Dinding rumah yang kini telah diselimuti dekorasi cantik, telah sempurna memperindah hari kebahagiaan yang seharusnya milik Hanum. Kamarnya kini dihias menjadi surganya para pengantin. Hanum tampil cantik dengan pakaian putih yang membalut tubuhnya.
Tanggal yang dijatuhkan telah tiba, ini adalah hari pernikahan Hanum.
Wajah yang sebelumnya dibalut luka dan darah, kini tersamarkan oleh warna make-up yang membuatnya semakin cantik. Sayangnya, tidak ada senyum sedikit pun yang terbit. Dia dituntut seseorang untuk mengikuti acara ijab qobul di tempat yang telah disiapkan.
“Selamat, ya, Neng! Udah, enggak usah tegang gitu, santai aja,” bisik seorang MUA menggoda Hanum.
Hanum hanya menyunggingkan senyum, kemarahannya di hatinya belum juga mereda. Rasa sakit yang teramat dalam yang terjadi pada hari ini, adalah sejarah paling menyakitkan dalam hidupnya.
“Hanum, ayo cepat!” perintah Yuli melihat kelambatan Hanum.
Dia telah berdiri di depan banyak orang, segunduk tamu saksi dan wali yang siap mengantarkannya menuju pintu pernikahan, telah siap. Seorang pria dengan jas pengantin pun sudah duduk dengan sigap untuk melafalkan kalimat sakral pernikahan. Hanum memandang sekelilingnya, sesekali dia matanya tertuju ke Afian–pria yang tak akan lama lagi menjadi suaminya.
“Neng Hanum sudah siap?” tanya penghulu sesaat setelah Hanum duduk di samping Afian.
Jiwa yang menangis itu membisu.
“Hanum!” bentak Yuli ke kuping Hanum, sebagai perintah agar Hanum segera menjawab pertanyaan penghulu.
Akhirnya, Hanum mengangguk.
“Ya sudah kita mulai ijab qobulnya, ya.”
Dengan penuh khidmat, acara sakral itu dimulai. Yudo belum sempat bicara untuk yang terakhir kalinya sebelum ijab qobul dimulai, dia belum sempat mengarahkan dan meyakinkan Hanum akan pernikahan. Semuanya terjadi begitu instan, Yudo sibuk mengurus keperluan, sedangkan Hanum terus-menerus mengurung diri di kamar. Dia menolak siapa pun menemuinya, sekali lagi yang ingin dia katakan. Sakit, tapi tak mampu tertolak.
***
“Bagaimana para saksi? Sah?
“Sah!”
Serentak kalimat sah mengisi seluruh ruangan. Iringan doa yang dipanjatkan penghulu, untuk kedua mempelai menambah khidmat kesakralan acara itu. Berbeda dengan Hanum, setelah kata sah terucap, bendungan air matanya roboh seketika. Tak ada lagi air mata yang mampu tertahan. Jika diizinkan, dia ingin sekali meninggalkan tempat yang dikerumuni banyak orang itu, kembali mengurung diri di kamar dan berkawan dengan sepi.
Setelah selesai ijab dan sederet keharusan yang mesti dijalani, Hanum dibawa ke tempat di mana dia duduk bersanding dengan seorang pria yang halal bagi dirinya. Di pelaminan, tempat megah dengan corak keindahan yang sempurna. Dua manusia itu duduk di sana dengan masing-masing perasaan yang berbeda.
Afian begitu menikmati harinya. Dia bangga dengan hari yang sedang terjadi ini. Surga dunia telah tergambar di matanya.
“Selamat, ya, Hanum. Enggak nyangka banget kamu nikah cepet, ih!”
“Wah, iya, loh. Aku juga enggak nyangka, kirain kamu mau kuliah dulu.”
Sederet ucapan selamat masuk ke kuping Hanum dari mulut teman-teman sekolahnya. Ucapan selamat yang justru melukai, tetapi dia tahan perasaannya demi menutupi semua yang semestinya tidak terlihat. Semakin melihat teman-temannya, Hanum semakin merasakan sakit.
Selama pesta dilaksanakan, Hanum sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata. Dia hanya tersenyum saat para tamu menyalaminya. Begitu pula kepada Afian, sama sekali tidak ada kalimat pembuka sebagai tanda bahagia, kalau mereka sudah menikah. Sesekali, Afian melihat wajah Hanum yang asli, ketika tamu tidak ada di depannya.
“Kamu kenapa?” tanya Afian.
“Baik-baik aja, kan?”
Hanum menunduk sambil menggelengkan kepala, kejujuran adalah kalimat yang akan menyakiti perasaan orang-orang sekelilingnya, sehingga diam jauh lebih baik.
***
Acara pun selesai. Seluruh tamu sudah meninggalkan acara dan tidak ada lagi yang tersisa. Di rumah pun, hanya ada orang tua Hanum dan beberapa kerabatnya yang menginap, mereka memutuskan untuk tidak dulu pulang karena harus memasak untuk diantarkan ke keluarga Afian sebagai sambung hantar.
“Mbak, Hanum ke mana? Kok, enggak dari tadi enggak keliatan?” tanya Ratmi–bibi Hanum.
“Di kamar mandi dia, kebiasaan kalau udah di kamar mandi, lama banget.”
“Padahal itu pamali, loh, kalau anak perawan mah, suka susah dapet jodoh katanya. Tapi dia, mah, enggak, ya, jodohnya deket. Haha.”
“Itu pun aku yang minta, sebenernya anaknya belum mau nikah.”
“Lah, nikah dipaksa? Gimana sama mental anaknya, Mbak? Aman enggak? Kasian, loh.”
Di dapur pun masih sibuk mengurus makanan, sedangkan Hanum sengaja berlama-lama di sana, kembali gadis itu menyiksa tubuhnya. Bukan hanya wajah yang dicakar dan dipenuhi darah, tetapi tangannya penuh sayatan pisau kecil. Dia terus berusaha mengalihkan sakit hatinya ke sakit yang lain, sebagai pelarian.
Darah mengalir dari tubuhnya yang terluka, bercampur dengan air hingga membuat seisi lantai kamar mandi menjadi merah. Hanum tak sadar dengan apa yang dia lakukan, selama berjam-jam tangannya terus berusaha melukai.
Bayang-bayang mengerikan tentang sesuatu yang berhubungan dengan malam pertama, terus terngiang-ngiang di pikiran Hanum. Dia memang masih sendiri di kamar, karena sedari tadi Afian masih sibuk berkenalan dengan keluarga Hanum. Tentu, sebagai pengganti paksaan, malam ini adalah malam yang paling mengerikan bagi dirinya.“Hanum! Nama yang cantik.”“Kenapa harus menangis seperti itu? Kamu enggak suka dinikahin sama saya?”Afian tiba-tiba masuk kamar, menyapa Hanum yang sedang menangis sejadi-jadinya. Dia berjalan mendekati jiwa yang sedang ketakutan itu.“Kamu kenapa tegang banget wajahnya? Aku, kan, udah jadi suami kamu,” ujarnya sedikit menggoda.Gerak-gerik Afian di mata Hanum adalah keasingan, ketika Afian duduk di sampingnya, Hanum malah menjauh beranjak dari tempat tidur. Dia berusaha menghindar dari kewajibannya sebagai seorang istri. Tanpa harus bertanya pun, Afian sudah paham cara Hanum bertingkah laku. Dia
Semua yang terlihat adalah pembaruan. Dunianya umpama perawan–tak pernah tersentuh. Gadis dengan tubuh mungil itu dipaksa siap pergi meninggalkan tempat dan ruang di mana dia dia dilahirkan. Raut muka yang sedih dibalut air mata yang terus mengalir mengiringi langkahnya menuju luar rumah.“Kamu yang betah, ya, di sana!” ujar Yudo sambil mengelus kepala Hanum lembut.Hanum hanya tersenyum keberatan mendengar ucapan ayahnya, menerima dengan sakit adalah kunci jawaban atas kehidupannya saat ini. Dia melanjutkan langkahnya untuk menaiki kendaraan jemputan dari keluarga Afian.Mobil mewah membawa keluarga Hanum menuju rumah Afian, dengan segala perbekalan sembari menyerahkan Hanum sebagai istri Afian. Kerabat yang semalam menginap pun tak ingin ketinggalan supaya bisa ikut mengantarkan Hanum tinggal di rumah keluarga barunya. Semuanya begitu bahagia, tidak peduli dengan perasaan Hanum yang sebenarnya.Hanum duduk di kursi paling belakan
“Enggak usah kuliah, kamu udah Ibu jodohkan sama anak milik perusahaan tempat Ayah kerja!” ucap seorang wanita tiba-tiba membentur fokusnya pada selebaran kertas soal-soal latihan tes masuk perguruan tinggi.“Maksud Ibu?” tanya Gadis itu memperjelas. Rasa tidak percaya dengan apa yang dilontarkan ibunya, membuat dia merasa salah dengar.“Ya, kamu mau kamu nikahkan sama anak orang kaya!” kata ibunya tegas.Deg! Jantungnya memberi sentuhan tak kepalang dengan apa yang diucapkan Yuli–ibunya. Tangan tiba-tiba gemetar, lembaran soal yang melekat manis dalam genggaman ikut berserakan seperti berserakannya perasaannya saat ini. Napasnya kembang kempis, matanya melotot menatap wajah mamanya tajam. Penuh ketidakpercayaan.“Tapi aku enggak mau, Bu. Aku mau sekolah, aku mau impianku tercapai, aku belum mau nikah, Bu,” pekiknya sambil berdiri. Sungguh sakit luar biasa, baginya ini seperti buruk, dan dia sendiri in
“Ini ya, yang namanya Hanum itu? Cantik sekali!” sapa seorang wanita berusia empat puluh tahun kepada Hanum, saat dia dipaksa ibunya masuk ruang tamu. Nampak, seluruh keluarga dari calon suami Hanum sudah datang untuk menanyakan kesiapan pernikahan anak mereka.“Hai, Hanum!” kata seorang pria muda, hidung bangir, berpengawakan atletik, pria itu bernama Afian, pria yang tak lain adalah calon suami Hanum. Deretan giginya menunjukkan kalau dia adalah pria yang dan sopan, juga menyenangkan. Tentu, ibu Hanum sangat setuju dan merasa cocok Afian akan menjadi suami Hanum.Gadis itu sedikit menyunggingkan senyum, pura-pura baik-baik saja agar tidak kena marah ibunya dan menyembunyikan kebenaran di depan orang-orang kalau dia sedang tidak baik-baik saja.“Hanum, salim, dong!” perintah Yuli sembari menepis tangan Hanum.***Cakap demi cakap telah terlewati untuk membuka inti dari pertemuan kedua keluarga itu. Tak lain adal