"Ra?" Ibu Mira masih cengo. Wanita itu sampai menyentuh telinga takut-takut salah dengar."Kamu bilang apa barusan?" tanya Ibu Mira lagi.Rare membuang napas panjang. "Aku ingin bercerai, Ma. Aku ingin pisah."Mengeras rahang Ibu Mira. Sungguh tak menyangka itu yang Rara katakan saat ia pikir rumah tangga anaknya baik-baik saja."Kenapa mau bercerai?" lanjut Ibu Mira, berusaha tenang meski dalam dada sudah berdentam-dentam tak karuan. Berusaha tenang walau gelombang emosi telah meluluhlantakkan sebagian harapan wanita itu."Aku merasa tidak suka. Aku tidak mencintai dia dan aku rasa pernikahan ini mustahil untuk dilanjutkan. Aku rasa ...."Plak!Rara mengaduh sembari mengusap pundaknya yang baru saja jadi sasaran kemarahan Ibu Mira."Kenapa aku dipikul?" sungutnya dengan wajah meringis menahan sakit."Biar kamu waras! Cerai? Kamu pikir pernikahan ini main-main yang saat ada masalah atau tidak puas dengan pasangan bisa minta putus?" cecar Ibu Mira. Matanya melotot besar seakan bisa kel
Iya, beban. Bagi Ibu Mira Rara adalah seorang anak dan orang tua tidak akan menganggap anaknya beban. Akan tetapi berbeda hal jika Gilang yang berada di posisi itu. Rara dan Gilang tidak mengenal satu sama lain. Waktu mereka tidak cukup untuk saling mengetahui sikap dan sifat masing-masing. Kendati demikian Ibu Mira yakin kalau Gilang akan mampu menjaga anaknya."Ma, rumah tangga ini tidak akan berhasil. Cerai jalan terbaik." Rara mengiba.Ibu Mira memejamkan matanya beberapa detik, setelahnya menatap mata sang anak yang sudah berkaca-kaca. "Apa dia mau menceraikanmu?"Rara menggeleng pelan. "Dia tidak mau dan bersikeras dengan pernikahan ini."Terukir sedikit senyum Ibu Mira. Lega karena paling tidak Gilang masih ingin bertahan dengan pernikahan ini."Kalau begitu bertahanlah." Ibu Mira membelai rambut Rara penuh kasih."Ma?""Kamu tidak bisa meminta cerai dengan alasan itu. Dia itu mencintaimu, buktinya dia bertahan sama kamu."Rara diam, membenarkan kalau Gilang memang mencintainya
Nyatanya mengadu pada orang tua tak memberikan jalan keluar untuk Rara, ia justru didikte begini begitu oleh Ibu Mira. Wanita yang telah melahirkan dirinya itu malah memberikan wejangan panjang lebar agar Rara bisa menerima hati Gilang. Tentu saja obrolan itu hanya para wanita yang tahu, Gilang dan Pak Herlambang juga tetap dengan rahasianya. Mereka sepakat jaga rahasia meski isinya sama. Ibu Mira menguatkan Rara dan Pak Herlambang juga demikian. Mereka ingin rumah tangga Gilang dan Rara langgeng sampai bila-bila."Kalian jadi jalan sore ini?" tanya Ibu Mira. Beliau datang sembari membawa segelas teh hangat mendekat ke arah anak dan menantunya itu. Saat ini mereka tengah berada di teras depan."Jadi, Ma. Ini lagi siap-siap," sahut Gilang yang sedang mengikat tali sepatu Rara.Sementara Rara, hanya diam saja. Masih ngambek pada ibunya itu lantaran keinginannya ditentang."Romantis sekali kalian. Mama jadi pengen muda lagi," oceh Ibu Mira lagi. Ia mengenakan gamis sederhana dan jilbab l
***"Tetap tidak bisa!" Ibu Mira bersikeras, dia menggelengkan kepala dan melihat wajah sang anak yang makin cemberut. "Kamu tidak bisa begitu, kamu harus ikut Gilang pulang karena Mama sama Papa juga mau melakukan perjalanan bisnis besok lusa. Tidak ada siapa-siapa di rumah ini."Rara cengo beberapa detik. "Loh, kenapa mendadak? Perasaan Papa tidak ada membahas ini."Dari dalam keluarlah Pak Herlambang. Beliau yang sedang membawa laptop ditatap sang anak dengan tajam."Kenapa liatin Papa begitu?" tegur Pak Herlambang, alisnya mengernyit."Aku mau nanya, Papa ada perjalanan bisnis?" tanya Rara"Siapa bilang?" Lelaki yang memutih rambutnya itu terlihat jelas kebingungan."Kan kan kan. Mama bohong.""Siapa yang bohong, Ra." Ibu Mira berusaha meyakinkan.Pak Herlambang yang tak tahu menahu dengan itu terdiam sesaat sebelum akhirnya paham saat melihat sang istri melirik."Papa ini lupa apa bagaimana, kan Papa sendiri yang bilang kalau kita harus pergi. Peresmian gedung baru.""Ah iya. Pa
****Gilang tahu perasaan Rara saat ini pasti sedang kesal. Ah tidak, mungkin kata yang lebih tepat adalah berang. Sejak tadi dada istrinya itu naik turun dengan deru napas yang cepat. Gilang sudah menduga mungkin sebentar lagi Rara akan mengamuk.Namun, wanita yang telah sah menjadi istrinya itu tidak bereaksi sama sekali. Gilang pikir mungkin karena berada di ruang terbuka makanya istrinya itu menahan diri. Bisa jadi lain cerita jika mereka telah tiba di rumah.Diam-diam Gilang memperhatikan dan mengamati. Saat ini yang dilakukan istrinya itu hanya diam, diam yang lumayan lama. Sejak berjumpa dua tetangga julid sampai ke taman nyaris tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir istrinya itu, beda sekali saat mereka keluar pagar tadi. Gilang yakin celotehan dua tetangga tadi menyebabkan sesuatu yang besar bergejolak dalam dada gadis itu. Cuma sedang berusaha untuk menahan saja.Maka dari itu Gilang terus memeras otak, berpikir keras bagaimana caranya mengembalikan mood Rara yang
***"Aku mau pulang!" Rara berseru lantang.Mata Gilang mengerjap."Aku mau pulang ke rumah kamu," lanjut Rara. Gilang masih bingung mencerna."Aku mau pulang sekarang. Malam ini. Aku tidak ingin di sini. Aku tidak sanggup melihat tatapan mencemooh tetangga."Gilang masih diam."Setelah aku pikir rumahmu lebih nyaman dibanding rumah Mama. Aku mau pulang ke rumahmu."Bak bunga di musim semi, bibir Gilang merekah dengan indahnya. Ia bersyukur Rara perlahan menerima dan terbiasa dengannya meski penuh kesederhanaan."Ya sudah, ayo kita pulang. Kita pamit ke Mama dan Papa, baru setelah itu berkemas.""Ya, lebih cepat lebih baik!" dengkus Rara.Gilang tersenyum. Ada rasa bahagia di hati karena tanpa Rara sadari, wanita itu telah menganggap rumah Gilang sebagai rumahnya.Pukul sebelas malam Rara tiba di rumah sederhana Gilang. Rumah sederhana yang entah kenapa memberi sedikit ketenangan untuk gadis itu. Tidak seperti rumah orang tuanya. Di sana ada saja yang berbisik sumbang, entah itu pemban
"Reno?" Gilang berjongkok mensejajarkan diri dengan bocah delapan tahun."Kamu kenapa nangis?" tanya Gilang lagi, tangannya mengusap pipi Reno.Sesenggukan, bocah itu pun mulai bercerita. Tapi bukan dengan lisan karena ia merupakan anak tunawicara. Bocah itu berkomunikasi dengan cara menggerakkan kedua belah tangan sambil sesekali menyentuh wajah. Air matanya tetap berlinang.Rara yang tak paham diam saja, berbeda dengan Gilang yang seketika berubah raut mukanya. Lelaki itu berdiri."Ra, kamu tunggu rumah! Aku harus ke panti sekarang! Bunda jatuh dan pingsan!" serunya.Rara hanya mampu diam melihat Gilang yang kelabakan. Suaminya itu segera ke bufet dan mengambil kunci, setelahnya bergegas ke garasi dan mengeluarkan mobil."Reno. Abang titip Kak Rara, ya. Habis dari rumah sakit nanti Abang ke sini," ucap Gilang sembari menggerakkan kedua belah tangan. Dia kembali berkomunikasi dengan Reno menggunakan bahasa isyarat."Ra, aku tinggal, ya. Nanti aku hubungi. Assalamualaikum."Dalam bebe
****Gilang cuma diam menatap kasihan Bunda pada Alia. Kakinya diperban begitu juga kepala. Tidak ada luka berat, tapi tetap harus dipantau. Dokter menyarankan agar Bunda Alia menjalani rawat inap beberapa hari di rumah sakit lantaran kepala di bagian depan terbentur dan ada beberapa jahitan."Dan kamu Nayla, berhenti menangis. Bunda masih hidup," lanjutnya lagi.Nayla yang berdiri di sudut ruangan pun menghamburkan diri. Sejak tadi ia menahan tangisan dan saat ini tangisan itu pecah. Tak mampu gadis itu menahan sesak. Rasa takut kehilangan buatnya menggila. Ia terus sesenggukan di dada Bunda Alia."Sudahlah, Nay. Kita tidak boleh meratap. Insya Allah Bunda akan baik-baik saja. Iya kan, Bun?" ujar Gilang yang berusaha menenangkan Nayla. Pasalnya di sana tidak hanya ada mereka, ada dua pasien lain lagi. Gilang takut tangis Nayla mengganggu orang lain."Iya, Bunda sudah mendingan. Lebih baik kalian semua pulang. Biar Lastri saja yang menemani Bunda di sini. Ngomong-ngomong di mana Lastr