Rara yang menatap depan pun kontan menatap Gilang, seakan ingin memastikan apakah ucapan lelaki itu benar. Apakah ucapan itu nyata atau ia hanya halu saja."Kalau kamu bosan di rumah kita bisa jalan-jalan ke luar, aku akan membawamu."Rara berdengkus. "Aku tidak butuh dikasihani! Kamu tidak perlu mengasihaniku karena terperangkap di rumahmu."Respon Gilang cuma gelengan kepala saja. Ia pegang tangan Rara tapi ditepis kasar."Cantik, jangan sekejam itu bicaranya. Aku tidak memenjarakanmu, apa aku menyiksamu? Tidak, 'kan? Aku bahkan menganggap kamu ratu di sini."Rara kembali berdengkusnya. Ia malas melayani Gilang yang kembali menjadi buaya. Ia putuskan menatap depan dan menonton berita."Ra, aku memang tidak kaya, tapi paling tidak aku bisa memberikanmu sesuatu. Kamu ingin apa?"Mata Rara kembali terarah ke Gilang. Ia menatap saat lelaki itu menatap depan. Saat ini Rara bisa melihat cetakan wajah Gilang. Jelas dan nyata. Dari samping begitu lelaki itu terlihat tampan, hidungnya bangir
Setibanya di pusat perbelanjaan.Seperti biasa Gilang akan membantu Rara. Ia ambil kursi roda dan mendudukkan istrinya itu, setelahnya mereka bersama masuk ke dalam gedung tersebut."Apa ada yang ingin kamu beli?" tanya Gilang.Rara menggeleng. Ia ke sana bukan untuk berbelanja. Hanya mengusir jenuh saja makanya setuju diajak Gilang keluar."Benar tidak ada yang minat? Bagaimana dengan camilan?"Rara kembali menggelengkan kepala. "Di rumah ada banyak. Lagi pun aku tidak ingin ada yang protes karena aku tambah berat."Di belakang Gilang cuma cekikikan, tidak menyangka kalau Rara memiliki sifat dendam. Padahal niatnya waktu itu hanya ingin menggoda.Rara diam, matanya awas melihat sekeliling. Begitu ramai pengunjung yang berlalu-lalang. Mereka sibuk dengan keluarganya, ada juga yang sibuk memilih baju. Di samping itu mereka juga menatap aneh ke Rara. Mungkin hanya Rara yang di dorong dengan kursi roda."Mereka menatap karena kamu cantik," bisik Gilang yang sadar kalau Rara mulai tidak n
"Ra, buka pintunya!" teriak Gilang. Ia mulai panik dan terus mengetuk pintu berharap Rara buka.Sayang, harapan cuma jadi harapan pasalnya pintu tetap tertutup rapat. Bahkan bunyi-bunyian yang ada di dalam makin nyaring saja.Tak bisa menunggu lagi, Gilang pun menerjang pintu yang dikunci dari dalam. Ia tendang berkali-kali pintu itu hingga akhirnya terbuka. Setelahnya menghambur diri dan memeluk Rara. Istrinya itu tampak mengerikan. Rambutnya acak-acakan. Keadaan kamar juga tak kalah berantakan. Ia peluk Rara dan melempar buku tebal yang ada di tangan Rara. Tadi istrinya itu memukul kaki sendiri dengan buku itu."Ra, kamu tenang. Istighfar."Sayang, Rara yang masih kalut tidak mengindahkan. Ia malah meraung makin nyaring dalam dekapan Gilang. Rasa marah, frustrasi dan benci menggumpal jadi satu membuat gadis itu tidak bisa apa-apa selain menangis."Istighfar. Ini cobaan. Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuan," ucap Gilang lagi. Ia dekap makin erat kepala Rara. Se
Rara pun akhirnya ikut ke panti. Walau agak malas ia ikuti juga permintaan Gilang dengan alasan di rumah tidak ada siapa-siapa. Lebih riskan, takut terjadi hal yang tidak-tidak.Jarak rumah dan panti tidaklah jauh. Hanya berjalan beberapa menit saja mereka akan sampai. Saat sampai, halaman luas pun menyambut mata."Aku usahakan cepat pulang," ujar Gilang sembari tetap mendorong kursi roda Rara. Saat ini mereka melewati halaman yang lumayan luas. Angin segar menerpa wajah keduanya."Kamu mau titip apa? Nanti kau belikan," lanjut lelaki itu lagi.Akan tetapi seperti biasanya, Rara yang ogah-ogahan hanya diam saja. Ia memilih melihat sekitar. Ada beberapa pohon besar yang mengelilingi halaman. Terlihat sangat asri dan itu mengalihkan pikiran Rara."Ra, aku ini sedang bicara sama kamu. Masa dikacangin."Rara memutar matanya malas. Gilang terlalu berisik untuknya yang suka ketenangan. "Tidak ada. Aku tidak butuh apa pun," jawabnya, masih terdengar datar.Di belakang Gilang cuma bisa nyengi
Suara indah mengalun indah di musala panti. Suaranya begitu merdu kala membacakan ayat Alquran, membuat Rara yang ada di ruang sebelah sampai memejamkan mata menikmati kesyahduan itu. Ia terlalu menghayati meski tidak tau arti. Tapi yang jelas, bacaan ayat suci itu buat hatinya tentram.Pelan-pelan Rara arahkan kursi rodanya ke musala, lalu memberanikan diri mengintip. Dari jendela ia bisa melihat kekhusukan mereka saat beribadah. Melihat itu agak nyeri hati Rara. Ia sadar, sudah berapa jauh dia pergi dari Tuhan. Sudah berapa banyak dosa yang ia lakukan dan rasanya enggan untuk menghadap. Malu lebih tepatnya.Saat Gilang—selaku imam—telah sampai salam Rara pun segera mengarahkan kursi rodanya agar menjauh. Ia tidak ingin kedapatan melihat mereka salat sedang tadi beralasan berhalangan saat diajak salat."Yuk, kita makan. Bunda sudah masak banyak," ucap Gilang. Kopiahnya masih melekat di kepala, memperlihatkan dahinya yang bagus mengilap terkena sinar lampu. Alisnya yang tebal juga ter
"Oh, cuma itu."Gilang segera menuntun Rara menuju toilet, lalu mendudukkan seperti biasa di kloset duduk. Sejak ada Rara ia sengaja menambah satu toilet lagi agar memudahkan Rara dalam menggunakan kamar mandi.Karena kloset jongkok akan sangat menyulitkan untuk keadaan gadis itu. Maka dari itu ia menyulap bagian lain rumah dan menjadikannya bilik toilet duduk khusus untuk Rara.Gilang sendiri lebih suka menggunakan toilet jongkok. Lebih nyaman untuk ia yang notabene terbiasa hidup sederhana bahkan jauh di bawah kata itu."Emmm." Tiba-tiba Rara tertunduk malu. Pandangannya menatap ke bawah, lalu kembali mendongakkan kepalanya, penuh.Dalam sesaat mereka saling pandang dan Gilang baru sadar kalau tangan Rara tidak mungkin bisa dipakai untuk melorotkan celana seperti biasa.Masih dengan posisi saling tatap. Keduanya serentak menelan saliva. Mata mereka sama sekali tidak berkedip.Baru saja Gilang hendak buka suara, Rara langsung menyergah, membuat lelaki itu spontan mengatupkan bibirnya
Gilang dan Rara berada di sebuah kamar megah nan indah. Malam itu suasana begitu sangat romantis.Rara mengenakan dress hitam berbahan katun sebatas lutut. Di mana dress itu sangat menyatu dan memancarkan kulit putihnya.Bibir merah merona dengan rambut panjang yang terurai, semakin menambah aura keseksian gadis itu. Malam itu adalah malam yang sangat indah bagi mereka berdua.Rara berjalan sensual mendekati Gilang yang sedang berdiri di sudut ruangan. Ia melingkarkan tangannya dari belakang. Membenamkan wajahnya dalam dalam di punggung bidang pria itu, deru nafas Rara mulai menggelitik dan membangkitkan hawa panas yang ada di tubuh Gilang."Lang, aku mencintaimu. Aku ingin menjadi milikmu seutuhnya malam ini." Rara membalik paksa tubuh lelaki itu sampai berbalik menghadapnya. "Gilang, jangan sungkan lagi. Malam ini aku milikmu seutuhnya."Gadis yang malam ini terlihat binal itu meraih satu tangan Gilang, meletakan telapak tangan lelaki itu pada salah satu bagian sensitifnya. Di mana
***"A ...." Gilang tetap menyodorkan dan Rara yang malu tapi mau itu pun membuka mulutnya."Enak?""Lumayan." Gadis itu menjawab datar dengan tatapan yang sulit Gilang artikan. Tatapan yang begitu dingin, tapi entah kenapa Gilang merasa ada kehangatan di balik netranya hitam gadis itu.Gilang yang hendak menyuapkan makanan ke mulutnya di cegah Rara dengan tangan kirinya. Tentu saja lelaki itu terheran-heran."Itu kotor, bekas aku. Ganti sendok lain!" titahnya tak ingin dibantah.Akan tetapi Gilang menyuapnya langsung. Ia sengaja mengabaikan perintah itu. Rara tentu melotot tak senang dengan sikap Gilang."Jorok!" ketus gadis itu."Tidak jorok. Bekas istri sendiri ini. Aku bahkan sudah melihat semuanya di badan kamu. Jadi berbagi sendok itu bukan masalah besar.""Uhukkk!" Rara terbatuk.Memerah muka Rara. Ia merasakan ada semut tak kasatmata merayap di wajah, ingin menyanggah tapi memang Gilang telah melihat semuanya."Jangan asal bicara. Tidak malu dengan kopiah yang ada di kepala?"
***Rara terdiam, agak aneh menurutnya Gilang ini. Namun, ketika teringat betapa sederhana dan bijaknya Gilang, ia pun tidak berani menyela."Tapi paling tidak kita rayakan, Lang. Sebagai istri aku rasanya tidak enak kalau hanya menghabiskan hari kelahiranmu dengan hanya berdiam diri."Gilang memegang dagunya. Ia mulai berpikir."Bagaimana kalau pesan kue?" usul Rara. Matanya berbinar.Sayangnya usul itu mendapat gelengan kepala."Lalu maunya apa?" Rara kembali cemberut."Bagaimana kalau masak. Aku ingin mencicipi masakanmu," balas Gilang."Masak?"Gilang mengiakan dengan anggukan."Emang mau masakan apa?" tanya Rara lagi.Gilang pun terlihat berpikir. "Buatkan aku sayur asem dan ikan asin saja, bagaimana?""Cuma itu?" Rara benar-benar tidak habis pikir."Jangan bilang cuma, kamu tau menu itu sukses buatku nambah tiga kali.""Masa cuma itu.""Tapi aku maunya itu, bagaimana?"Mulanya Rara ragu, tapi setelah melihat Gilang yang tampak sangat berharap ia pun mengiakan dengan anggukan."W
Setahun kemudian.Rumah tangga Gilang dan Rara semakin membaik dari waktu ke waktu. Layaknya rumah tangga pada umumnya, di rumah sederhana Gilang itu selalu ada canda, tawa, kadang ada sedikit pertengkaran kecil antara mereka.Namun, itu tak jadi pemicu keretakan. Justru sebaliknya, mereka saling memahami antara lain, membuat rumah tangga mereka kian kokoh.Satu tahun itu pula Gilang berhasil menunjukkan keseriusan. Cinta yang tulus membuatnya tak pernah lelah maupun mengeluh dengan kondisi Rara yang cacat. Justru, rasa sayang serta peduli untuk Rara makin menggebu.Rara sendiri sama, dia terus berusaha sembuh. Kabar baiknya sekarang sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Terakhir, Rara juga sudah mulai berjalan dengan dua kaki, meskipun hanya bertahan lima langkah.Kendati demikian tak buat asanya putus. Ada Gilang yang selalu menyemangati dan itu buat Rara semangat lagi. Ia ingin cepat berjalan normal agar bisa mengimbangi langkah Gilang. Ingin seperti pasangan kebanyakan yang men
Dari semenjak kejadian tadi siang, Rara menjadi lebih banyak diam. Gilang sendiri juga belum berani cerita apa-apa. Pria itu masih berusaha menyusun kata yang pas supaya tidak menyakiti hati Rara Nantinya."Ra, kamu baik-baik aja 'kan?" Gilang melongok ke kamar. Tampak Rara tengah duduk sembari membaca buku bertema islami dengan posisi kaki selonjoran."Itu pertanyaan kamu yang ke empat kali. Memangnya kamu tidak bosen?" balas Rara tanpa menatap.Diperlakukan seperti membuat Gilang salah tingkah. Kelakuannya saat ini makin tambah belingsatan saja."Ra, kamu baca apa?" Gilang mendekat, matanya seketika membola saat mengetahui halamaan buku yang Rara baca. "Kamu ngapain baca begituan?" tanya Gilang spontan."Memangnya kenapa? Aku hanya penasaran saja dengan hukum poligami. Ternyata poligami sangat indah jika dijalani sesuai kaidah. Aku tidak menyangka pahala istri yang dipoligami sangat besar!"Mendengar itu, Gilang makin tambah misuh-misuh. Ia berebut buku tersebut lantas menaruhnya ke
Pemandangan yang baru saja dilihat membuat Rara memutuskan untuk menutup pintu mobil. Di titik ini, Rara merasa harga dirinya dijatuhkan seketika. Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana suaminya itu dipeluk oleh wanita lain, akan tetapi ia tidak bisa berlari untuk sekadar mencegah, apalagi sampai membuat perhitungan kepada Nayla.Dari jendela mobil juga, Rara melihat Nayla yang terus menyeret koper lalu hilang di balik pintu gerbang. Setelah itu ia melihat ke arah Gilang. Lelaki itu terlihat memapah Bunda Alia masuk ke dalam rumah.Kini tinggallah Rara di dalam mobil seorang diri. Kesunyian halaman di panti asuhan saat ini sukses menambahkan momen sakit di hati Rara semakin menggebu-gebu. Ia menangis. Hatinya menjerit atas semua yang baru saja ia saksikan.Rara bukan mempermasalahkan pelukan perpisahan yang dilakukan oleh Nayla, tapi Rara menyayangkan dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa saat semua itu terjadi. Bahkan untuk sekadar menyusul Gilang saja, Rara tak mampu melakukannya
Gilang baru saja hendak menurunkan Rara dari mobil saat suara ribut-ribut terdengar di pelataran panti. Lelaki itu gagas menoleh, dari kejauhan ia melihat Bunda Alya sedang terlibat cekcok dengan Nayla. Sepertinya perdebatan mereka cukup serius. Gilang pun segera meminta izin pada Rara agar melerai keduanya terlebih dahulu."Ra, kamu di mobil sebentar ya! Kayaknya Bunda lagi bertengkar sama Nayla. Aku pisahin mereka dulu."Saking paniknya, Gilang gagas berlari tanpa menunggu jawaban Rara terlebih dahulu. Di sofa mobil yang pintunya sudah terbuka, Rara hanya dapat menatap punggung Gilang yang semakin menjauh darinya. Ia juga menatap kursi roda yang baru saja dibentangkan oleh Gilang. Namun, sayang, Rara tidak bisa menggapai benda yang sangat dibutuhkannya tersebut karena posisinya terlalu jauh.Sementara Gilang. Lelaki itu berlari secara membabi buta. Lalu berdiri di tengah-tengah mereka." Ada apa ini?" seru Gilang sambil menatap Bunda Alya dan Nayla secara bergantian, bahkan ia lupa
***"Gawat, Ra! Gawat!"Gilang masuk ke kamar begitu saja saat Rara sedang asik membaca buku panduan salat. Wanita itu sedang menghafalkan beberapa hafalan doa dan tata cara salat tahajud saat Gilang mendekat dengan mimik wajah cemas."Ada apa? Kenapa kamu cemas begitu?""Nayla Ra … Nayla ….""Nayla kenapa?" Rara memekik.Hati Rara sedikit tercubit melihat Gilang begitu mencemaskan Nayla. Namun, ia tepis segala perasaan tidak baik itu karena Nayla dan Gilang memiliki ikatan persaudaraan yang cukup kuat meski bukan saudi kandung."Anak panti bilang Bunda Alia bertengkar dengan Nayla. Ternyata kepergiannya Nayla ke Singapur terlalu mendadak, dan tanpa sepengetahuan Bunda.""Kok bisa, Lang?""Entahlah, Ra! Anak panti bilang Nayla mau berangkat sore nanti, dia juga bilang kalau Nayla sudah terlanjur tanda tangan kontrak dan menerima dana sebesar 150 juta.""Astagfirullahallazim. Kamu serius, Lang? Aku takutnya Nayla itu ditipu. Perusahaan mana yang berani memberi DP sebanyak itu?""Maka d
"Tapi Bunda—" Nayla mendongak dengan tatapan tidak senang. Mendengar nama Gilang disebut, hatinya serasa melompat dari tempat. Inilah yang membuat Nayla terpukul karena lagi-lagi harus dibayangi nama Gilang ketika tinggal di sini.Dengan pergi ke tempat yang jauh, Nayla bisa fokus melupakan Gilang sepenuhnya."Maaf Nay, bukannya Bunda bermaksud menyeret Gilang ke dalam hidupmu lagi. Bunda tahu maksud kamu baik ingin melupakan cinta yang salah, tapi tolong tunggu sebentar, biarkan bunda berdiskusi dengan Gilang terlebih dahulu sebelum kamu berangkat," kata Bunda."Tapi sore nanti Nayla harus pergi karantina ke asrama, Bu. Sekalipun Bunda dan Abang berdiskusi, Nay tetap akan berangkat.""Tahan dulu ya, Nay!" Bunda Alia mengelus puncak kepala gadis itu. Namun, Nayla menepiskan dengan gerakan agak keras."Maaf, Bun! Untuk kali ini Nay tidak bisa menuruti permintaan Bunda.."Sambil menahan tangis yang hendak pecah lagi, Nayla gagas berlari meninggalkan ruangan Bunda. Untuk kali ini Nayla a
****Entah kenapa Bunda Alia tidak senang mendengarnya. Wanita itu terlihat menggeleng samar. "Bunda tidak mau menerima uang itu, Nay. Sebaiknya kamu pulangkan saja uang itu dan tetaplah tinggal di sini. bagaimana pun juga kamu jauh lebih berharga dari uang itu. Apalah artinya uang jika kamu tidak ada," kata Bunda Alia serius.Nada larangan itu membuat Nayla memandang Bunda Alia dengan memelas. "Tapi Nay sudah terlanjur tanda tangan kontrak, Bun. Nanti sore Nay akan dijemput untuk karantina dan belajar di asrama. Nay tidak bisa menolak karena kesepakatan ini sudah terjadi ," ujar Nayla."Kamu lancang Nay!" Bunda Alia memekik marah. "Seharusnya kamu bicarakan ini pada Bunda ataupun Abang!"Wanita itu meraup wajahnya. Terlihat frustrasi sekali. "Singapur itu jauh, Nay! Bagaimana kalau kamu tidak betah di sana? Uang seratus lima puluh juta itu banyak. Itu pasti merupakan pemberat agar kamu tetap bekerja di sana!""Tidak, Bunda. Itu hanyalah uang gaji Nay selama satu tahun!""Ngeyel kamu
Tak banyak yang Nayla bicarakan dengan Gilang dan Rara pasca mendadak ia mengatakan ingin pergi ke Singapur. Selepas itu, Nayla pamit untuk pulang. Keadaan jiwanya saat ini sedang tidak baik-baik saja, dan berada di sana hanya akan membuat luka di hatinya semakin menganga.Sesampainya di rumah, Nayla gagas masuk ke kamar. Ia membereskan barang-barang untuk persiapan bekerja di Singapur. Tidak langsung ke sana, nantinya Nayla akan dijemput oleh seseorang, di antar ke asrama untuk mengurus beberapa surat keberangkatan sambil belajar penyesuaian diri sebelum berangkat menjadi TKI di sana.Dulunya Nayla pernah mencoba kuliah di jurusan keperawatan. Namun terhenti di tengah jalan karena terhalang biaya. Namun tak lama kemudian, pihak kampus mendatangi Nayla, menyuruh wanita lanjut kuliah dengan full beasiswa asalkan ia mau kuliah di jurusan tata boga. Akhirnya Nayla melanjutkan kuliahnya.Dari bekal itu, sekarang Nayla memberanikan diri mendaftarkan sebagai perawat orang sakit. Mirip pemba