"Nggak rugi kasih makanan sebanyak itu?" tanya Rara saat pintu Gilang tutup. "Dan juga aku perhatikan warung selalu tutup saat azan. Apa tidak rugi? Dan apa tidak keawalan menutup toko jam setengah enam sore?""Tidak. Justru untung. Ada tabungan buat di akhirat kelak," balas Gilang sembari memperlihatkan senyum yang khas. "Dan salat itu wajib, tidak boleh ditunda. Akan merugi. Makanya aku tutup saat azan. Rugi di dunia tidak sebanding dengan rugi di akhirat. Lagi pun alasan aku tutup sebelum maghrib agar bisa menemani kamu."Rara mendelik muak."Ya sudah, ayo kita ke dapur. Aku sudah siapkan makan malam. Kita makan sama-sama," lanjut lelaki itu lagi.Pasrah? Ya, Rara pasrah. Lagi pun sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Sudah waktunya makan malam.Rara menolehkan kepala dan menatap Gilang. Ia heran, terbuat dari apa hati lelaki itu. Satu kali pun tidak pernah marah. Tidak pernah pula berkata kasar. Rara ingat semingguan menikah dengan Gilang yang dilakukannya hanya duduk, diam
Rara yang menatap depan pun kontan menatap Gilang, seakan ingin memastikan apakah ucapan lelaki itu benar. Apakah ucapan itu nyata atau ia hanya halu saja."Kalau kamu bosan di rumah kita bisa jalan-jalan ke luar, aku akan membawamu."Rara berdengkus. "Aku tidak butuh dikasihani! Kamu tidak perlu mengasihaniku karena terperangkap di rumahmu."Respon Gilang cuma gelengan kepala saja. Ia pegang tangan Rara tapi ditepis kasar."Cantik, jangan sekejam itu bicaranya. Aku tidak memenjarakanmu, apa aku menyiksamu? Tidak, 'kan? Aku bahkan menganggap kamu ratu di sini."Rara kembali berdengkusnya. Ia malas melayani Gilang yang kembali menjadi buaya. Ia putuskan menatap depan dan menonton berita."Ra, aku memang tidak kaya, tapi paling tidak aku bisa memberikanmu sesuatu. Kamu ingin apa?"Mata Rara kembali terarah ke Gilang. Ia menatap saat lelaki itu menatap depan. Saat ini Rara bisa melihat cetakan wajah Gilang. Jelas dan nyata. Dari samping begitu lelaki itu terlihat tampan, hidungnya bangir
Setibanya di pusat perbelanjaan.Seperti biasa Gilang akan membantu Rara. Ia ambil kursi roda dan mendudukkan istrinya itu, setelahnya mereka bersama masuk ke dalam gedung tersebut."Apa ada yang ingin kamu beli?" tanya Gilang.Rara menggeleng. Ia ke sana bukan untuk berbelanja. Hanya mengusir jenuh saja makanya setuju diajak Gilang keluar."Benar tidak ada yang minat? Bagaimana dengan camilan?"Rara kembali menggelengkan kepala. "Di rumah ada banyak. Lagi pun aku tidak ingin ada yang protes karena aku tambah berat."Di belakang Gilang cuma cekikikan, tidak menyangka kalau Rara memiliki sifat dendam. Padahal niatnya waktu itu hanya ingin menggoda.Rara diam, matanya awas melihat sekeliling. Begitu ramai pengunjung yang berlalu-lalang. Mereka sibuk dengan keluarganya, ada juga yang sibuk memilih baju. Di samping itu mereka juga menatap aneh ke Rara. Mungkin hanya Rara yang di dorong dengan kursi roda."Mereka menatap karena kamu cantik," bisik Gilang yang sadar kalau Rara mulai tidak n
"Ra, buka pintunya!" teriak Gilang. Ia mulai panik dan terus mengetuk pintu berharap Rara buka.Sayang, harapan cuma jadi harapan pasalnya pintu tetap tertutup rapat. Bahkan bunyi-bunyian yang ada di dalam makin nyaring saja.Tak bisa menunggu lagi, Gilang pun menerjang pintu yang dikunci dari dalam. Ia tendang berkali-kali pintu itu hingga akhirnya terbuka. Setelahnya menghambur diri dan memeluk Rara. Istrinya itu tampak mengerikan. Rambutnya acak-acakan. Keadaan kamar juga tak kalah berantakan. Ia peluk Rara dan melempar buku tebal yang ada di tangan Rara. Tadi istrinya itu memukul kaki sendiri dengan buku itu."Ra, kamu tenang. Istighfar."Sayang, Rara yang masih kalut tidak mengindahkan. Ia malah meraung makin nyaring dalam dekapan Gilang. Rasa marah, frustrasi dan benci menggumpal jadi satu membuat gadis itu tidak bisa apa-apa selain menangis."Istighfar. Ini cobaan. Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuan," ucap Gilang lagi. Ia dekap makin erat kepala Rara. Se
Rara pun akhirnya ikut ke panti. Walau agak malas ia ikuti juga permintaan Gilang dengan alasan di rumah tidak ada siapa-siapa. Lebih riskan, takut terjadi hal yang tidak-tidak.Jarak rumah dan panti tidaklah jauh. Hanya berjalan beberapa menit saja mereka akan sampai. Saat sampai, halaman luas pun menyambut mata."Aku usahakan cepat pulang," ujar Gilang sembari tetap mendorong kursi roda Rara. Saat ini mereka melewati halaman yang lumayan luas. Angin segar menerpa wajah keduanya."Kamu mau titip apa? Nanti kau belikan," lanjut lelaki itu lagi.Akan tetapi seperti biasanya, Rara yang ogah-ogahan hanya diam saja. Ia memilih melihat sekitar. Ada beberapa pohon besar yang mengelilingi halaman. Terlihat sangat asri dan itu mengalihkan pikiran Rara."Ra, aku ini sedang bicara sama kamu. Masa dikacangin."Rara memutar matanya malas. Gilang terlalu berisik untuknya yang suka ketenangan. "Tidak ada. Aku tidak butuh apa pun," jawabnya, masih terdengar datar.Di belakang Gilang cuma bisa nyengi
Suara indah mengalun indah di musala panti. Suaranya begitu merdu kala membacakan ayat Alquran, membuat Rara yang ada di ruang sebelah sampai memejamkan mata menikmati kesyahduan itu. Ia terlalu menghayati meski tidak tau arti. Tapi yang jelas, bacaan ayat suci itu buat hatinya tentram.Pelan-pelan Rara arahkan kursi rodanya ke musala, lalu memberanikan diri mengintip. Dari jendela ia bisa melihat kekhusukan mereka saat beribadah. Melihat itu agak nyeri hati Rara. Ia sadar, sudah berapa jauh dia pergi dari Tuhan. Sudah berapa banyak dosa yang ia lakukan dan rasanya enggan untuk menghadap. Malu lebih tepatnya.Saat Gilang—selaku imam—telah sampai salam Rara pun segera mengarahkan kursi rodanya agar menjauh. Ia tidak ingin kedapatan melihat mereka salat sedang tadi beralasan berhalangan saat diajak salat."Yuk, kita makan. Bunda sudah masak banyak," ucap Gilang. Kopiahnya masih melekat di kepala, memperlihatkan dahinya yang bagus mengilap terkena sinar lampu. Alisnya yang tebal juga ter
"Oh, cuma itu."Gilang segera menuntun Rara menuju toilet, lalu mendudukkan seperti biasa di kloset duduk. Sejak ada Rara ia sengaja menambah satu toilet lagi agar memudahkan Rara dalam menggunakan kamar mandi.Karena kloset jongkok akan sangat menyulitkan untuk keadaan gadis itu. Maka dari itu ia menyulap bagian lain rumah dan menjadikannya bilik toilet duduk khusus untuk Rara.Gilang sendiri lebih suka menggunakan toilet jongkok. Lebih nyaman untuk ia yang notabene terbiasa hidup sederhana bahkan jauh di bawah kata itu."Emmm." Tiba-tiba Rara tertunduk malu. Pandangannya menatap ke bawah, lalu kembali mendongakkan kepalanya, penuh.Dalam sesaat mereka saling pandang dan Gilang baru sadar kalau tangan Rara tidak mungkin bisa dipakai untuk melorotkan celana seperti biasa.Masih dengan posisi saling tatap. Keduanya serentak menelan saliva. Mata mereka sama sekali tidak berkedip.Baru saja Gilang hendak buka suara, Rara langsung menyergah, membuat lelaki itu spontan mengatupkan bibirnya
Gilang dan Rara berada di sebuah kamar megah nan indah. Malam itu suasana begitu sangat romantis.Rara mengenakan dress hitam berbahan katun sebatas lutut. Di mana dress itu sangat menyatu dan memancarkan kulit putihnya.Bibir merah merona dengan rambut panjang yang terurai, semakin menambah aura keseksian gadis itu. Malam itu adalah malam yang sangat indah bagi mereka berdua.Rara berjalan sensual mendekati Gilang yang sedang berdiri di sudut ruangan. Ia melingkarkan tangannya dari belakang. Membenamkan wajahnya dalam dalam di punggung bidang pria itu, deru nafas Rara mulai menggelitik dan membangkitkan hawa panas yang ada di tubuh Gilang."Lang, aku mencintaimu. Aku ingin menjadi milikmu seutuhnya malam ini." Rara membalik paksa tubuh lelaki itu sampai berbalik menghadapnya. "Gilang, jangan sungkan lagi. Malam ini aku milikmu seutuhnya."Gadis yang malam ini terlihat binal itu meraih satu tangan Gilang, meletakan telapak tangan lelaki itu pada salah satu bagian sensitifnya. Di mana