"Assalamu'alaikum, Cantik!"
Sapaan lembut itu terdengar layaknya angin yang keluar dari mulut buaya di telinga Rara. Membuat hatinya bergetar jijik seketika. Tanpa mencari sumber suara, Rara pura-pura tidak mendengar suara Gilang yang menyapanya dari jarak lima meter. Matanya enggan bergerak, masih asik melihat anak-anak panti yang bermain riang kesana-kemari."Assalamualaikum!" seru Gilang sekali lagi. Pria itu sudah berpindah tempat. Membuat Rara terkejut karena ia mendadak berlutut tepat di hadapan Rara."Ngapain kamu di sini?" Enggan membalas salam, Rara menunjukkan nada bicara yang mengusir. "Pergi kamu! Jangan menutupi pandanganku," bentaknya kesal."Assalamu'alaikum, Neng Cantik," sapa Gilang untuk ketiga kalinya. Ia masih terus berusaha sampai Rara mau membalas salam wajib para umat islam."Waalaikumsalam," balas Rara jutek. Gadis itu langsung melengos ke samping. Ia merasa risih melihat pria yang tersenyum bodoh di depannya."Hai!" sapa Gilang kikuk. Jujur, ia tidak tahu bagaimana caranya berkenalan dengan seorang gadis. Ini adalah pertama untuknya."Aku sudah membalas salammu. Sebaiknya kamu menyingkir dari hadapanku. Apa kamu sengaja berdiri di depanku untuk menutupi pandanganku? Mau menghina kalau aku cacat dan hanya mampu duduk di atas kursi roda?" tanya Rara dengan wajah yang bersungut-sungut, kesal. Ia memang selalu melempar kalimat negatif pada siapa pun. Terutama orang asing yang sok akrab seperti Gilang.Masih memasang wajah jenaka. Gilang mencoba menjelaskan soal rencana pernikahannya dengan Rara. "Izinkan aku memperkenalkan diri dulu, namaku Gilang. Kedepannya kamu akan menjadi pendampingku dalam perjalanan menuju surga Allah yang diridhai-Nya."Reflek Rara melotot tajam. Memperhatikan Gilang dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. "Jadi kamu pria malang yang dipilih ibu untuk menikah denganku?" tanya Rara heran. Ia menajamkan pandangannya sambil meneliti penampilan pria itu dari atas sampai bawah."Malang?" Gilang menyerutkan dahi tidak suka. Menimbang-nimbang perkataan Rara yang kurang enak untuk didengar.Masih memasang wajah datar, Rara mengalihkan pandangannya kemana pun, asal tidak melihat senyum bodoh seorang Gilang. "Ya, malang. Jika kamu menikah denganku, artinya kamu harus siap untuk dihina oleh orang-orang. Menikahi gadis gila yang cacat, sepertinya julukkan itu cocok untukmu," ujar Rara sengit."Astagfirullahaladzim. Kenapa bicaramu seperti itu?" Entah iba atau bagaimana, yang jelas hati Gilang terasa sakit mendengar ucapan Rara. Sepertinya Rara mengalami tekanan sosial atas apa yang menimpa dirinya.Rara kembali menatap Gilang tanpa membalas pertanyaannya yang tadi. "Kamu bilang ke ibu, kalau bersedia menikah denganku?" tanya Rara penasaran."Iya, aku bilang mau," jawab Gilang apa adanya.Rara membentak sinis. "Dasar pria bodoh!"Tidak terima, gilang mengelak seraya menggelengkan kepalanya lucu. "Aku tidak bodoh. Meskipun hanya mendapat peringkat dua di bangku SMA."Astaga!Rara langsung meremas bajunya gemas ketika mendengar kepolosan yang keluar dari mulut Gilang."Apa kau tidak berpikir matang-matang dulu sebelum menjawab? Di antara banyak lelaki yang dibujuk ibu, hanya kamu satu-satunya orang yang mau menikah denganku. Bukankah itu namanya bodoh?"Gilang tidak marah dibilang bodoh oleh Rara, justru ia bingung melihat kemarahan Rara karena mau menerima perjodohannya. "Harusnya kamu senang 'kan? Ada lelaki yang mau menikah denganmu. Kenapa malah marah-marah?"Sunggu, Gilang semakin tidak mengerti dengan isi pikiran wanita. Apa lagi wanita itu Rara, yang notabene memiliki kondisi temperamen emosi dan mental yang buruk.Rara mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, membuat Gila merinding takut akan ditinju."Dengarkan aku baik-baik, pria sok manis! Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan tentang pernikahan ini. Namun jika kamu tergiur oleh harta yang ibu janjikan padamu, lebih baik mundur saja. Harta yang ibuku berikan tidak akan mampu untuk membalas budimu karena menikahi orang gila. Mengerti Bodoh?"Gilang berkata jujur seraya melepas senyum terindahnya. "Pertama, aku tidak bodoh. Kedua, ibumu tidak menjanjikan apapun kepadaku. Ketiga, aku menikahimu karena Allah ta'ala.""Terserah!" balas Rara tidak peduli. Semua yang Gilang ucapkan di telinga Rara terdengar seperti gombalan belaka. Rara bahkan tak peduli apalagi merasa tersentuh.Gilang yang masih belum menyerah, mencoba mendekati Rara sekali lagi. "Kalau kamu, bagaimana?""Aku kenapa?" bentak Rara ketus. Duduknya mulai gelisah—risih karena Gilang yang masih enggan beranjak pergi."Mau tidak menikah denganku?"Rara mengedikkan bahunya malas. "Mau kamu atau siapa pun yang menikahiku, aku tidak peduli. Menikah adalah keinginan ibu untuk membuangku, bukan semata-mata karena kemauanku!" tandas Rara dengan wajah datar. Seberkas rasa miris menutupi seluruh hati Rara. Semenyedihkan ini memang hidupnya. Matanya kembali menatap anak-anak yang berlarian di lapangan saat Gilang berdiri dan menyingkir dari hadapannya.Gilang yang sedikit iba hanya berani menundukkan kepalanya sopan. "Terima kasih telah mengizinkanku untuk menjabat tangan ayahmu di depan penghulu nanti. Untuk kedepannya, akan kupastikan kamu tidak merasa terbuang sama sekali. Assalamualaikum."Terlonjak kaget dengan kemanisan mulut Gilang, Rara mengepalkan tangannya kesal saat Gilang berbalik badan hendak pergi meninggalkannya."Hei!" teriak Rara lantang, di mana Gilang langsung menghentikkan langkah dan berbalik kembali menghampiri Rara."Apa apa?" tanya Gilang, sopan."Namaku Rara!" Gadis itu mengulurkan tangannya dengan angkuh. Namun, dalam hatinya tulus untuk mengajak Gilang berkenalan.Mengatupkan kedua tangannya di depan dada, Gilang enggan menyambut uluran tangan Rara. Pria itu menunduk sopan seraya berkata,"Salam kenal, Rara!"Emosi Rara meninggi seketika saat Gilang terang-terangan menolak untuk bersalaman dengannya."Sombong! Angkuh! Sok kecakepan!"Teriakan Rara melengking kuat. Membuat siapa saja yang mendengar langsungnya menoleh ke arah Gilang dan Rara.Gilang mendadak panik. Ia bingung melihat Rara yang begitu histeris meneriaki dirinya."Pergi kau pria angkuh! Aku tidak ingin melihat pria sombong sepertimu. Apa aku terlihat seperti kotoran di matamu? Sampai kau tidak sudi bersalaman denganku?" Teriakan Rara semakin histeris. Gadis itu meraung seperti orang gila. Membuat Gilang semakin panik dan merasa bersalah."Tidak ... bukan begitu, Cantik! Maafkan aku, Rara. Aku tidak bermaksud menolak bersalaman denganmu. Aku hanya tidak ingin bersentuhan dengan yang bukan muhrimku.""Alasan!" Rara tetap tidak terima dengan penjelasan Gilang. Gadis itu terlanjur sakit hati karena penolakkan yang Gilang lakukan."Aku memang tidak terbiasa bersentuhan dengan yang bukan muhrimku, Rara. Bukannya aku tidak ingin menyalami tanganmu," ujar Gilang yang semakin panik. Teriakan Rara sudah seperti wanita yang ditinggal kawin lagi oleh suaminya. Bahkan, mereka sudah menjadi tontonan anak-anak panti asuhan sekarang.Panik dan semakin gugup, ekspresi wajah Gilang bagaikan maling yang ketangkap basah mencuri. Ia sama sekali tidak berhasil meluluhkan hati Rara. Gadis itu malah semakin meraung histeris tanpa hentinya."Pergi kau! Pergi!" teriak Rara sekuat-kuatnya. Gadis itu semakin gila dalam raungan."Neng Rara, jangan teriak-teriak! Aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung, Ra. Kalau kita sudah menikah, aku pasti berani memegang tanganmu, memelukmu bahkan menciummu." Astaga! Saat itu juga Gilang menampar mulutnya yang tiba-tiba mesum. Mengucapkan istigfar berkali-kali di dalam hati.Maafkan hamba ya, Alloh! Yang tadi tidak sengaja terucap. Gilang terlalu panik.Astagfirullah .... Astagfirullah .... Maafkan hamba karena tidak dapat menjaga lidah ini, ucap Gilang dalam hati.Dikarenakan keributan itu Bunda Alia serta Ibu Mira segera beranjak dari kursi. Keduanya keluar pontang-panting menuju luar. Tadinya mereka tengah membahas rencana pernikahan, tentang resepsi dan lain-lain. Sekarang, keduanya tergopoh-gopoh menuju taman dan terdiam membeku melihat Rara meneriaki Gilang."Rara, kenapa ini?" tanya Ibu Mira. Secara bergantian ia melihat Rara dan Gilang. Anaknya itu memperlihatkan wajah bengis sedangkan Gilang terdiam bingung."Mama serius mau menikahkan aku dengan laki-laki sombong itu?" tuding Rara ke Gilang. Telunjuknya teracung mantap. Meski duduk di kursi roda rona takut sama sekali tidak ada di wajahnya.Merasa keadaan mulai kacau, Gilang pun maju mendekati Ibu Mira. "Maafkan saya, Bu. Ini hanya kesalahpahaman.""Salah paham? Salah paham kamu bilang?" Rara terkekeh hambar. Binar matanya menyalang-nyalang bak ada kobaran api di sana. Kekaguman yang sempat hadir sirna seketika saat melihat Gilang enggan berjabat tangan dengan. Rara insecure dan mulai
Dikarenakan keributan itu Bunda Alia serta Ibu Mira segera beranjak dari kursi. Keduanya keluar pontang-panting menuju luar. Tadinya mereka tengah membahas rencana pernikahan, tentang resepsi dan lain-lain. Sekarang, keduanya tergopoh-gopoh menuju taman dan terdiam membeku melihat Rara meneriaki Gilang."Rara, kenapa ini?" tanya Ibu Mira. Secara bergantian ia melihat Rara dan Gilang. Anaknya itu memperlihatkan wajah bengis sedangkan Gilang terdiam bingung."Mama serius mau menikahkan aku dengan laki-laki sombong itu?" tuding Rara ke Gilang. Telunjuknya teracung mantap. Meski duduk di kursi roda rona takut sama sekali tidak ada di wajahnya.Merasa keadaan mulai kacau, Gilang pun maju mendekati Ibu Mira. "Maafkan saya, Bu. Ini hanya kesalahpahaman.""Salah paham? Salah paham kamu bilang?" Rara terkekeh hambar. Binar matanya menyalang-nyalang bak ada kobaran api di sana. Kekaguman yang sempat hadir sirna seketika saat melihat Gilang enggan berjabat tangan dengan. Rara insecure dan mulai
"Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!""Alhamdulillah."Kalimat tahmid mengudara di kantor urusan agama. Ruang yang tak beberapa besar itu mampu membuat status kedua orang di sana berubah drastis. Yang pria—Gilang—telah menyandang status suami, sedang perempuan—Rara—menjadi istri. Kebahagiaan kentara sekali di wajah semua orang, terkecuali Rara. Itu lantaran hati tak ingin menikah. Hanya saja semua sudah diatur keluarga, pun juga tidak bisa apa-apa selain pasrah. Ia bahkan beranggapan dirinya ini tak ubahnya seonggok daging yang tak berhak bersuara. Bagai mayat hidup, Rara memosisikan diri sejak kecelakaan itu.Saat penghulu mengucapkan doa semua orang di sana mengaminkan. Tidak banyak memang. Dari pihak Rara hanya ada Herlambang—Ayahnya Rara, Ibu Mira serta dua kolega sebagai saksi. Ada juga baby sitternya di sana. Sementara dari pihak Gilang juga ada beberapa orang yang menemani, salah satunya adalah Bunda Alia.Setelah selesai Gilang diarahkan untuk menatap Rara. Dalam beberapa detik
"Bukan begitu, Ra." Kini, Ibu Mira yang menimpali. Ia dekati Rara yang cemberut, lantas mengusap kepala anaknya itu dengan penuh sayang."Mau bagaimanapun kalian sudah sah sebagai suami istri anakku, Sayang. Jadi harus saling bergantung satu sama lain. Sudah sepatutnya Gilang membawa kamu ke rumahnya," sambung Ibu Mira lagi. Ia berusaha memberi arahan selembut mungkin agar Rara paham dengan statusnya kini.Rara yang tak kuasa menahan geram hanya berdengkus, lalu memalingkan muka. Ia benar benar emosi karena sejak awal tak ada yang membicarakan soal ini. Rara merasa dijebak, bahkan kini ia berpikir bahwa ibunya sengaja membuang anak itu demi kebebasan.Sekarang gadis itu hanya diam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Rara yang. Mengetahui hal itu, Ibu Mira memutuskan untuk pamit."Ya sudah. Baik-baik, ya, Nak. Mama akan usahakan sering mengunjungi kamu. Jadi istri yang baik."Namun, lagi-lagi Rara tak merespon. Hanya tangannya saja yang mengepal geram."Ya sudah kalau begitu."
Baru setengah hari Rara berdiam diri di rumah Gilang tapi sudah merasakan hampir setengah tahun hidup di sana. Ia bosan luar biasa dan merasa tersiksa luar dalam. Rumah Gilang terlalu sempit dan sederhana untuk Rara yang biasa hidup dalam kemewahan dam . Terlebih lagi cuaca yang panas buatnya jumpalitan menahan gerah. Di sana memang ada kipas angin, tapi tetap saja rasanya sangat berbeda bagi Rara lantaran tidak ada AC yang biasa menyejukkan ruangan.Gilang yang melihat tingkah Rara pun paham, bahwa gadis itu pasti tidak betah tinggal di rumah sederhana milik lelaki itu."Kamu tidak mau mandi?"Suara Gilang mengagetkan Rara yang sejak tadi termenung. Gadis yang tengah duduk dan masih mengenakan kebaya putih tersebut sampai terlonjak kecil. Setelah tahu siapa yang bertanya matanya langsung terpicing. Gilang datang dengan baju koko di badan. Pria itu baru saja selesai shalat maghrib berjamaah di masjid."Mau buat aku terkena serangan jantung? Mau aku cepat mati?" sergah Rara. Emosinya
Segera Gilang menutup mulut, mukanya berubah jadi serba salah. Tawa tadi hanya spontan dan sama sekali tak bermaksud menyinggung Rara. Ia menyesal karena sempat lupa kalau hati Rara ini seperti dahan kering yang jika terinjak akan patah dengan mudah."Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa lucu karena kamu menyalahkan buaya, setahuku buaya itu salah satu hewan yang setia.""Sok tau!" balas Rara yang masih terdengar sewot.Tidak ingin menambah masalah Gilang pun menggerakkan kepala. Ia mengangguk, mengaku salah dan meminta maaf."Baiklah, tolong maafkan aku jika segala perkataanku membuat kamu marah. Jadi, sekarang kamu mau mandi apa tidak? Kalau tidak maka aku ....""Iya, aku mau mandi," potong Rara yang nada bicaranya masih saja terdengar sama—ketus. Berdebat dengan Gilang, selain melelahkan juga cukup membuat hatinya dan pikirannya panas."Nah, begitu lebih baik. Lagian mau sampai kapan kamu menahan diri? Menahan kemih hanya akan menimbulkan penyakit." Gilang tersenyum penuh kemena
Setelah lumayan segar, Rara pun meraih kimono yang tergantung di gantungan dinding. Cukup susah ia menggapai kimono tersebut. Terlebih sekarang ia harus memakainya kimononya dengan mengeluarkan tenaga ekstra.Setelah hampir lima menit berujuang, barulah kimono itu membalut badannya dengan sempurna. Gadis itu sedikit mendengkus, sejenak ia mengutuk Gilang yang tak membiarkan Mba Sri menjadi baby sitternya lagi."Cih! Kalau bukan karena Gilang sialan itu, aku tidak mungkin menderita seperti ini," kesal Rara dengan gumaman. Gadis itu pun menarik napas sebelum berteriak."Gilang, aku sudah selesai!" serunya."Gilaaaang!"Suasana mendadak hening. Gilang tidak menyahut. Di luar juga tidak ada aktifitas apa pun yang terdengar."Apa jangan-jangan Gilang meninggalkanku?" Pikiran buruk melintas di benak Rara. Benarkah lelaki itu tega melakukan hal seperti itu kepadanya. Antara percaya dan tidak percaya. Rara pun mencoba memanggil Gilang sekali lagi."Gilaaaang, aku sudah selesai ini!" Lagi-lagi
"Mulai saat ini aku yang akan bertanggung jawab mengantar kamu kontrol ke rumah sakit," tutur Gilang sembari menggendong Rara, lantas membaringkannya ke pembaringan dengan perlahan."Tidak usah. Tidak perlu. Tidak berguna. Aku sudah melakukannya selama ini tapi percuma. Aku tidak bisa jalan lagi," balas Rara. Membuang muka."Ra, tidak boleh putus asa. Sebagai manusia kita wajib usaha, kita wajib …..""Berisik!" Rara tutup seluruh wajahnya dengan selimut. Hampir seratus persen, hanya menyisakan pucuk kepala saja.Gilang yang melihat itu hanya bisa tersenyum kecil. "Baiklah, aku akan minta jadwalnya pada mamamu.""Bodo amat!"Malam pertama yang harusnya dilewati dengan panas justru mereka lewati dengan saling diam. Atmosfer begitu kentara, terasa amat dingin. Belum lagi di luar sedang hujan deras. Dinginnya menusuk tulang, seakan selimut tebal tak mampu menghangatkan badan.Gilang jadi panas dingin tak karuan di sebelah Rara. Ia belingsatan, tidak ada posisi yang mampu buat lelaki itu t