tak ada suara, semua orang sudah berpindah ke alam mimpi mereka, sedangkan Hanum masih terbang dengan segala kekecewaannya.
***
“Bangun! Ini udah pagi!” teriak Yuli sambil membuka tirai kamar Hanum.
“Kamu gimana, sih, Num, udah mau nikah pun, bangun masih siang!” gerutunya lagi.
Dengan perasaan amat menyesal karena bangun kesiangan, Hanum segera meninggalkan ranjangnya dan pergi ke kamar mandi. Di kamar mandi, bukannya segera bersiap untuk melakukan aktivitas seperti biasa, dia malah melamun dengan perasaan gelisahnya. Hanum menyesal karena terbangun dari tidur, dia merasa tenang ketika tertidur.
Untuk apa aku bangun?
Hanum melamun lagi di kamar mandi hingga membuat Yuli sadar, kalau Hanum sudah lebih dari setengah jam di kamar mandi. Kondisi sebelum melakukan pernikahan memang membuat Hanum semakin tertekan. Wajar saja, pernikahan akan diselenggarakan bulan depan, sedangkan bulan depan dia akan mengikuti tes masuk perguruan tinggi.
Karena terlalu lama di kamar mandi, pintu pun digedor-gedor dari luar.
“Hanum, kamu lagi apa, sih? Kok lama?”
“Iya, Bu. Maaf.”
***
Keluar dari kamar, badannya begitu lemas. Semalaman dia tak bisa tidur cepat, matanya baru bisa tertutup setelah azan Subuh berkumandang. Hanum menaiki ranjang kembali, dan kembali meratap. Tiba-tiba ponselnya berdering, notifikasi pesan masuk. Gadis itu membuka isi percakapan yang isinya ....
[Diberitahukan kepada seluruh calon mahasiswa Universitas Brawijaya, diharapkan hari ini untuk datang ke kampus.]
Sederet informasi masuk ke W******p-nya, seluruh tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi semua telah diberitakan di sana. Gadis itu menengadah dengan ambisi untuk sekolah begitu tinggi, dia berpikir bagaimana caranya bisa mengikuti jalan yang telah direncanakan. Perasaan gagal dan frustrasi menyerang jiwanya saat ini.
“Kamu kenapa, Num? Enggak usah mikirin kuliah, Ibu, kan, udah bilang enggak usah kuliah! Gimana, sih, kamu? Buat apa kuliah?!” dengus Yuli tiba-tiba.
Terdiam. Lagi dan lagi Hanum tersakiti, tetapi selalu diam dan memendam apa yang dirasa. Amarah begitu bergemuruh di dadanya yang terlalu sering menyimpan sesak. Dia selalu merasa berdosa ketika harus menjawab omelan seorang ibu, sekalipun omelannya adalah perkara yang menyakitkan.
Sayapnya untuk terbang pun patah seketika, dia segera menutup ponselnya dan membiarkan segunduk informasi dari kampusnya terkubur begitu saja. Semua dirasa percuma, yang diinginkan Yuli sekarang adalah pernikahan Hanum, bukan sekolahnya.
“Kalau orang tua lagi ngomong, tuh, denger!” hardik Yuli sebelum dia pergi ke dapur.
Menetes lagi air matanya. Dadanya masih terasa begitu sesak setiap kali melihat ponsel, dia tahu kabar-kabar kegembiraan tentang impiannya itu ada di sana, tetapi semua itu kini hanya delusi.
***
“Yah, kita harus segera buat persiapan resepsi, nih!”
“Lihat dulu anaknya, mau enggak?”
“Ih, Ayah! Anak itu gimana perintah orang tua aja. Enggak usah neko-neko!”
“Tapi, kan, kita enggak tahu kondisi mentalnya gimana, masih baik-baik aja atau nggak.”
“Udah, deh, aku ibunya. Aku yang tahu kondisi seorang anak. Ayah diem aja, ya.”
Percakapan itu terdengar begitu jelas ke kuping Hanum. Satu lagi yang tidak dia sukai dari orang tuanya, pertengkaran. Tuntutan untuk segera patuh sudah menjadi beban yang tak terelakkan lagi, Hanum harus mau menerimanya meski sakit.
Gadis itu duduk di depan cermin, gejolak amarah tiba-tiba membeludak di tengah pikirannya yang telah lelah. Dia berteriak sambil mengacak-acak barang yang berjajar rapi di meja rias.
Praankk! Kaca pun pecah kena pukulan tangannya, darah mengucur dari tangannya kena pecahan kaca. Seolah tak merasakan rasa sakit, Hanum menjambak rambutnya, dia memotong rambutnya sampai pendek sebagai bentuk luapan emosi. Tangannya kini beralih ke wajah, kuku panjang dan indah itu dia pakai untuk mencakar wajah mulusnya.
Tak ada yang tahu kondisinya saat ini, kamar pun terkunci, sedangkan orang tuanya tidak ada di rumah. Mereka sedang sibuk belanja untuk mengurus apa yang diperlukan di hari pernikahan Hanum.
***
“Ayah, apalagi, ya, yang harus disiapin?” tanya Yuli setelah seluruh daftar belanjaan telah selesai dia siapkan.
“Oh iya, urusan WO dari siapa nanti?” tanyanya lagi penuh semangat.
“Terserah Ibu aja, Ayah ngikut aja,” ujar Yudo. Dia tahu kalau pernikahan anaknya itu atas dasar keterpaksaan, sehingga ada hati yang harus merasakan sakit.
Yuli hanya cemberut melihat respon Yudo yang dingin, tidak seperti dirinya yang begitu bahagia dengan pernikahan Hanum. Dia meninggalkan Yudo di ruang tengah, menuju kamar Hanum.
“Han, tanggal pernikahan kamu dimajuin. Dua Minggu lagi katanya.”
Hanum yang baru saja menyiksa dirinya, tiba-tiba mendengar kabar yang dia anggap lebih dari rasa sakit yang sedang dia rasakan saat ini di tubuhnya. Perasaan takut dan cemas membuatnya tak berani membalikkan badan untuk menghadap ibunya. Dia menjawab dengan anggukkan sebagai tanda iya. Iya yang terpaksa.
Dinding rumah yang kini telah diselimuti dekorasi cantik, telah sempurna memperindah hari kebahagiaan yang seharusnya milik Hanum. Kamarnya kini dihias menjadi surganya para pengantin. Hanum tampil cantik dengan pakaian putih yang membalut tubuhnya.Tanggal yang dijatuhkan telah tiba, ini adalah hari pernikahan Hanum.Wajah yang sebelumnya dibalut luka dan darah, kini tersamarkan oleh warna make-up yang membuatnya semakin cantik. Sayangnya, tidak ada senyum sedikit pun yang terbit. Dia dituntut seseorang untuk mengikuti acara ijab qobul di tempat yang telah disiapkan.“Selamat, ya, Neng! Udah, enggak usah tegang gitu, santai aja,” bisik seorang MUA menggoda Hanum.Hanum hanya menyunggingkan senyum, kemarahannya di hatinya belum juga mereda. Rasa sakit yang teramat dalam yang terjadi pada hari ini, adalah sejarah paling menyakitkan dalam hidupnya.“Hanum, ayo cepat!” perintah Yuli melihat kelambatan Hanum.Dia telah be
Bayang-bayang mengerikan tentang sesuatu yang berhubungan dengan malam pertama, terus terngiang-ngiang di pikiran Hanum. Dia memang masih sendiri di kamar, karena sedari tadi Afian masih sibuk berkenalan dengan keluarga Hanum. Tentu, sebagai pengganti paksaan, malam ini adalah malam yang paling mengerikan bagi dirinya.“Hanum! Nama yang cantik.”“Kenapa harus menangis seperti itu? Kamu enggak suka dinikahin sama saya?”Afian tiba-tiba masuk kamar, menyapa Hanum yang sedang menangis sejadi-jadinya. Dia berjalan mendekati jiwa yang sedang ketakutan itu.“Kamu kenapa tegang banget wajahnya? Aku, kan, udah jadi suami kamu,” ujarnya sedikit menggoda.Gerak-gerik Afian di mata Hanum adalah keasingan, ketika Afian duduk di sampingnya, Hanum malah menjauh beranjak dari tempat tidur. Dia berusaha menghindar dari kewajibannya sebagai seorang istri. Tanpa harus bertanya pun, Afian sudah paham cara Hanum bertingkah laku. Dia
Semua yang terlihat adalah pembaruan. Dunianya umpama perawan–tak pernah tersentuh. Gadis dengan tubuh mungil itu dipaksa siap pergi meninggalkan tempat dan ruang di mana dia dia dilahirkan. Raut muka yang sedih dibalut air mata yang terus mengalir mengiringi langkahnya menuju luar rumah.“Kamu yang betah, ya, di sana!” ujar Yudo sambil mengelus kepala Hanum lembut.Hanum hanya tersenyum keberatan mendengar ucapan ayahnya, menerima dengan sakit adalah kunci jawaban atas kehidupannya saat ini. Dia melanjutkan langkahnya untuk menaiki kendaraan jemputan dari keluarga Afian.Mobil mewah membawa keluarga Hanum menuju rumah Afian, dengan segala perbekalan sembari menyerahkan Hanum sebagai istri Afian. Kerabat yang semalam menginap pun tak ingin ketinggalan supaya bisa ikut mengantarkan Hanum tinggal di rumah keluarga barunya. Semuanya begitu bahagia, tidak peduli dengan perasaan Hanum yang sebenarnya.Hanum duduk di kursi paling belakan
“Enggak usah kuliah, kamu udah Ibu jodohkan sama anak milik perusahaan tempat Ayah kerja!” ucap seorang wanita tiba-tiba membentur fokusnya pada selebaran kertas soal-soal latihan tes masuk perguruan tinggi.“Maksud Ibu?” tanya Gadis itu memperjelas. Rasa tidak percaya dengan apa yang dilontarkan ibunya, membuat dia merasa salah dengar.“Ya, kamu mau kamu nikahkan sama anak orang kaya!” kata ibunya tegas.Deg! Jantungnya memberi sentuhan tak kepalang dengan apa yang diucapkan Yuli–ibunya. Tangan tiba-tiba gemetar, lembaran soal yang melekat manis dalam genggaman ikut berserakan seperti berserakannya perasaannya saat ini. Napasnya kembang kempis, matanya melotot menatap wajah mamanya tajam. Penuh ketidakpercayaan.“Tapi aku enggak mau, Bu. Aku mau sekolah, aku mau impianku tercapai, aku belum mau nikah, Bu,” pekiknya sambil berdiri. Sungguh sakit luar biasa, baginya ini seperti buruk, dan dia sendiri in