"Aku ke dapur dulu," ucap Gilang setelah bisa mengikat rambut Rara. Perkataan singkat yang direspon Rara dengan anggukan saja."Aku akan kembali," lanjut Gilang.Hening. Rara hanya duduk diam terpaku di depan cermin sepeninggal Gilang. Dari pantulan cermin ia bisa melihat diri sendiri yang terlihat sangat cantik dengan baju panjang itu. Sekarang baru tahu arti menghargai diri sendiri dan manfaatnya. Dengan tidak mengumbar aurat bisa menjaga diri dari tatapan jahat orang lain. Dengan menjaga aurat kita bisa menjauhkan diri dari siksa api neraka kelak, begitu kata Gilang.Terukir sedikit senyum Rara saat mengingat bagaimana Gilang menceramahinya. Sebenarnya tak hanya tentang aurat, ada beberapa nasihat lagi yang terputar dalam memori seperti kaset. Semuanya terputar jelas, tentang menjawab salam, menjaga pandangan, tentang salat dan lain hal. Ada begitu banyak yang tidak bisa Rara ingat satu-satunya. Gilang terlalu cerewet untuknya yang suka keheningan. Ingatan demi ingatan itu terput
Kedatangan kedua manusia yang masih tergolong pengantin baru itu pun disambut senyum semringah. Ibu Mira khususnya. Binar bahagia kentara sekali saat bertemu dengan sang anak. Pun Rara yang memang sejatinya menyimpan rindu sejak lama.Dulu, Rara sangat tidak menyukai ibunya yang suka memerintah, cerewet dan agak diktator. Menikah pun juga karena ingin menghindari rongrongan sang ibu. Ia muak diatur begini begitu makanya pasrah saja saat dinikahkan dengan Gilang. Tapi setelah menikah dan pisah rumah, rasa rindu itu muncul dan berkembang makin besar dari hari ke hari. Ia merindukan sosok ibu yang cerewet itu."Sehat, Nak?" tanya Ibu Mira yang dibalas Rara dengan anggukan. Dibelainya pucuk kepala sang anak, lalu menatap Gilang yang ada di belakang. Rasa haru buatnya terus menitikkan air mata. Saat melihat Rara berhijab ia meyakini kalau keputusan menikahkan Rara dengan Gilang adalah keputusan tepat."Bu, Ibu Mira sehat?" tanya Gilang. Diraihnya tangan Ibu Mira, lalu mencium punggung tang
"T-tapi Nayla ...."Gilang tarik tangan Rara, membuat lisan gadis itu terjeda. Lamat mereka berserobok pandang, tatapan Gilang teduh seperti biasa sedang Rara gusar luar biasa."Ra, dengarkan aku. Aku sampai kapan pun tidak akan mengabulkan permintaan kamu yang satu itu. Dan soal Nayla, aku yakin kamu salah. Dia tidak menyukaiku. Itu hanya kepedulian antar saudara. Tidak lebih. Dan jika benar pun, aku hanya akan memberikan satu jawaban." Gilang menjeda kata lumayan lama. Ia lebih terpesona melihat Rara yang kebingungan seperti itu."Apa jawabannya?" sela Rara, mulai tak sabar."Jawabannya cuma satu. Aku memilih kamu, bukan dia ataupun wanita lain."Sontak Rara melotot, lalu menarik tangannya dari genggaman Gilang. Mendadak hatinya jedag jedug tak karuan."Kamu gila memilih aku ketimbang Nayla yang mencintai kamu. Pikirkan baik-baik, kamu itu bertahan sama aku cuma karena kasihan," balas Rara, kembali ketus nada bicaranya."Ceile pengantin baru. Mesra-mesraan di dalam saja. Jangan di
Pagi yang cerah dimanfaatkan Pak Herlambang dengan baik. Keduanya duduk santai di gazebo taman samping dengan papan catur di tengah-tengah. Mereka bermain sambil bicara santai, topik pembicaraan tidak lain tidak bukan adalah tentang bisnis dan pandangan hidup. Gilang yang memang mengagumi sosok lelaki itu begitu serius mendengarkan."Lang?""Iya, Pa.""Hubunganmu dengan Rara baik-baik saja kan?" tanya Pak Herlambang, melenceng jauh dari obrolan dengan Gilang sebelumnya."Papa tidak ingin ikut campur, Papa cuma mau nanya saja. Syukur-syukur kalau dijawab," lanjut Pak Herlambang lagi.Gilang yang ditanya begitu terdiam sebentar, lalu menelan ludah kasar."Alhamdulillah baik, Pa. Lancar sampai sekarang," jawab lelaki yang usianya baru menginjak angka dua puluh enam itu.Merasa jawaban tidak meyakinkan alis Pak Herlambang pun naik sebelah menyelisik raut muka Gilang. "Kalian bahagia?" tanyanya, terdengar tidak percaya.Gilang sontak kembali menelan ludah. "Iya, Pa. Kami bahagia."Sekonyon
****"Ah, Papa terlalu memuji. Aku tidak sehebat itu. Tapi aku akan tetap melakukan usaha terbaik untuk meluluhkanya. Dia layak dicintai." Gilang tersenyum bangga setelah mengatakan itu."Kamu tau, mata kami kamu hebat, Lang. Belum lama menikah kamu sudah mampu membuatnya mengenakan hijab. Bukankah itu adalah sesuatu yang patut disyukuri?" Senyum Pak Herlambang makin lebar, binar bahagia kentara sekali di manik matanya yang pekat."Papa jangan memuji. Rara begitu karena Allah mengetuk hatinya, bukan aku.""Dan itu lewat kamu."Gilang kembali diam, bingung hendak membalas apa. Kepalanya yang tadi menatap Pak Herlambang ia arahkan ke samping dan agak kikuk saat melihat Rara tengah menatap dengan sorot mata dingin. Gadis itu menatap tak berkedip.Masih segar diingatan Gilang bagaimana Rara meminta cerai dan bagaimana pedasnya Rara menolak cintanya. Tak hanya itu, Rara juga merongrong agar dirinya menikahi Nayla.Menikahi Nayla itu sungguh tidak mungkin. Mustahil. Bagai bisa meninggalkan
"Ra?" Ibu Mira masih cengo. Wanita itu sampai menyentuh telinga takut-takut salah dengar."Kamu bilang apa barusan?" tanya Ibu Mira lagi.Rare membuang napas panjang. "Aku ingin bercerai, Ma. Aku ingin pisah."Mengeras rahang Ibu Mira. Sungguh tak menyangka itu yang Rara katakan saat ia pikir rumah tangga anaknya baik-baik saja."Kenapa mau bercerai?" lanjut Ibu Mira, berusaha tenang meski dalam dada sudah berdentam-dentam tak karuan. Berusaha tenang walau gelombang emosi telah meluluhlantakkan sebagian harapan wanita itu."Aku merasa tidak suka. Aku tidak mencintai dia dan aku rasa pernikahan ini mustahil untuk dilanjutkan. Aku rasa ...."Plak!Rara mengaduh sembari mengusap pundaknya yang baru saja jadi sasaran kemarahan Ibu Mira."Kenapa aku dipikul?" sungutnya dengan wajah meringis menahan sakit."Biar kamu waras! Cerai? Kamu pikir pernikahan ini main-main yang saat ada masalah atau tidak puas dengan pasangan bisa minta putus?" cecar Ibu Mira. Matanya melotot besar seakan bisa kel
Iya, beban. Bagi Ibu Mira Rara adalah seorang anak dan orang tua tidak akan menganggap anaknya beban. Akan tetapi berbeda hal jika Gilang yang berada di posisi itu. Rara dan Gilang tidak mengenal satu sama lain. Waktu mereka tidak cukup untuk saling mengetahui sikap dan sifat masing-masing. Kendati demikian Ibu Mira yakin kalau Gilang akan mampu menjaga anaknya."Ma, rumah tangga ini tidak akan berhasil. Cerai jalan terbaik." Rara mengiba.Ibu Mira memejamkan matanya beberapa detik, setelahnya menatap mata sang anak yang sudah berkaca-kaca. "Apa dia mau menceraikanmu?"Rara menggeleng pelan. "Dia tidak mau dan bersikeras dengan pernikahan ini."Terukir sedikit senyum Ibu Mira. Lega karena paling tidak Gilang masih ingin bertahan dengan pernikahan ini."Kalau begitu bertahanlah." Ibu Mira membelai rambut Rara penuh kasih."Ma?""Kamu tidak bisa meminta cerai dengan alasan itu. Dia itu mencintaimu, buktinya dia bertahan sama kamu."Rara diam, membenarkan kalau Gilang memang mencintainya
Nyatanya mengadu pada orang tua tak memberikan jalan keluar untuk Rara, ia justru didikte begini begitu oleh Ibu Mira. Wanita yang telah melahirkan dirinya itu malah memberikan wejangan panjang lebar agar Rara bisa menerima hati Gilang. Tentu saja obrolan itu hanya para wanita yang tahu, Gilang dan Pak Herlambang juga tetap dengan rahasianya. Mereka sepakat jaga rahasia meski isinya sama. Ibu Mira menguatkan Rara dan Pak Herlambang juga demikian. Mereka ingin rumah tangga Gilang dan Rara langgeng sampai bila-bila."Kalian jadi jalan sore ini?" tanya Ibu Mira. Beliau datang sembari membawa segelas teh hangat mendekat ke arah anak dan menantunya itu. Saat ini mereka tengah berada di teras depan."Jadi, Ma. Ini lagi siap-siap," sahut Gilang yang sedang mengikat tali sepatu Rara.Sementara Rara, hanya diam saja. Masih ngambek pada ibunya itu lantaran keinginannya ditentang."Romantis sekali kalian. Mama jadi pengen muda lagi," oceh Ibu Mira lagi. Ia mengenakan gamis sederhana dan jilbab l
***Rara terdiam, agak aneh menurutnya Gilang ini. Namun, ketika teringat betapa sederhana dan bijaknya Gilang, ia pun tidak berani menyela."Tapi paling tidak kita rayakan, Lang. Sebagai istri aku rasanya tidak enak kalau hanya menghabiskan hari kelahiranmu dengan hanya berdiam diri."Gilang memegang dagunya. Ia mulai berpikir."Bagaimana kalau pesan kue?" usul Rara. Matanya berbinar.Sayangnya usul itu mendapat gelengan kepala."Lalu maunya apa?" Rara kembali cemberut."Bagaimana kalau masak. Aku ingin mencicipi masakanmu," balas Gilang."Masak?"Gilang mengiakan dengan anggukan."Emang mau masakan apa?" tanya Rara lagi.Gilang pun terlihat berpikir. "Buatkan aku sayur asem dan ikan asin saja, bagaimana?""Cuma itu?" Rara benar-benar tidak habis pikir."Jangan bilang cuma, kamu tau menu itu sukses buatku nambah tiga kali.""Masa cuma itu.""Tapi aku maunya itu, bagaimana?"Mulanya Rara ragu, tapi setelah melihat Gilang yang tampak sangat berharap ia pun mengiakan dengan anggukan."W
Setahun kemudian.Rumah tangga Gilang dan Rara semakin membaik dari waktu ke waktu. Layaknya rumah tangga pada umumnya, di rumah sederhana Gilang itu selalu ada canda, tawa, kadang ada sedikit pertengkaran kecil antara mereka.Namun, itu tak jadi pemicu keretakan. Justru sebaliknya, mereka saling memahami antara lain, membuat rumah tangga mereka kian kokoh.Satu tahun itu pula Gilang berhasil menunjukkan keseriusan. Cinta yang tulus membuatnya tak pernah lelah maupun mengeluh dengan kondisi Rara yang cacat. Justru, rasa sayang serta peduli untuk Rara makin menggebu.Rara sendiri sama, dia terus berusaha sembuh. Kabar baiknya sekarang sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Terakhir, Rara juga sudah mulai berjalan dengan dua kaki, meskipun hanya bertahan lima langkah.Kendati demikian tak buat asanya putus. Ada Gilang yang selalu menyemangati dan itu buat Rara semangat lagi. Ia ingin cepat berjalan normal agar bisa mengimbangi langkah Gilang. Ingin seperti pasangan kebanyakan yang men
Dari semenjak kejadian tadi siang, Rara menjadi lebih banyak diam. Gilang sendiri juga belum berani cerita apa-apa. Pria itu masih berusaha menyusun kata yang pas supaya tidak menyakiti hati Rara Nantinya."Ra, kamu baik-baik aja 'kan?" Gilang melongok ke kamar. Tampak Rara tengah duduk sembari membaca buku bertema islami dengan posisi kaki selonjoran."Itu pertanyaan kamu yang ke empat kali. Memangnya kamu tidak bosen?" balas Rara tanpa menatap.Diperlakukan seperti membuat Gilang salah tingkah. Kelakuannya saat ini makin tambah belingsatan saja."Ra, kamu baca apa?" Gilang mendekat, matanya seketika membola saat mengetahui halamaan buku yang Rara baca. "Kamu ngapain baca begituan?" tanya Gilang spontan."Memangnya kenapa? Aku hanya penasaran saja dengan hukum poligami. Ternyata poligami sangat indah jika dijalani sesuai kaidah. Aku tidak menyangka pahala istri yang dipoligami sangat besar!"Mendengar itu, Gilang makin tambah misuh-misuh. Ia berebut buku tersebut lantas menaruhnya ke
Pemandangan yang baru saja dilihat membuat Rara memutuskan untuk menutup pintu mobil. Di titik ini, Rara merasa harga dirinya dijatuhkan seketika. Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana suaminya itu dipeluk oleh wanita lain, akan tetapi ia tidak bisa berlari untuk sekadar mencegah, apalagi sampai membuat perhitungan kepada Nayla.Dari jendela mobil juga, Rara melihat Nayla yang terus menyeret koper lalu hilang di balik pintu gerbang. Setelah itu ia melihat ke arah Gilang. Lelaki itu terlihat memapah Bunda Alia masuk ke dalam rumah.Kini tinggallah Rara di dalam mobil seorang diri. Kesunyian halaman di panti asuhan saat ini sukses menambahkan momen sakit di hati Rara semakin menggebu-gebu. Ia menangis. Hatinya menjerit atas semua yang baru saja ia saksikan.Rara bukan mempermasalahkan pelukan perpisahan yang dilakukan oleh Nayla, tapi Rara menyayangkan dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa saat semua itu terjadi. Bahkan untuk sekadar menyusul Gilang saja, Rara tak mampu melakukannya
Gilang baru saja hendak menurunkan Rara dari mobil saat suara ribut-ribut terdengar di pelataran panti. Lelaki itu gagas menoleh, dari kejauhan ia melihat Bunda Alya sedang terlibat cekcok dengan Nayla. Sepertinya perdebatan mereka cukup serius. Gilang pun segera meminta izin pada Rara agar melerai keduanya terlebih dahulu."Ra, kamu di mobil sebentar ya! Kayaknya Bunda lagi bertengkar sama Nayla. Aku pisahin mereka dulu."Saking paniknya, Gilang gagas berlari tanpa menunggu jawaban Rara terlebih dahulu. Di sofa mobil yang pintunya sudah terbuka, Rara hanya dapat menatap punggung Gilang yang semakin menjauh darinya. Ia juga menatap kursi roda yang baru saja dibentangkan oleh Gilang. Namun, sayang, Rara tidak bisa menggapai benda yang sangat dibutuhkannya tersebut karena posisinya terlalu jauh.Sementara Gilang. Lelaki itu berlari secara membabi buta. Lalu berdiri di tengah-tengah mereka." Ada apa ini?" seru Gilang sambil menatap Bunda Alya dan Nayla secara bergantian, bahkan ia lupa
***"Gawat, Ra! Gawat!"Gilang masuk ke kamar begitu saja saat Rara sedang asik membaca buku panduan salat. Wanita itu sedang menghafalkan beberapa hafalan doa dan tata cara salat tahajud saat Gilang mendekat dengan mimik wajah cemas."Ada apa? Kenapa kamu cemas begitu?""Nayla Ra … Nayla ….""Nayla kenapa?" Rara memekik.Hati Rara sedikit tercubit melihat Gilang begitu mencemaskan Nayla. Namun, ia tepis segala perasaan tidak baik itu karena Nayla dan Gilang memiliki ikatan persaudaraan yang cukup kuat meski bukan saudi kandung."Anak panti bilang Bunda Alia bertengkar dengan Nayla. Ternyata kepergiannya Nayla ke Singapur terlalu mendadak, dan tanpa sepengetahuan Bunda.""Kok bisa, Lang?""Entahlah, Ra! Anak panti bilang Nayla mau berangkat sore nanti, dia juga bilang kalau Nayla sudah terlanjur tanda tangan kontrak dan menerima dana sebesar 150 juta.""Astagfirullahallazim. Kamu serius, Lang? Aku takutnya Nayla itu ditipu. Perusahaan mana yang berani memberi DP sebanyak itu?""Maka d
"Tapi Bunda—" Nayla mendongak dengan tatapan tidak senang. Mendengar nama Gilang disebut, hatinya serasa melompat dari tempat. Inilah yang membuat Nayla terpukul karena lagi-lagi harus dibayangi nama Gilang ketika tinggal di sini.Dengan pergi ke tempat yang jauh, Nayla bisa fokus melupakan Gilang sepenuhnya."Maaf Nay, bukannya Bunda bermaksud menyeret Gilang ke dalam hidupmu lagi. Bunda tahu maksud kamu baik ingin melupakan cinta yang salah, tapi tolong tunggu sebentar, biarkan bunda berdiskusi dengan Gilang terlebih dahulu sebelum kamu berangkat," kata Bunda."Tapi sore nanti Nayla harus pergi karantina ke asrama, Bu. Sekalipun Bunda dan Abang berdiskusi, Nay tetap akan berangkat.""Tahan dulu ya, Nay!" Bunda Alia mengelus puncak kepala gadis itu. Namun, Nayla menepiskan dengan gerakan agak keras."Maaf, Bun! Untuk kali ini Nay tidak bisa menuruti permintaan Bunda.."Sambil menahan tangis yang hendak pecah lagi, Nayla gagas berlari meninggalkan ruangan Bunda. Untuk kali ini Nayla a
****Entah kenapa Bunda Alia tidak senang mendengarnya. Wanita itu terlihat menggeleng samar. "Bunda tidak mau menerima uang itu, Nay. Sebaiknya kamu pulangkan saja uang itu dan tetaplah tinggal di sini. bagaimana pun juga kamu jauh lebih berharga dari uang itu. Apalah artinya uang jika kamu tidak ada," kata Bunda Alia serius.Nada larangan itu membuat Nayla memandang Bunda Alia dengan memelas. "Tapi Nay sudah terlanjur tanda tangan kontrak, Bun. Nanti sore Nay akan dijemput untuk karantina dan belajar di asrama. Nay tidak bisa menolak karena kesepakatan ini sudah terjadi ," ujar Nayla."Kamu lancang Nay!" Bunda Alia memekik marah. "Seharusnya kamu bicarakan ini pada Bunda ataupun Abang!"Wanita itu meraup wajahnya. Terlihat frustrasi sekali. "Singapur itu jauh, Nay! Bagaimana kalau kamu tidak betah di sana? Uang seratus lima puluh juta itu banyak. Itu pasti merupakan pemberat agar kamu tetap bekerja di sana!""Tidak, Bunda. Itu hanyalah uang gaji Nay selama satu tahun!""Ngeyel kamu
Tak banyak yang Nayla bicarakan dengan Gilang dan Rara pasca mendadak ia mengatakan ingin pergi ke Singapur. Selepas itu, Nayla pamit untuk pulang. Keadaan jiwanya saat ini sedang tidak baik-baik saja, dan berada di sana hanya akan membuat luka di hatinya semakin menganga.Sesampainya di rumah, Nayla gagas masuk ke kamar. Ia membereskan barang-barang untuk persiapan bekerja di Singapur. Tidak langsung ke sana, nantinya Nayla akan dijemput oleh seseorang, di antar ke asrama untuk mengurus beberapa surat keberangkatan sambil belajar penyesuaian diri sebelum berangkat menjadi TKI di sana.Dulunya Nayla pernah mencoba kuliah di jurusan keperawatan. Namun terhenti di tengah jalan karena terhalang biaya. Namun tak lama kemudian, pihak kampus mendatangi Nayla, menyuruh wanita lanjut kuliah dengan full beasiswa asalkan ia mau kuliah di jurusan tata boga. Akhirnya Nayla melanjutkan kuliahnya.Dari bekal itu, sekarang Nayla memberanikan diri mendaftarkan sebagai perawat orang sakit. Mirip pemba