"Bukan begitu, Ra." Kini, Ibu Mira yang menimpali. Ia dekati Rara yang cemberut, lantas mengusap kepala anaknya itu dengan penuh sayang."Mau bagaimanapun kalian sudah sah sebagai suami istri anakku, Sayang. Jadi harus saling bergantung satu sama lain. Sudah sepatutnya Gilang membawa kamu ke rumahnya," sambung Ibu Mira lagi. Ia berusaha memberi arahan selembut mungkin agar Rara paham dengan statusnya kini.Rara yang tak kuasa menahan geram hanya berdengkus, lalu memalingkan muka. Ia benar benar emosi karena sejak awal tak ada yang membicarakan soal ini. Rara merasa dijebak, bahkan kini ia berpikir bahwa ibunya sengaja membuang anak itu demi kebebasan.Sekarang gadis itu hanya diam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Rara yang. Mengetahui hal itu, Ibu Mira memutuskan untuk pamit."Ya sudah. Baik-baik, ya, Nak. Mama akan usahakan sering mengunjungi kamu. Jadi istri yang baik."Namun, lagi-lagi Rara tak merespon. Hanya tangannya saja yang mengepal geram."Ya sudah kalau begitu."
Baru setengah hari Rara berdiam diri di rumah Gilang tapi sudah merasakan hampir setengah tahun hidup di sana. Ia bosan luar biasa dan merasa tersiksa luar dalam. Rumah Gilang terlalu sempit dan sederhana untuk Rara yang biasa hidup dalam kemewahan dam . Terlebih lagi cuaca yang panas buatnya jumpalitan menahan gerah. Di sana memang ada kipas angin, tapi tetap saja rasanya sangat berbeda bagi Rara lantaran tidak ada AC yang biasa menyejukkan ruangan.Gilang yang melihat tingkah Rara pun paham, bahwa gadis itu pasti tidak betah tinggal di rumah sederhana milik lelaki itu."Kamu tidak mau mandi?"Suara Gilang mengagetkan Rara yang sejak tadi termenung. Gadis yang tengah duduk dan masih mengenakan kebaya putih tersebut sampai terlonjak kecil. Setelah tahu siapa yang bertanya matanya langsung terpicing. Gilang datang dengan baju koko di badan. Pria itu baru saja selesai shalat maghrib berjamaah di masjid."Mau buat aku terkena serangan jantung? Mau aku cepat mati?" sergah Rara. Emosinya
Segera Gilang menutup mulut, mukanya berubah jadi serba salah. Tawa tadi hanya spontan dan sama sekali tak bermaksud menyinggung Rara. Ia menyesal karena sempat lupa kalau hati Rara ini seperti dahan kering yang jika terinjak akan patah dengan mudah."Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa lucu karena kamu menyalahkan buaya, setahuku buaya itu salah satu hewan yang setia.""Sok tau!" balas Rara yang masih terdengar sewot.Tidak ingin menambah masalah Gilang pun menggerakkan kepala. Ia mengangguk, mengaku salah dan meminta maaf."Baiklah, tolong maafkan aku jika segala perkataanku membuat kamu marah. Jadi, sekarang kamu mau mandi apa tidak? Kalau tidak maka aku ....""Iya, aku mau mandi," potong Rara yang nada bicaranya masih saja terdengar sama—ketus. Berdebat dengan Gilang, selain melelahkan juga cukup membuat hatinya dan pikirannya panas."Nah, begitu lebih baik. Lagian mau sampai kapan kamu menahan diri? Menahan kemih hanya akan menimbulkan penyakit." Gilang tersenyum penuh kemena
Setelah lumayan segar, Rara pun meraih kimono yang tergantung di gantungan dinding. Cukup susah ia menggapai kimono tersebut. Terlebih sekarang ia harus memakainya kimononya dengan mengeluarkan tenaga ekstra.Setelah hampir lima menit berujuang, barulah kimono itu membalut badannya dengan sempurna. Gadis itu sedikit mendengkus, sejenak ia mengutuk Gilang yang tak membiarkan Mba Sri menjadi baby sitternya lagi."Cih! Kalau bukan karena Gilang sialan itu, aku tidak mungkin menderita seperti ini," kesal Rara dengan gumaman. Gadis itu pun menarik napas sebelum berteriak."Gilang, aku sudah selesai!" serunya."Gilaaaang!"Suasana mendadak hening. Gilang tidak menyahut. Di luar juga tidak ada aktifitas apa pun yang terdengar."Apa jangan-jangan Gilang meninggalkanku?" Pikiran buruk melintas di benak Rara. Benarkah lelaki itu tega melakukan hal seperti itu kepadanya. Antara percaya dan tidak percaya. Rara pun mencoba memanggil Gilang sekali lagi."Gilaaaang, aku sudah selesai ini!" Lagi-lagi
"Mulai saat ini aku yang akan bertanggung jawab mengantar kamu kontrol ke rumah sakit," tutur Gilang sembari menggendong Rara, lantas membaringkannya ke pembaringan dengan perlahan."Tidak usah. Tidak perlu. Tidak berguna. Aku sudah melakukannya selama ini tapi percuma. Aku tidak bisa jalan lagi," balas Rara. Membuang muka."Ra, tidak boleh putus asa. Sebagai manusia kita wajib usaha, kita wajib …..""Berisik!" Rara tutup seluruh wajahnya dengan selimut. Hampir seratus persen, hanya menyisakan pucuk kepala saja.Gilang yang melihat itu hanya bisa tersenyum kecil. "Baiklah, aku akan minta jadwalnya pada mamamu.""Bodo amat!"Malam pertama yang harusnya dilewati dengan panas justru mereka lewati dengan saling diam. Atmosfer begitu kentara, terasa amat dingin. Belum lagi di luar sedang hujan deras. Dinginnya menusuk tulang, seakan selimut tebal tak mampu menghangatkan badan.Gilang jadi panas dingin tak karuan di sebelah Rara. Ia belingsatan, tidak ada posisi yang mampu buat lelaki itu t
Malam pertama yang harusnya dilewati dengan panas justru mereka lewati dengan saling diam. Atmosfer begitu kentara, terasa amat dingin. Belum lagi di luar sedang hujan deras. Dinginnya menusuk tulang, seakan selimut tebal tak mampu menghangatkan badan.Gilang jadi panas dingin tak karuan di sebelah Rara. Ia belingsatan, tidak ada posisi yang mampu buat lelaki itu terlelap. Sedangkan Rara, gadis itu juga sebenarnya gelisah—takut tiba-tiba Gilang memaksakan kehendak dan meminta hak. Cari aman, gadis itu pun pura-pura memejam mata. Ia berbaring di sebelah Gilang dan tidak bergerak sama sekali.Tak tahan lagi, Gilang pun bergegas turun dari ranjang. Sebelum itu sempat memandangi wajah ayu Rara yang terlelap. Seharusnya ia mendapatkan haknya sebagai suami malam ini. Tapi juga tidak tega jika memaksakan kehendak. Ia takut Rara akan semakin membenci."Kamu, kamu bisa-bisanya tertidur," gumamnya pelan.Lelaki itu pun mendesah panjang, lalu mengambil handuk yang tergantung di pintu. Ia guyur b
Gilang tak henti tertawa saat mendengar alasan Rara menjerit tadi. Ia benar-benar tidak menyangka kalau ocehannya mengganggu Rara sampai-sampai gadis itu tidak tenang. Merasa diteror sepasang mata yang menyeramkan."Bisa berhenti?" geram Rara. Saat ini keduanya sedang di teras. Keduanya dilihat beberapa orang yang kebetulan berbelanja di toko. Beruntungnya ada karyawan yang melayani."Aku tidak menyangka kamu sepenakut itu," balas Gilang yang masih belum bisa mengenyahkan tawa."Jadi kamu berbohong?" sentak Rara. Matanya seperti biasa, sinis.Gilang pun menggelengkan kepalanya. "Aku benar. Kamar mandi itu memang tempat bersarangnya makhluk itu. Makanya kita dianjurkan berdoa saat masuk dan keluar kamar mandi."Rara diam. Seumur hidup tak pernah ia berdoa ketika masuk ataupun keluar dari kamar mandi. Dulu, saat SD memang ada pelajaran itu. Tapi sayang, tidak pernah ia amalkan."Coba ikuti aku," titah Gilang.Rara berdengkus. Pipinya serasa panas."Ikuti aku, Ra. Aku ajarkan doanya agar
"Nggak rugi kasih makanan sebanyak itu?" tanya Rara saat pintu Gilang tutup. "Dan juga aku perhatikan warung selalu tutup saat azan. Apa tidak rugi? Dan apa tidak keawalan menutup toko jam setengah enam sore?""Tidak. Justru untung. Ada tabungan buat di akhirat kelak," balas Gilang sembari memperlihatkan senyum yang khas. "Dan salat itu wajib, tidak boleh ditunda. Akan merugi. Makanya aku tutup saat azan. Rugi di dunia tidak sebanding dengan rugi di akhirat. Lagi pun alasan aku tutup sebelum maghrib agar bisa menemani kamu."Rara mendelik muak."Ya sudah, ayo kita ke dapur. Aku sudah siapkan makan malam. Kita makan sama-sama," lanjut lelaki itu lagi.Pasrah? Ya, Rara pasrah. Lagi pun sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Sudah waktunya makan malam.Rara menolehkan kepala dan menatap Gilang. Ia heran, terbuat dari apa hati lelaki itu. Satu kali pun tidak pernah marah. Tidak pernah pula berkata kasar. Rara ingat semingguan menikah dengan Gilang yang dilakukannya hanya duduk, diam