Kedatangan kedua manusia yang masih tergolong pengantin baru itu pun disambut senyum semringah. Ibu Mira khususnya. Binar bahagia kentara sekali saat bertemu dengan sang anak. Pun Rara yang memang sejatinya menyimpan rindu sejak lama.Dulu, Rara sangat tidak menyukai ibunya yang suka memerintah, cerewet dan agak diktator. Menikah pun juga karena ingin menghindari rongrongan sang ibu. Ia muak diatur begini begitu makanya pasrah saja saat dinikahkan dengan Gilang. Tapi setelah menikah dan pisah rumah, rasa rindu itu muncul dan berkembang makin besar dari hari ke hari. Ia merindukan sosok ibu yang cerewet itu."Sehat, Nak?" tanya Ibu Mira yang dibalas Rara dengan anggukan. Dibelainya pucuk kepala sang anak, lalu menatap Gilang yang ada di belakang. Rasa haru buatnya terus menitikkan air mata. Saat melihat Rara berhijab ia meyakini kalau keputusan menikahkan Rara dengan Gilang adalah keputusan tepat."Bu, Ibu Mira sehat?" tanya Gilang. Diraihnya tangan Ibu Mira, lalu mencium punggung tang
"T-tapi Nayla ...."Gilang tarik tangan Rara, membuat lisan gadis itu terjeda. Lamat mereka berserobok pandang, tatapan Gilang teduh seperti biasa sedang Rara gusar luar biasa."Ra, dengarkan aku. Aku sampai kapan pun tidak akan mengabulkan permintaan kamu yang satu itu. Dan soal Nayla, aku yakin kamu salah. Dia tidak menyukaiku. Itu hanya kepedulian antar saudara. Tidak lebih. Dan jika benar pun, aku hanya akan memberikan satu jawaban." Gilang menjeda kata lumayan lama. Ia lebih terpesona melihat Rara yang kebingungan seperti itu."Apa jawabannya?" sela Rara, mulai tak sabar."Jawabannya cuma satu. Aku memilih kamu, bukan dia ataupun wanita lain."Sontak Rara melotot, lalu menarik tangannya dari genggaman Gilang. Mendadak hatinya jedag jedug tak karuan."Kamu gila memilih aku ketimbang Nayla yang mencintai kamu. Pikirkan baik-baik, kamu itu bertahan sama aku cuma karena kasihan," balas Rara, kembali ketus nada bicaranya."Ceile pengantin baru. Mesra-mesraan di dalam saja. Jangan di
Pagi yang cerah dimanfaatkan Pak Herlambang dengan baik. Keduanya duduk santai di gazebo taman samping dengan papan catur di tengah-tengah. Mereka bermain sambil bicara santai, topik pembicaraan tidak lain tidak bukan adalah tentang bisnis dan pandangan hidup. Gilang yang memang mengagumi sosok lelaki itu begitu serius mendengarkan."Lang?""Iya, Pa.""Hubunganmu dengan Rara baik-baik saja kan?" tanya Pak Herlambang, melenceng jauh dari obrolan dengan Gilang sebelumnya."Papa tidak ingin ikut campur, Papa cuma mau nanya saja. Syukur-syukur kalau dijawab," lanjut Pak Herlambang lagi.Gilang yang ditanya begitu terdiam sebentar, lalu menelan ludah kasar."Alhamdulillah baik, Pa. Lancar sampai sekarang," jawab lelaki yang usianya baru menginjak angka dua puluh enam itu.Merasa jawaban tidak meyakinkan alis Pak Herlambang pun naik sebelah menyelisik raut muka Gilang. "Kalian bahagia?" tanyanya, terdengar tidak percaya.Gilang sontak kembali menelan ludah. "Iya, Pa. Kami bahagia."Sekonyon
****"Ah, Papa terlalu memuji. Aku tidak sehebat itu. Tapi aku akan tetap melakukan usaha terbaik untuk meluluhkanya. Dia layak dicintai." Gilang tersenyum bangga setelah mengatakan itu."Kamu tau, mata kami kamu hebat, Lang. Belum lama menikah kamu sudah mampu membuatnya mengenakan hijab. Bukankah itu adalah sesuatu yang patut disyukuri?" Senyum Pak Herlambang makin lebar, binar bahagia kentara sekali di manik matanya yang pekat."Papa jangan memuji. Rara begitu karena Allah mengetuk hatinya, bukan aku.""Dan itu lewat kamu."Gilang kembali diam, bingung hendak membalas apa. Kepalanya yang tadi menatap Pak Herlambang ia arahkan ke samping dan agak kikuk saat melihat Rara tengah menatap dengan sorot mata dingin. Gadis itu menatap tak berkedip.Masih segar diingatan Gilang bagaimana Rara meminta cerai dan bagaimana pedasnya Rara menolak cintanya. Tak hanya itu, Rara juga merongrong agar dirinya menikahi Nayla.Menikahi Nayla itu sungguh tidak mungkin. Mustahil. Bagai bisa meninggalkan
"Ra?" Ibu Mira masih cengo. Wanita itu sampai menyentuh telinga takut-takut salah dengar."Kamu bilang apa barusan?" tanya Ibu Mira lagi.Rare membuang napas panjang. "Aku ingin bercerai, Ma. Aku ingin pisah."Mengeras rahang Ibu Mira. Sungguh tak menyangka itu yang Rara katakan saat ia pikir rumah tangga anaknya baik-baik saja."Kenapa mau bercerai?" lanjut Ibu Mira, berusaha tenang meski dalam dada sudah berdentam-dentam tak karuan. Berusaha tenang walau gelombang emosi telah meluluhlantakkan sebagian harapan wanita itu."Aku merasa tidak suka. Aku tidak mencintai dia dan aku rasa pernikahan ini mustahil untuk dilanjutkan. Aku rasa ...."Plak!Rara mengaduh sembari mengusap pundaknya yang baru saja jadi sasaran kemarahan Ibu Mira."Kenapa aku dipikul?" sungutnya dengan wajah meringis menahan sakit."Biar kamu waras! Cerai? Kamu pikir pernikahan ini main-main yang saat ada masalah atau tidak puas dengan pasangan bisa minta putus?" cecar Ibu Mira. Matanya melotot besar seakan bisa kel
Iya, beban. Bagi Ibu Mira Rara adalah seorang anak dan orang tua tidak akan menganggap anaknya beban. Akan tetapi berbeda hal jika Gilang yang berada di posisi itu. Rara dan Gilang tidak mengenal satu sama lain. Waktu mereka tidak cukup untuk saling mengetahui sikap dan sifat masing-masing. Kendati demikian Ibu Mira yakin kalau Gilang akan mampu menjaga anaknya."Ma, rumah tangga ini tidak akan berhasil. Cerai jalan terbaik." Rara mengiba.Ibu Mira memejamkan matanya beberapa detik, setelahnya menatap mata sang anak yang sudah berkaca-kaca. "Apa dia mau menceraikanmu?"Rara menggeleng pelan. "Dia tidak mau dan bersikeras dengan pernikahan ini."Terukir sedikit senyum Ibu Mira. Lega karena paling tidak Gilang masih ingin bertahan dengan pernikahan ini."Kalau begitu bertahanlah." Ibu Mira membelai rambut Rara penuh kasih."Ma?""Kamu tidak bisa meminta cerai dengan alasan itu. Dia itu mencintaimu, buktinya dia bertahan sama kamu."Rara diam, membenarkan kalau Gilang memang mencintainya
Nyatanya mengadu pada orang tua tak memberikan jalan keluar untuk Rara, ia justru didikte begini begitu oleh Ibu Mira. Wanita yang telah melahirkan dirinya itu malah memberikan wejangan panjang lebar agar Rara bisa menerima hati Gilang. Tentu saja obrolan itu hanya para wanita yang tahu, Gilang dan Pak Herlambang juga tetap dengan rahasianya. Mereka sepakat jaga rahasia meski isinya sama. Ibu Mira menguatkan Rara dan Pak Herlambang juga demikian. Mereka ingin rumah tangga Gilang dan Rara langgeng sampai bila-bila."Kalian jadi jalan sore ini?" tanya Ibu Mira. Beliau datang sembari membawa segelas teh hangat mendekat ke arah anak dan menantunya itu. Saat ini mereka tengah berada di teras depan."Jadi, Ma. Ini lagi siap-siap," sahut Gilang yang sedang mengikat tali sepatu Rara.Sementara Rara, hanya diam saja. Masih ngambek pada ibunya itu lantaran keinginannya ditentang."Romantis sekali kalian. Mama jadi pengen muda lagi," oceh Ibu Mira lagi. Ia mengenakan gamis sederhana dan jilbab l
***"Tetap tidak bisa!" Ibu Mira bersikeras, dia menggelengkan kepala dan melihat wajah sang anak yang makin cemberut. "Kamu tidak bisa begitu, kamu harus ikut Gilang pulang karena Mama sama Papa juga mau melakukan perjalanan bisnis besok lusa. Tidak ada siapa-siapa di rumah ini."Rara cengo beberapa detik. "Loh, kenapa mendadak? Perasaan Papa tidak ada membahas ini."Dari dalam keluarlah Pak Herlambang. Beliau yang sedang membawa laptop ditatap sang anak dengan tajam."Kenapa liatin Papa begitu?" tegur Pak Herlambang, alisnya mengernyit."Aku mau nanya, Papa ada perjalanan bisnis?" tanya Rara"Siapa bilang?" Lelaki yang memutih rambutnya itu terlihat jelas kebingungan."Kan kan kan. Mama bohong.""Siapa yang bohong, Ra." Ibu Mira berusaha meyakinkan.Pak Herlambang yang tak tahu menahu dengan itu terdiam sesaat sebelum akhirnya paham saat melihat sang istri melirik."Papa ini lupa apa bagaimana, kan Papa sendiri yang bilang kalau kita harus pergi. Peresmian gedung baru.""Ah iya. Pa