"Sini aku lihat." Rara berseru.Gilang mengangkat wajah dan membiarkan Rara menyentuh dagunya. Dari jarak yang dekat begitu ia bisa melihat kepanikan begitu kentara di wajah Rara. Bola mata Rara bergerak liar."Lang, kamu berdarah!" seru gadis itu.Aneh. Binar kecemasan di mata Rara membuat Gilang tak henti tersenyum. Rasa perih lenyap berganti menjadi rasa yang lain. Disela rasa itu Gilang merasa sedikit lega, karena jika Rara khawatir menandakan kalau ia dipedulikan. Itu artinya Rara mulai luluh."Kenapa malah tersenyum? Kamu itu sedang terluka!" Rara memutar mata malas."Lalu aku harus apa? Apa harus menangis? Atau apa aku harus melaporkan ini ke polisi karena KDRT?" balas Gilang. Alisnya naik turun.Rara yang sebal mencubit pundak Gilang. Ekor matanya kembali terpicing saat melihat suaminya itu meringis."Sakit?" tanya Rara.Bak anak kecil, Gilang mengangguk beberapa kali. Gemas, Rara cubit sekali lagi lelaki itu."Makanya jangan lebai. Cari obat. Aku akan mengobatinya," titahnya
"Ra, bawang gorengnya yang banyak kan, ya?" teriak Rio.Kepala Rara yang menunduk sekarang terangkat kembali. Lantas, mengangguk sebagai jawaban. Tadinya malu saat melihat Rio, tapi berpikir lagi, inilah kenyataan. Ia telah cacat dan semua orang telah tahu itu. Ia akan masa bodoh dengan penilaian Rio."Ada yang ingin kamu jelaskan?" tanya Gilang sembari menarik kursi. Dari belakang situ ia bisa melihat punggung tegap Rio saat berbicara dengan karyawan. Mendadak gerah hatinya, tapi lelaki itu berusaha terus berhusnuzan."Memangnya kamu ingin penjelasan yang seperti apa?" Menolehkan kepala, Rara menatap Gilang. Sorot matanya datar saja seakan tidak peduli perasaan sang suami yang tengah meredam cemburu.Ya, Gilang cemburu. Sebagai suami saja ia belum bisa mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai Rara. Tapi lihatlah, sosok teman saja bisa mengetahui keinginan Rara.Jujur, terluka hati Gilang melihat semua itu. Selama ini jika ditanya istrinya itu hanya akan menjawab sekenanya, ''Aku
***Kendati demikian Rara tidak menampik, ia sebenarnya sadar dan yakin kalau Rio menaruh minat padanya. Hanya saja sebatas tahu saja dan tidak berniat membalas. Rara tutup dan memutus akses rasa itu agar tidak berkembang. Waktu kuliah yang menjadi minatnya hanyalah senang-senang dan pria bukanlah kesenangannya."Kalau begitu bagaimana hubunganmu dengan Nayla? Bukankah kamu bilang kalian tidak ada apa-apa? Tapi kenapa dia bisa tahu makanan kesukaan kamu? Bahkan bisa menakar bumbu yang pas sesuai selera lidah kamu. Itu saja sudah jadi bukti kalau dia mengharapkan kamu. Nikah saja sama dia.""Rara, kenapa kita malah bahas Nayla? Dia jelas beda sama Rio. Aku dan Nayla berada di panti sejak kecil. Dan juga tuduhanmu tidak berdasar. Aku yakin kamu salah paham. Itu hanya kepedulian terhadap abang, tidak lebih.""Ck, abang adek konon.""Ra ....""Dan aku sama Kak Rio juga sering bertemu. Apa salah dia mengetahui kesukaanku? Kamu tidak masuk akal. Cemburu hanya karena itu."Belum sempat Gilan
"Aku pangling lihat Nayla," ucap Rara setelah selesai makan. Dipindainya Nayla dari atas sampai bawah. Gadis itu terlihat cantik dengan pasmina yang menjuntai sampai dada."Kamu cantik. Sangat jauh beda style kamu saat di panti dan luar panti," lanjut Rara."Aku pakai ini karena di restoran tidak membolehkan karyawati memakai pakaian besar. Terlihat fanatik jadi mereka tidak suka.""Oh, ya?"Rara terdengar antusias dan itu membuat Gilang menghentikan kunyahan. Ia tenggak air putih lalu memperhatikan Rara dan Nayla.Sesaat Gilang melihat tidak ada keanehan, tapi makin dilihat keanehan itu kentara. Gilang merasa ada yang tidak beres dengan istrinya. Istrinya itu seperti memiliki sesuatu yang lain dalam kepala. Rencana, entah apa rencananya."Iya, karena restoran tempat aku bekerja ini milik orang luar. Yang datang juga rata-rata bukan orang lokal. Bahkan chef-nya saja orang kebangsaan Amerika.""Wau, hebat. Pasti senang bisa berinteraksi dengan mereka."Nayla mengangguk mengiyakan. "Tap
***Muka Nayla langsung berubah. Gilang yang merasa obrolan sudah keterlaluan pun menyentuh tangan Rara, berharap istrinya itu berhenti."Ra, itu hal privasi.""Aku hanya bertanya, Lang. Tidak salah, kan, Nay. Bukankah kita saudara?" balas Rara, sorot matanya menyelidik.Nayla diam. Takut-takut menatap Gilang. Tangannya yang ada di bawah meja saling tertaut dan meremas."Tapi aku setuju sama Rara. Nayla cantik dan santun. Aku tidak yakin tidak ada yang tidak menyukainya," timpal Rio. Ia sudahi menikmati sate lalu menatap Nayla yang salah tingkah."Nah, benar kan, Kak. Nayla ini cantik. Aku tidak sabar ingin melihatnya bersanding di pelaminan."Rio mengangguk, lalu menatap lamat Nayla yang menunduk."Hmm, kalian salah paham. Aku tidak punya pacar. Agama melarang pacaran. Aku juga tidak punya seseorang yang spesial," kilah Nayla lagi.Menyeringai bibir Rara. "Oh, jadi maksudnya aku berbohong? Bukankah kamu sendiri yang bilang sedang menyukai seseorang?""Bukan, bukan begitu," balas Nayl
"Ra, kamu ini kenapa? Kamu sengaja kasih Rio cela?" cecar Gilang. Ia ikuti Rara yang terus mengendalikan kursi roda menuju kamar."Ra, aku sedang bicara. Apa kamu sengaja memberi kode ke Rio? Itu tidak benar, Ra. Tidak dibolehkan. Walaupun belum ada rasa suka kamu ke aku paling tidak hargai aku. Aku suami kamu. Aku kepala rumah tangga. Jangan seenaknya," lanjut Gilang.Rara membalik kursi roda dan menatap wajah sang suami yang telah kusut. Marah tak berlawan membuat wajah yang biasanya teduh jadi belingsatan serba salah."Ini tidak ada sangkut pautnya dengan Rio," balas Rara, pandangan gadis itu berubah sengit dalam sekejap waktu."Kalau begitu apa? Kamu sengaja ingin memberitahukan orang lain tentang kondisi rumah tangga kita? Itu tidak boleh, Ra."Rara memejamkan mata, geram."Gilang, stop! Sudah aku bilang ini bukan tentang Rio!"Gilang diam dan memilih duduk di sisi ranjang. Dia lepas baju kaus dan hanya menyisakan singlet saja. Gerah hati juga tubuhnya."Aku itu tidak ada hubungan
"Kalian tidak sedarah, Gilang. Jadi perasaan kalian itu bisa berkembang. Apa salahnya dipupuk lebih lagi, siapa tahu kalian bisa membangun rumah tangga yang harmonis. Kamu lebih membutuhkan Nayla sebagai istri ketimbang aku. Untuk apa kamu mempertahankan istri tidak berguna seperti aku?""Rara!" sentak Gilang. Ia tak sadar telah melakukannya. Saat melihat mata Rara yang berkaca-kaca ia pun mendekat. "Maaf aku tidak bermaksud membentak, aku hanya ...."Rara memalingkan muka, setetes air matanya turun. Ia juga bingung. Sisi lain hati merongrong agar segera berpisah dari Gilang, tetapi sisi lain menentang. Semacam ada yang melarang. Rara merasa ada yang aneh dengan dadanya. Entah dari mana datangnya, tapi perasaan itu begitu mengganggu, menyisakan rasa engap dan sesak.Rasa bersalah Gilang pun melambung. Ia sungguh tidak sengaja membentak Rara. Melihat Rara menangis untuk pertama kali buatnya menyesal.Pelan Gilang pegang tangan Rara, lantas tangan satunya menyapu air mata yang telah ter
"Soal permintaan kamu semalam, aku kan mengabulkannya," kata Gilang.Rara cengo, bahkan sampai tak mengerjap. Dalam hati ia bertanya, mungkinkah telah salah dengar? Atau, mungkinkah ini mimpi? Karena jika dilihat betapa besar cinta yang Gilang tunjukkan, Gilang ini bukanlah tipe lelaki yang mudah menyerah. Ia sosok laki-laki yang tangguh dan berpendirian teguh. Cerai itu mustahil. Hanya saja ....Berdeham sekaligus, Rara tenggak air putih, lantas menatap Gilang lebih lamat. Sepenglihatannya Gilang ini terlihat aneh."Kamu?""Aku serius. Aku akan mengabulkannya. Kamu ingin pulang, kan?" lanjut Gilang. Raut yang biasa jenaka sama sekali tidak terlihat saat ini. Mendadak Rara khawatir.'Apa dia akan benar-benar menceraikan aku?' batin Rara. Ia remas tangannya sendiri."Kamu serius?" ulang Rara untuk memastikan.Gilang pun mengiyakan dengan anggukan, sedang tangan tetap menguapi Rara"Aku serius. Kamu mau pulang ke rumah orang tua kamu, kan? Aku akan antar kamu pulang."Beberapa detik. Un