Rara pun akhirnya ikut ke panti. Walau agak malas ia ikuti juga permintaan Gilang dengan alasan di rumah tidak ada siapa-siapa. Lebih riskan, takut terjadi hal yang tidak-tidak.Jarak rumah dan panti tidaklah jauh. Hanya berjalan beberapa menit saja mereka akan sampai. Saat sampai, halaman luas pun menyambut mata."Aku usahakan cepat pulang," ujar Gilang sembari tetap mendorong kursi roda Rara. Saat ini mereka melewati halaman yang lumayan luas. Angin segar menerpa wajah keduanya."Kamu mau titip apa? Nanti kau belikan," lanjut lelaki itu lagi.Akan tetapi seperti biasanya, Rara yang ogah-ogahan hanya diam saja. Ia memilih melihat sekitar. Ada beberapa pohon besar yang mengelilingi halaman. Terlihat sangat asri dan itu mengalihkan pikiran Rara."Ra, aku ini sedang bicara sama kamu. Masa dikacangin."Rara memutar matanya malas. Gilang terlalu berisik untuknya yang suka ketenangan. "Tidak ada. Aku tidak butuh apa pun," jawabnya, masih terdengar datar.Di belakang Gilang cuma bisa nyengi
Suara indah mengalun indah di musala panti. Suaranya begitu merdu kala membacakan ayat Alquran, membuat Rara yang ada di ruang sebelah sampai memejamkan mata menikmati kesyahduan itu. Ia terlalu menghayati meski tidak tau arti. Tapi yang jelas, bacaan ayat suci itu buat hatinya tentram.Pelan-pelan Rara arahkan kursi rodanya ke musala, lalu memberanikan diri mengintip. Dari jendela ia bisa melihat kekhusukan mereka saat beribadah. Melihat itu agak nyeri hati Rara. Ia sadar, sudah berapa jauh dia pergi dari Tuhan. Sudah berapa banyak dosa yang ia lakukan dan rasanya enggan untuk menghadap. Malu lebih tepatnya.Saat Gilang—selaku imam—telah sampai salam Rara pun segera mengarahkan kursi rodanya agar menjauh. Ia tidak ingin kedapatan melihat mereka salat sedang tadi beralasan berhalangan saat diajak salat."Yuk, kita makan. Bunda sudah masak banyak," ucap Gilang. Kopiahnya masih melekat di kepala, memperlihatkan dahinya yang bagus mengilap terkena sinar lampu. Alisnya yang tebal juga ter
"Oh, cuma itu."Gilang segera menuntun Rara menuju toilet, lalu mendudukkan seperti biasa di kloset duduk. Sejak ada Rara ia sengaja menambah satu toilet lagi agar memudahkan Rara dalam menggunakan kamar mandi.Karena kloset jongkok akan sangat menyulitkan untuk keadaan gadis itu. Maka dari itu ia menyulap bagian lain rumah dan menjadikannya bilik toilet duduk khusus untuk Rara.Gilang sendiri lebih suka menggunakan toilet jongkok. Lebih nyaman untuk ia yang notabene terbiasa hidup sederhana bahkan jauh di bawah kata itu."Emmm." Tiba-tiba Rara tertunduk malu. Pandangannya menatap ke bawah, lalu kembali mendongakkan kepalanya, penuh.Dalam sesaat mereka saling pandang dan Gilang baru sadar kalau tangan Rara tidak mungkin bisa dipakai untuk melorotkan celana seperti biasa.Masih dengan posisi saling tatap. Keduanya serentak menelan saliva. Mata mereka sama sekali tidak berkedip.Baru saja Gilang hendak buka suara, Rara langsung menyergah, membuat lelaki itu spontan mengatupkan bibirnya
Gilang dan Rara berada di sebuah kamar megah nan indah. Malam itu suasana begitu sangat romantis.Rara mengenakan dress hitam berbahan katun sebatas lutut. Di mana dress itu sangat menyatu dan memancarkan kulit putihnya.Bibir merah merona dengan rambut panjang yang terurai, semakin menambah aura keseksian gadis itu. Malam itu adalah malam yang sangat indah bagi mereka berdua.Rara berjalan sensual mendekati Gilang yang sedang berdiri di sudut ruangan. Ia melingkarkan tangannya dari belakang. Membenamkan wajahnya dalam dalam di punggung bidang pria itu, deru nafas Rara mulai menggelitik dan membangkitkan hawa panas yang ada di tubuh Gilang."Lang, aku mencintaimu. Aku ingin menjadi milikmu seutuhnya malam ini." Rara membalik paksa tubuh lelaki itu sampai berbalik menghadapnya. "Gilang, jangan sungkan lagi. Malam ini aku milikmu seutuhnya."Gadis yang malam ini terlihat binal itu meraih satu tangan Gilang, meletakan telapak tangan lelaki itu pada salah satu bagian sensitifnya. Di mana
***"A ...." Gilang tetap menyodorkan dan Rara yang malu tapi mau itu pun membuka mulutnya."Enak?""Lumayan." Gadis itu menjawab datar dengan tatapan yang sulit Gilang artikan. Tatapan yang begitu dingin, tapi entah kenapa Gilang merasa ada kehangatan di balik netranya hitam gadis itu.Gilang yang hendak menyuapkan makanan ke mulutnya di cegah Rara dengan tangan kirinya. Tentu saja lelaki itu terheran-heran."Itu kotor, bekas aku. Ganti sendok lain!" titahnya tak ingin dibantah.Akan tetapi Gilang menyuapnya langsung. Ia sengaja mengabaikan perintah itu. Rara tentu melotot tak senang dengan sikap Gilang."Jorok!" ketus gadis itu."Tidak jorok. Bekas istri sendiri ini. Aku bahkan sudah melihat semuanya di badan kamu. Jadi berbagi sendok itu bukan masalah besar.""Uhukkk!" Rara terbatuk.Memerah muka Rara. Ia merasakan ada semut tak kasatmata merayap di wajah, ingin menyanggah tapi memang Gilang telah melihat semuanya."Jangan asal bicara. Tidak malu dengan kopiah yang ada di kepala?"
Setelah salat subuh Gilang pun menyibukkan diri dengan warung sembako miliknya. Sengaja menghindari Rara karena tidak ingin berdebat lagi. Istrinya itu dinilai aneh karena berbicara yang bukan-bukan."Kenapa dia tiba-tiba bahas cerai? Apa aku melakukan kesalahan?" gumamnya pelan.Sayang pikiran itu teralihkan karena pembeli mulai berdatangan. Langit yang tadinya gelap perlahan terang, sinar lampu yang ada di sana bahkan tenggelam ditelan terangnya sinar matahari yang masuk dari celah jendela besi dan ventilasi. Jika sudah seperti itu Gilang akan mulai sibuk membantu orang yang hendak berbelanja. Walau tidak besar tapi warung itu semuanya ada. Selain menjual barang sembako Gilang juga menjual karpet sampai gayung. Bahkan juga menjual pulsa dan token listrik.Pagi merupakan waktu yang sangat sibuk bagi Gilang. Ibu-ibu akan menyerbu warungnya untuk membeli bumbu dapur atau sekedar penyedap rasa. Maka dari itu ia mempekerjakan dua orang pemuda yang bisa disuruh melayani, bahkan mengangkat
"Sini aku lihat." Rara berseru.Gilang mengangkat wajah dan membiarkan Rara menyentuh dagunya. Dari jarak yang dekat begitu ia bisa melihat kepanikan begitu kentara di wajah Rara. Bola mata Rara bergerak liar."Lang, kamu berdarah!" seru gadis itu.Aneh. Binar kecemasan di mata Rara membuat Gilang tak henti tersenyum. Rasa perih lenyap berganti menjadi rasa yang lain. Disela rasa itu Gilang merasa sedikit lega, karena jika Rara khawatir menandakan kalau ia dipedulikan. Itu artinya Rara mulai luluh."Kenapa malah tersenyum? Kamu itu sedang terluka!" Rara memutar mata malas."Lalu aku harus apa? Apa harus menangis? Atau apa aku harus melaporkan ini ke polisi karena KDRT?" balas Gilang. Alisnya naik turun.Rara yang sebal mencubit pundak Gilang. Ekor matanya kembali terpicing saat melihat suaminya itu meringis."Sakit?" tanya Rara.Bak anak kecil, Gilang mengangguk beberapa kali. Gemas, Rara cubit sekali lagi lelaki itu."Makanya jangan lebai. Cari obat. Aku akan mengobatinya," titahnya
"Ra, bawang gorengnya yang banyak kan, ya?" teriak Rio.Kepala Rara yang menunduk sekarang terangkat kembali. Lantas, mengangguk sebagai jawaban. Tadinya malu saat melihat Rio, tapi berpikir lagi, inilah kenyataan. Ia telah cacat dan semua orang telah tahu itu. Ia akan masa bodoh dengan penilaian Rio."Ada yang ingin kamu jelaskan?" tanya Gilang sembari menarik kursi. Dari belakang situ ia bisa melihat punggung tegap Rio saat berbicara dengan karyawan. Mendadak gerah hatinya, tapi lelaki itu berusaha terus berhusnuzan."Memangnya kamu ingin penjelasan yang seperti apa?" Menolehkan kepala, Rara menatap Gilang. Sorot matanya datar saja seakan tidak peduli perasaan sang suami yang tengah meredam cemburu.Ya, Gilang cemburu. Sebagai suami saja ia belum bisa mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai Rara. Tapi lihatlah, sosok teman saja bisa mengetahui keinginan Rara.Jujur, terluka hati Gilang melihat semua itu. Selama ini jika ditanya istrinya itu hanya akan menjawab sekenanya, ''Aku