Setelah lumayan segar, Rara pun meraih kimono yang tergantung di gantungan dinding. Cukup susah ia menggapai kimono tersebut. Terlebih sekarang ia harus memakainya kimononya dengan mengeluarkan tenaga ekstra.Setelah hampir lima menit berujuang, barulah kimono itu membalut badannya dengan sempurna. Gadis itu sedikit mendengkus, sejenak ia mengutuk Gilang yang tak membiarkan Mba Sri menjadi baby sitternya lagi."Cih! Kalau bukan karena Gilang sialan itu, aku tidak mungkin menderita seperti ini," kesal Rara dengan gumaman. Gadis itu pun menarik napas sebelum berteriak."Gilang, aku sudah selesai!" serunya."Gilaaaang!"Suasana mendadak hening. Gilang tidak menyahut. Di luar juga tidak ada aktifitas apa pun yang terdengar."Apa jangan-jangan Gilang meninggalkanku?" Pikiran buruk melintas di benak Rara. Benarkah lelaki itu tega melakukan hal seperti itu kepadanya. Antara percaya dan tidak percaya. Rara pun mencoba memanggil Gilang sekali lagi."Gilaaaang, aku sudah selesai ini!" Lagi-lagi
"Mulai saat ini aku yang akan bertanggung jawab mengantar kamu kontrol ke rumah sakit," tutur Gilang sembari menggendong Rara, lantas membaringkannya ke pembaringan dengan perlahan."Tidak usah. Tidak perlu. Tidak berguna. Aku sudah melakukannya selama ini tapi percuma. Aku tidak bisa jalan lagi," balas Rara. Membuang muka."Ra, tidak boleh putus asa. Sebagai manusia kita wajib usaha, kita wajib …..""Berisik!" Rara tutup seluruh wajahnya dengan selimut. Hampir seratus persen, hanya menyisakan pucuk kepala saja.Gilang yang melihat itu hanya bisa tersenyum kecil. "Baiklah, aku akan minta jadwalnya pada mamamu.""Bodo amat!"Malam pertama yang harusnya dilewati dengan panas justru mereka lewati dengan saling diam. Atmosfer begitu kentara, terasa amat dingin. Belum lagi di luar sedang hujan deras. Dinginnya menusuk tulang, seakan selimut tebal tak mampu menghangatkan badan.Gilang jadi panas dingin tak karuan di sebelah Rara. Ia belingsatan, tidak ada posisi yang mampu buat lelaki itu t
Malam pertama yang harusnya dilewati dengan panas justru mereka lewati dengan saling diam. Atmosfer begitu kentara, terasa amat dingin. Belum lagi di luar sedang hujan deras. Dinginnya menusuk tulang, seakan selimut tebal tak mampu menghangatkan badan.Gilang jadi panas dingin tak karuan di sebelah Rara. Ia belingsatan, tidak ada posisi yang mampu buat lelaki itu terlelap. Sedangkan Rara, gadis itu juga sebenarnya gelisah—takut tiba-tiba Gilang memaksakan kehendak dan meminta hak. Cari aman, gadis itu pun pura-pura memejam mata. Ia berbaring di sebelah Gilang dan tidak bergerak sama sekali.Tak tahan lagi, Gilang pun bergegas turun dari ranjang. Sebelum itu sempat memandangi wajah ayu Rara yang terlelap. Seharusnya ia mendapatkan haknya sebagai suami malam ini. Tapi juga tidak tega jika memaksakan kehendak. Ia takut Rara akan semakin membenci."Kamu, kamu bisa-bisanya tertidur," gumamnya pelan.Lelaki itu pun mendesah panjang, lalu mengambil handuk yang tergantung di pintu. Ia guyur b
Gilang tak henti tertawa saat mendengar alasan Rara menjerit tadi. Ia benar-benar tidak menyangka kalau ocehannya mengganggu Rara sampai-sampai gadis itu tidak tenang. Merasa diteror sepasang mata yang menyeramkan."Bisa berhenti?" geram Rara. Saat ini keduanya sedang di teras. Keduanya dilihat beberapa orang yang kebetulan berbelanja di toko. Beruntungnya ada karyawan yang melayani."Aku tidak menyangka kamu sepenakut itu," balas Gilang yang masih belum bisa mengenyahkan tawa."Jadi kamu berbohong?" sentak Rara. Matanya seperti biasa, sinis.Gilang pun menggelengkan kepalanya. "Aku benar. Kamar mandi itu memang tempat bersarangnya makhluk itu. Makanya kita dianjurkan berdoa saat masuk dan keluar kamar mandi."Rara diam. Seumur hidup tak pernah ia berdoa ketika masuk ataupun keluar dari kamar mandi. Dulu, saat SD memang ada pelajaran itu. Tapi sayang, tidak pernah ia amalkan."Coba ikuti aku," titah Gilang.Rara berdengkus. Pipinya serasa panas."Ikuti aku, Ra. Aku ajarkan doanya agar
"Nggak rugi kasih makanan sebanyak itu?" tanya Rara saat pintu Gilang tutup. "Dan juga aku perhatikan warung selalu tutup saat azan. Apa tidak rugi? Dan apa tidak keawalan menutup toko jam setengah enam sore?""Tidak. Justru untung. Ada tabungan buat di akhirat kelak," balas Gilang sembari memperlihatkan senyum yang khas. "Dan salat itu wajib, tidak boleh ditunda. Akan merugi. Makanya aku tutup saat azan. Rugi di dunia tidak sebanding dengan rugi di akhirat. Lagi pun alasan aku tutup sebelum maghrib agar bisa menemani kamu."Rara mendelik muak."Ya sudah, ayo kita ke dapur. Aku sudah siapkan makan malam. Kita makan sama-sama," lanjut lelaki itu lagi.Pasrah? Ya, Rara pasrah. Lagi pun sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Sudah waktunya makan malam.Rara menolehkan kepala dan menatap Gilang. Ia heran, terbuat dari apa hati lelaki itu. Satu kali pun tidak pernah marah. Tidak pernah pula berkata kasar. Rara ingat semingguan menikah dengan Gilang yang dilakukannya hanya duduk, diam
Rara yang menatap depan pun kontan menatap Gilang, seakan ingin memastikan apakah ucapan lelaki itu benar. Apakah ucapan itu nyata atau ia hanya halu saja."Kalau kamu bosan di rumah kita bisa jalan-jalan ke luar, aku akan membawamu."Rara berdengkus. "Aku tidak butuh dikasihani! Kamu tidak perlu mengasihaniku karena terperangkap di rumahmu."Respon Gilang cuma gelengan kepala saja. Ia pegang tangan Rara tapi ditepis kasar."Cantik, jangan sekejam itu bicaranya. Aku tidak memenjarakanmu, apa aku menyiksamu? Tidak, 'kan? Aku bahkan menganggap kamu ratu di sini."Rara kembali berdengkusnya. Ia malas melayani Gilang yang kembali menjadi buaya. Ia putuskan menatap depan dan menonton berita."Ra, aku memang tidak kaya, tapi paling tidak aku bisa memberikanmu sesuatu. Kamu ingin apa?"Mata Rara kembali terarah ke Gilang. Ia menatap saat lelaki itu menatap depan. Saat ini Rara bisa melihat cetakan wajah Gilang. Jelas dan nyata. Dari samping begitu lelaki itu terlihat tampan, hidungnya bangir
Setibanya di pusat perbelanjaan.Seperti biasa Gilang akan membantu Rara. Ia ambil kursi roda dan mendudukkan istrinya itu, setelahnya mereka bersama masuk ke dalam gedung tersebut."Apa ada yang ingin kamu beli?" tanya Gilang.Rara menggeleng. Ia ke sana bukan untuk berbelanja. Hanya mengusir jenuh saja makanya setuju diajak Gilang keluar."Benar tidak ada yang minat? Bagaimana dengan camilan?"Rara kembali menggelengkan kepala. "Di rumah ada banyak. Lagi pun aku tidak ingin ada yang protes karena aku tambah berat."Di belakang Gilang cuma cekikikan, tidak menyangka kalau Rara memiliki sifat dendam. Padahal niatnya waktu itu hanya ingin menggoda.Rara diam, matanya awas melihat sekeliling. Begitu ramai pengunjung yang berlalu-lalang. Mereka sibuk dengan keluarganya, ada juga yang sibuk memilih baju. Di samping itu mereka juga menatap aneh ke Rara. Mungkin hanya Rara yang di dorong dengan kursi roda."Mereka menatap karena kamu cantik," bisik Gilang yang sadar kalau Rara mulai tidak n
"Ra, buka pintunya!" teriak Gilang. Ia mulai panik dan terus mengetuk pintu berharap Rara buka.Sayang, harapan cuma jadi harapan pasalnya pintu tetap tertutup rapat. Bahkan bunyi-bunyian yang ada di dalam makin nyaring saja.Tak bisa menunggu lagi, Gilang pun menerjang pintu yang dikunci dari dalam. Ia tendang berkali-kali pintu itu hingga akhirnya terbuka. Setelahnya menghambur diri dan memeluk Rara. Istrinya itu tampak mengerikan. Rambutnya acak-acakan. Keadaan kamar juga tak kalah berantakan. Ia peluk Rara dan melempar buku tebal yang ada di tangan Rara. Tadi istrinya itu memukul kaki sendiri dengan buku itu."Ra, kamu tenang. Istighfar."Sayang, Rara yang masih kalut tidak mengindahkan. Ia malah meraung makin nyaring dalam dekapan Gilang. Rasa marah, frustrasi dan benci menggumpal jadi satu membuat gadis itu tidak bisa apa-apa selain menangis."Istighfar. Ini cobaan. Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuan," ucap Gilang lagi. Ia dekap makin erat kepala Rara. Se