Home / Romansa / Menikahi Gadis Lumpuh / Bukan Terpaksa Menikah

Share

Menikahi Gadis Lumpuh
Menikahi Gadis Lumpuh
Author: Anarita

Bukan Terpaksa Menikah

"Saya bersedia menikah dengan putri Ibu!" Gilang berseru dengan lantangnya.

Membuat Ibu Mira dan bunda Alia terlonjak kaget mendengar penuturan Gilang yang tiba-tiba. Seberkas rasa bersalah muncul di benak wajah Bunda Alia saat melihat aura wajah Gilang yang sulit untuk ditebak.

Beberapa menit lalu sebelum mendudukkan Gilang, ibu Mira memang memohon pada bunda Alia untuk menjodohkan Gilang dengan anak semata wayangnya, Rara. Ibu Mira pun menceritakan berbagai kekurangan Rara pada bunda Alia, namun saat Gilang dipanggil,  pria muda itu mengatakan bersedia menikah sebelum ada kalimat penjelasan yang keluar dari bibir Ibu Mira ataupun bunda Alia.

"Ma ... maaf, Nak Gilang! Apa yang kamu katakan tadi serius, Nak?" Berbicara dengan nada terbata, ibu Mira mencoba mengkonfirmasi sekali lagi pernyataan tiba-tiba seorang Gilang.

"Saya serius Bu," ucap Gilang lantang. Wajah damai surganya menunjukkan aura ketenangan tanpa adanya paksaan. Membuat senyum simpul mengembang sempurna di bibir ibu Mira. Bahagia bukan main hatinya saat ini.

Masih sedikit ragu, ibu Mira menyanggah pernyataan Gilang. "Ta-ta-tapi—" Gilang memutus pembicaraan ibu Mira secepat kilat. "Tidak ada tapi. Saya serius mau menikahi putri Anda, Bu!"

Gilang meremas jemari seraya membenarkan posisi duduknya. Ia harap ini adalah keputusan yang tepat meskipun rasanya berat. "Mohon maaf jika sikap dan kelakuan saya kurang sopan. Terus terang saja tadi saya tidak sengaja mendengar percakapan Anda dan bunda Alia. Jika hanya seperti itu duduk perkaranya, saya bersedia menikahi putri Anda, Bu."

Kembali terperanjat, ibu Mira menatap Gilang tidak percaya. "Apa Nak Gilang serius? Selain menderita lumpuh pada kakinya, putriku juga memiliki latar belakang mental yang cukup serius! Semenjak mengalami kecelakaan, hatinya sangat sensitif, dia sering marah-marah, mengamuk, bahkan membanting barang-barang yang ada di rumah. Lebih parahnya lagi, putriku tidak mau didekati oleh siapa pun. Terutama orang asing."

Mendengar itu, hati Gilang tidak goyah sama sekali. Niatnya menikah untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat Islam. Ia percaya berkah baik akan menghampiri orang-orang yang berhati tulus sepertinya. Terlebih Ibu Mira adalah orang yang sangat baik. Selama ini ia sudah menjadi donatur tetap di panti asuhan tempat ia dibesarkan. Bisa dibilang, Gilang bisa tumbuh besar seperti ini juga berkat bantuan dari Ibu Mira.

"Ketika saya memberikan jawaban, saya sudah memikirkan hal itu matang-matang, Bu! Saya Rasa lumpuh atau apa pun itu, bukan menjadi penghalang untuk saya menikahi putri Anda!" ucap Gilang meyakinkan keraguan yang ada di dalam hati ibu Mira.

Gilang beralih menatap Bunda Alia. Ibu panti sekaligus orang tua asuh yang mengurus Gilang sejak bayi—karena kedua orang tua Gilang katanya menjadi korban tabrak lari dan meninggal di tempat kejadian beberapa tahun silam. "Izinkan aku menikah dengan anak dari Ibu Mira, Bun. Insya Allah berkah," kata Gilang tanpa menghilangkan senyum indah dari bibir tipisnya.

"Nak, apa kamu sudah benar-benar serius ingin menikah? Kamu adalah panutan anak-anak panti. Jujur saja Bunda sangat memperhatikan kebahagiaanmu." Bunda Alia menunjukkan wajah sedih ketika mendengar keputusan Gilang. Selain menikah dengan putri yang cacat, beliau juga tidak rela jika harus kehilangan berlian paling berharga di panti asuhan tersebut. Maka dari itu, bunda Alia menolak secara terang-terangan saat ibu Mira meminta Gilang untuk menikahi putrinya.

"Bunda, aku memang belum memiliki perasaan apa pun pada gadis itu. Bahkan kami tidak saling mengenal. Namun, aku yakin ini adalah jalan mudah yang telah Allah berikan kepadaku dalam mencari jodoh. Gilang tidak perlu repot-repot mencari istri di luar sana. Bukankah Allah sangat baik padaku, Bunda?"

"Masya Allah!" Bunda Alia berdecak kagum dengan mata berkaca-kaca. Baik bunda maupun ibu Mira merasa tersentuh mendengar penuturan Gilang yang luar biasa.

Berkata lagi, kali ini ada seulas senyum bahagia terukir manis di bibir manis Gilang. "Gilang bersedia menikah dengan putri Ibu Mira atas izin Allah ta'ala! Saya rasa, menikah tidak harus diawali dengan rasa cinta—cukup yakin bahwa Allah yang maha kuasa akan menunjukkan keajaiban pada hambanya yang berani berserah diri. Sayajuga akan berusaha mencintai putri Ibu Mira dengan segenap hati, menerima kekurangan dan kelebihannya. Semoga saja putri Ibu bisa bersikap demikian terhadap saya," ucap Gilang panjang lebar.

Hati Bunda Alia dan Ibu Mira kembali melayang-layang mendengar penuturan lelaki yang hobinya menghafal Al Qur'an itu. Di mana usianya masih terbilang cukup muda yaitu menginjak umur dua puluh lima tahun. Beberapa detik bibir mereka masih kelu dan tak bisa berkata-kata. Terharu dengan ucapan Gilang yang menggetarkan jiwa wanita. Bahkan mereka tersipu mendengar ucapan manis Gilang.

"Tapi setelah menikahi putri Anda, Saya mempunyai sebuah permintaan, Bu!"

"I ... iya!" Sadar dari lamunannya, Ibu Mira langsung antusias dan membenarkan sedikit posisi duduknya. "Apa permintaanmu, Nak? Katakan saja. Ibu pasti akan mengabulkan selama itu bukan hal yang mustahil. Kau minta rumah, modal usaha, mobil? Apa pun itu akan kami berikan, Nak Gilang."

"Saya tidak ingin yang seperti itu, Bu!" Gilang kembali memamerkan wajah damai surganya. Lengkap dengan senyum indah yang menawan hati.

"Jika Ibu memang berniat menikahkan putri Ibu dengan saya, maka izinkanlah saya membawa putri Ibu untuk meninggalkan segala kemewahan yang kalian miliki. Pekerjaan saya memang hanyalah pedagang kecil, tetapi saya akan berusaha memenuhi semua kebutuhan istri. Meski dalam jalur sederhana tanpa kemewahan."

Walaupun ada sedikit ragu karena anaknya tidak pernah hidup susah, Ibu Mira mencoba mengiyakan permintaan mulia Gilang. Apa salahnya percaya pada lelaki berhati malaikat seperti Gilang.

"Baik, Nak Gilang! Ibu akan mengizinkanmu membawa Rara bersamamu. Tapi Ibu akan mengkonfirmasi sekali lagi. Kalau boleh tahu, kenapa Nak Gilang bersedia menihaki putriku, Rara? Yang notabene dia adalah gadis tidak layak untuk dinikahi. Apalagi Rara buta dalam hal agama. Keluarga kami memang hanyalah Islam KTP. Itu salah kami karena menjadi orang tua yang tak mampu membimbing putri kami satu-satunya."

Gilang tertunduk dalam rasa miris. Juga bersyukur dengan hidupnya selama ini. Meskipun ia anak yatim piatu, setidaknya Gilang memiliki bunda Aulia yang mengajarinya untuk selalu menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Sehingga ia dapat merasakan kedamaian hati meski nasibnya tak sebaik anak-anak lain.

"Bu, Mira! Saya hanya menjalankan syariat agama Islam sesuai dengan kaidah dan ketentuan yang Nabi Muhammad SAW ajarkan pada umatnya. Istri adalah tulang rusuk suaminya. Jika pendampingku belum berada di jalan Allah, maka tugasku adalah membimbing ia ke jalan yang benar. Selama masih diberikan kehidupan, itu artinya putri Anda masih memiliki banyak kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Begitupun dengan Anda dan keluarga, Bu Mira."

Mira langsung terpukul dalam rasa malu begitu mendengar ucapan Gilang. Ada niat sebesar gunung untuk menyentuh mukenah selepas pulang nanti. Mira benar-benar malu pada Allah. Ia diberikan kemewahan yang berlimpah, namun selalu merasa kurang dan tidak bersyukur dengan berkah sebanyak itu.

Gilang berkata lagi, "Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, jika kamu meluruskannya, maka kamu mematahkannya. Jadi, berlemah lembutlah terhadapnya, maka kamu akan dapat hidup bersamanya.”

(Sumber: HR. Al-Hakim (IV/174), dan ia menilainya shahih sesuai syarat Muslim, serta disetujui oleh adz-Dzahabi, Ibnu Hibban (no. 1308).

"Seperti apa pun sikap istri saya nantinya, saya akan memperlakukannya dengan mulia selayaknya Rasullullah memperlakukan istrinya. Tidak hanya sekedar berjanji, ini adalah sesuatu yang harus aku pertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat nanti."

Kembali dibuat terkagum-kagum, Ibu Mira sudah tidak mampu berkata apa-apa selain berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada Gilang. Ia harap Gilang dapat menjadi Imam yang baik untuk putrinya, Rara.

"Gilang sudah setuju, maka yang bisa saya lakukan hanyalah mendukung niat baiknya. Maafkan saya karena sempat menolak lamaran ibu Mira. Jujur saya takut menyakiti hati Gilang karena perjodohan ini. Keputusan Gilang untuk menikah benar-benar di luar dugaan saya, Bu!" Bunda Alia merasa tidak enak karena ia  memang sempat menolak. Untungnya Ibu Mira kekeh ingin membicarakan masalah ini langsung dengan Gilang.

"Tidak apa, Bu! Sebagai seorang Ibu, Saya paham bahwa Anda pasti ingin yang terbaik untuk putra Anda," ucap Bu Mira.

Bahagia ibu Mira sudah tidak dapat terbendung lagi. Ia bersyukur putrinya akan dinikahi pria yang tepat. Sempurna, baik akhlak dan juga agama tentunya.

"Terima kasih, Nak Gilang, terima kasih Bunda Alia. Saya sangat bersyukur jika Nak Gilang bersedia menikah dengan Rara tanpa rasa terpaksa."

Gilang tersenyum hangat. "Tidak ada kata terpaksa ataupun dipaksa. Hidup ini tidak seperti di dalam cerita. Insya Allah pernikahanku dan putri Anda akan membawa berkah, Bu. Karena aku benar-benar ikhlas menikah atas izin Allah Yang Maha Kuasa." Menjeda ucapannya dan tersenyum sejenak, Gilang berkata lagi,

"Bukan terpaksa menikah."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Romansa
greget banget di awal
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status