"Ra, kamu ini kenapa? Kamu sengaja kasih Rio cela?" cecar Gilang. Ia ikuti Rara yang terus mengendalikan kursi roda menuju kamar."Ra, aku sedang bicara. Apa kamu sengaja memberi kode ke Rio? Itu tidak benar, Ra. Tidak dibolehkan. Walaupun belum ada rasa suka kamu ke aku paling tidak hargai aku. Aku suami kamu. Aku kepala rumah tangga. Jangan seenaknya," lanjut Gilang.Rara membalik kursi roda dan menatap wajah sang suami yang telah kusut. Marah tak berlawan membuat wajah yang biasanya teduh jadi belingsatan serba salah."Ini tidak ada sangkut pautnya dengan Rio," balas Rara, pandangan gadis itu berubah sengit dalam sekejap waktu."Kalau begitu apa? Kamu sengaja ingin memberitahukan orang lain tentang kondisi rumah tangga kita? Itu tidak boleh, Ra."Rara memejamkan mata, geram."Gilang, stop! Sudah aku bilang ini bukan tentang Rio!"Gilang diam dan memilih duduk di sisi ranjang. Dia lepas baju kaus dan hanya menyisakan singlet saja. Gerah hati juga tubuhnya."Aku itu tidak ada hubungan
"Kalian tidak sedarah, Gilang. Jadi perasaan kalian itu bisa berkembang. Apa salahnya dipupuk lebih lagi, siapa tahu kalian bisa membangun rumah tangga yang harmonis. Kamu lebih membutuhkan Nayla sebagai istri ketimbang aku. Untuk apa kamu mempertahankan istri tidak berguna seperti aku?""Rara!" sentak Gilang. Ia tak sadar telah melakukannya. Saat melihat mata Rara yang berkaca-kaca ia pun mendekat. "Maaf aku tidak bermaksud membentak, aku hanya ...."Rara memalingkan muka, setetes air matanya turun. Ia juga bingung. Sisi lain hati merongrong agar segera berpisah dari Gilang, tetapi sisi lain menentang. Semacam ada yang melarang. Rara merasa ada yang aneh dengan dadanya. Entah dari mana datangnya, tapi perasaan itu begitu mengganggu, menyisakan rasa engap dan sesak.Rasa bersalah Gilang pun melambung. Ia sungguh tidak sengaja membentak Rara. Melihat Rara menangis untuk pertama kali buatnya menyesal.Pelan Gilang pegang tangan Rara, lantas tangan satunya menyapu air mata yang telah ter
"Soal permintaan kamu semalam, aku kan mengabulkannya," kata Gilang.Rara cengo, bahkan sampai tak mengerjap. Dalam hati ia bertanya, mungkinkah telah salah dengar? Atau, mungkinkah ini mimpi? Karena jika dilihat betapa besar cinta yang Gilang tunjukkan, Gilang ini bukanlah tipe lelaki yang mudah menyerah. Ia sosok laki-laki yang tangguh dan berpendirian teguh. Cerai itu mustahil. Hanya saja ....Berdeham sekaligus, Rara tenggak air putih, lantas menatap Gilang lebih lamat. Sepenglihatannya Gilang ini terlihat aneh."Kamu?""Aku serius. Aku akan mengabulkannya. Kamu ingin pulang, kan?" lanjut Gilang. Raut yang biasa jenaka sama sekali tidak terlihat saat ini. Mendadak Rara khawatir.'Apa dia akan benar-benar menceraikan aku?' batin Rara. Ia remas tangannya sendiri."Kamu serius?" ulang Rara untuk memastikan.Gilang pun mengiyakan dengan anggukan, sedang tangan tetap menguapi Rara"Aku serius. Kamu mau pulang ke rumah orang tua kamu, kan? Aku akan antar kamu pulang."Beberapa detik. Un
"Aku ke dapur dulu," ucap Gilang setelah bisa mengikat rambut Rara. Perkataan singkat yang direspon Rara dengan anggukan saja."Aku akan kembali," lanjut Gilang.Hening. Rara hanya duduk diam terpaku di depan cermin sepeninggal Gilang. Dari pantulan cermin ia bisa melihat diri sendiri yang terlihat sangat cantik dengan baju panjang itu. Sekarang baru tahu arti menghargai diri sendiri dan manfaatnya. Dengan tidak mengumbar aurat bisa menjaga diri dari tatapan jahat orang lain. Dengan menjaga aurat kita bisa menjauhkan diri dari siksa api neraka kelak, begitu kata Gilang.Terukir sedikit senyum Rara saat mengingat bagaimana Gilang menceramahinya. Sebenarnya tak hanya tentang aurat, ada beberapa nasihat lagi yang terputar dalam memori seperti kaset. Semuanya terputar jelas, tentang menjawab salam, menjaga pandangan, tentang salat dan lain hal. Ada begitu banyak yang tidak bisa Rara ingat satu-satunya. Gilang terlalu cerewet untuknya yang suka keheningan. Ingatan demi ingatan itu terput
Kedatangan kedua manusia yang masih tergolong pengantin baru itu pun disambut senyum semringah. Ibu Mira khususnya. Binar bahagia kentara sekali saat bertemu dengan sang anak. Pun Rara yang memang sejatinya menyimpan rindu sejak lama.Dulu, Rara sangat tidak menyukai ibunya yang suka memerintah, cerewet dan agak diktator. Menikah pun juga karena ingin menghindari rongrongan sang ibu. Ia muak diatur begini begitu makanya pasrah saja saat dinikahkan dengan Gilang. Tapi setelah menikah dan pisah rumah, rasa rindu itu muncul dan berkembang makin besar dari hari ke hari. Ia merindukan sosok ibu yang cerewet itu."Sehat, Nak?" tanya Ibu Mira yang dibalas Rara dengan anggukan. Dibelainya pucuk kepala sang anak, lalu menatap Gilang yang ada di belakang. Rasa haru buatnya terus menitikkan air mata. Saat melihat Rara berhijab ia meyakini kalau keputusan menikahkan Rara dengan Gilang adalah keputusan tepat."Bu, Ibu Mira sehat?" tanya Gilang. Diraihnya tangan Ibu Mira, lalu mencium punggung tang
"T-tapi Nayla ...."Gilang tarik tangan Rara, membuat lisan gadis itu terjeda. Lamat mereka berserobok pandang, tatapan Gilang teduh seperti biasa sedang Rara gusar luar biasa."Ra, dengarkan aku. Aku sampai kapan pun tidak akan mengabulkan permintaan kamu yang satu itu. Dan soal Nayla, aku yakin kamu salah. Dia tidak menyukaiku. Itu hanya kepedulian antar saudara. Tidak lebih. Dan jika benar pun, aku hanya akan memberikan satu jawaban." Gilang menjeda kata lumayan lama. Ia lebih terpesona melihat Rara yang kebingungan seperti itu."Apa jawabannya?" sela Rara, mulai tak sabar."Jawabannya cuma satu. Aku memilih kamu, bukan dia ataupun wanita lain."Sontak Rara melotot, lalu menarik tangannya dari genggaman Gilang. Mendadak hatinya jedag jedug tak karuan."Kamu gila memilih aku ketimbang Nayla yang mencintai kamu. Pikirkan baik-baik, kamu itu bertahan sama aku cuma karena kasihan," balas Rara, kembali ketus nada bicaranya."Ceile pengantin baru. Mesra-mesraan di dalam saja. Jangan di
Pagi yang cerah dimanfaatkan Pak Herlambang dengan baik. Keduanya duduk santai di gazebo taman samping dengan papan catur di tengah-tengah. Mereka bermain sambil bicara santai, topik pembicaraan tidak lain tidak bukan adalah tentang bisnis dan pandangan hidup. Gilang yang memang mengagumi sosok lelaki itu begitu serius mendengarkan."Lang?""Iya, Pa.""Hubunganmu dengan Rara baik-baik saja kan?" tanya Pak Herlambang, melenceng jauh dari obrolan dengan Gilang sebelumnya."Papa tidak ingin ikut campur, Papa cuma mau nanya saja. Syukur-syukur kalau dijawab," lanjut Pak Herlambang lagi.Gilang yang ditanya begitu terdiam sebentar, lalu menelan ludah kasar."Alhamdulillah baik, Pa. Lancar sampai sekarang," jawab lelaki yang usianya baru menginjak angka dua puluh enam itu.Merasa jawaban tidak meyakinkan alis Pak Herlambang pun naik sebelah menyelisik raut muka Gilang. "Kalian bahagia?" tanyanya, terdengar tidak percaya.Gilang sontak kembali menelan ludah. "Iya, Pa. Kami bahagia."Sekonyon
****"Ah, Papa terlalu memuji. Aku tidak sehebat itu. Tapi aku akan tetap melakukan usaha terbaik untuk meluluhkanya. Dia layak dicintai." Gilang tersenyum bangga setelah mengatakan itu."Kamu tau, mata kami kamu hebat, Lang. Belum lama menikah kamu sudah mampu membuatnya mengenakan hijab. Bukankah itu adalah sesuatu yang patut disyukuri?" Senyum Pak Herlambang makin lebar, binar bahagia kentara sekali di manik matanya yang pekat."Papa jangan memuji. Rara begitu karena Allah mengetuk hatinya, bukan aku.""Dan itu lewat kamu."Gilang kembali diam, bingung hendak membalas apa. Kepalanya yang tadi menatap Pak Herlambang ia arahkan ke samping dan agak kikuk saat melihat Rara tengah menatap dengan sorot mata dingin. Gadis itu menatap tak berkedip.Masih segar diingatan Gilang bagaimana Rara meminta cerai dan bagaimana pedasnya Rara menolak cintanya. Tak hanya itu, Rara juga merongrong agar dirinya menikahi Nayla.Menikahi Nayla itu sungguh tidak mungkin. Mustahil. Bagai bisa meninggalkan