Guzel merasakan remasan kuat di bahunya. Kemudian, ia menoleh ke samping dengan sedikit mengangkat kepalanya menatap sang suami. Terlihat, Serkan tidak kalah terkejutnya dibanding Guzel. Manik matanya membulat sempurna dan memerah.Serkan tahu betul seperti apa sosok Derya meski hanya pernah melihatnya satu kali ketika menyelamatkannya. Manik mata elangnya meneliti setiap jengkal tubuh pria yang kini ada di hadapannya."Aku yakin dia bukan Derya. Aku harus mencari tahu siapa dia sebenarnya," batin Serkan penuh tekad.Memang sosok pria di depannya ini sangat mirip, bahkan bisa dibilang seperti orang yang sama. Namun, ia tidak bisa percaya begitu saja. Ia tahu dengan jelas tujuan kemunculan Derya hanya satu yaitu menghancurkan rumah tangganya dengan Guzel."Mas?" Tatapan mata Guzel seolah sedang memanggil suaminya.Tangan wanita itu bergerak memeluk pinggang suaminya berusaha untuk meyakinkan. Meski Derya ada di depan matanya, hal itu tidak akan merubah apa pun. Cintanya, hubungan perni
Mendengar ucapan Derya membuat jantung Serkan berdegup kencang. Bagaimana kalau rencana pria itu untuk memisahkannya dengan Guzel berhasil? Lalu, bagaimana dengannya? Ia tidak akan bisa hidup jika tanpa Guzel di sisinya."Cukup!" geram Guzel membentak.Ia melepaskan tangan Serkan dan bergerak ke depan di mana posisi berdiri sebelumnya. Dadanya bergerak naik-turun dengan nafas yang bergerak cepat. Manik matanya membola dan memerah."Kau bukan Mas Derya," kata Guzel dengan penekanan di setiap kata.Bukan tanpa alasan Guzel langsung menuduh kalau pria yang ada di hadapannya kini bukan Derya, suami pertamanya. Derya yang ia kenal adalah pria tulus yang selalu rela mengorbankan diri demi menyelamatkan nyawa orang lain. Bukannya menyalahkan atas apa yang telah menjadi keputusannya."Apa maksudmu berkata seperti itu, Sayang? Kenapa sejak tadi kau menyuruhku sebagai orang lain?" tanya Derya kecewa."Menyelamatkan nyawa orang adalah tugas dari seorang petugas pemadam kebakaran. Mas Derya perna
Beberapa hari kemudian setelah dirawat dan pulang dari rumah sakit, kondisi Guzel sudah membaik. Janin yang ada di dalam kandungannya pun masih bertahan dengan sangat kuat. Meskipun demikian, wanita itu lebih berhati-hati mengingat hampir kehilangan calon buah hatinya."Mas," panggil Guzel.Selama dalam masa pemulihan, Serkan tidak pernah meninggalkan istrinya meski hanya sebentar. Semua pekerjaan ia urus di rumah, lebih tepatnya di samping istri tercinta. Ia takut Guzel membutuhkan sesuatu dan ia tidak ada di sisinya. Apalagi pesan dokter yang mengatakan bahwa Guzel harus istirahat total, yang artinya tidak boleh melakukan aktivitas apa pun."Kenapa, Sayang?" Serkan meletakkan dokumen dan langsung memeluk istrinya."Aku sudah merasa lebih baik. Tubuhku juga sudah terasa lebih segar," sahut Guzel memiliki sebuah arti.Pria tampan tanpa cela itu mengangguk dan berkata, "Ya, lalu?""Bisakah kita pergi olahraga ke luar untuk mencari udara segar dan vitamin D?" sahut Guzel menjelaskan.Ia
Manik mata Serkan terbelalak mendengar permintaan istrinya. Bagaimana bisa Guzel memintanya agar memberi izin tinggal di rumah lama, di mana Dilara dan pria yang mengaku Derya tinggal? Apalagi sebelumnya, sang istri pernah mengalami pendarahan dan hampir kehilangan calon anak mereka."Aku tidak salah dengar 'kan, Sayang?" tanya Serkan tidak percaya. Barangkali saja pendengarannya memang salah. Jadi, ia berusaha memastikan."Tidak, Mas, aku serius. Aku ingin menjadi detektif tanpa pria itu sadari," sanggah Guzel mantap.Jika ia tinggal bersama dengan pria yang mengaku menjadi suami pertamanya yang telah meninggal lima tahun silam. Ia yakin seratus persen akan mengetahui perbedaan mereka. Entah dari sikap, kebiasaan, dan lain sebagainya."Maaf, aku tidak bisa mengizinkan," ujar Serkan lirih.Baru bertemu kurang dari lima belas menit saja ia hampir kehilangan calon anaknya. Apalagi kalau Guzel sampai tinggal di sana selama berhari-hari. Tidak. Serkan tidak bisa mengambil resiko lebih bur
"Mama." Dilara berlari keluar dan langsung memeluk ibunya, "Apa Mama sudah memutuskan untuk tinggal di sini bersama Lara dan Papa?" imbuhnya bertanya."Iya," sahut Guzel singkat. Ia membalas pelukan putrinya dengan manik mata yang menggerilya meneliti isi rumah."Ngomong-ngomong, Mama ke sini sama siapa?" tanya Dilara sambil menjauhkan tubuhnya.Manik mata gadis itu meneliti area luar rumah. Berharap bisa melihat sosok ayah tirinya dengan raut sedih. Namun sayang, pria itu justru tidak ada di sana."Papa Serkan." Guzel malas berbicara panjang lebar takut Derya jadi-jadian mendengarnya."Apa?!" teriak Dilara terkejut."Kenapa ekspresimu berlebihan begitu?" Guzel melangkah masuk ke dalam sambil menarik koper. Menoleh ke kanan dan kiri mencari sosok pria yang mengaku sebagai suami pertamanya."Dia ada di mana?" lanjutnya."Dia siapa? Apa maksud Mama, Papa?" Alih-alih menjawab, Dilara justru balik bertanya."Iya, Sayang. Memangnya siapa lagi?" sahut Guzel malas.Kakinya melangkah masuk k
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Derya dingin.Melihat Guzel ada di sana, harusnya pria itu bertanya atau sekedar menunjukkan rasa bahagianya. Namun, ia justru terlihat sangat cuek. Berbeda sekali dengan sikapnya waktu itu ketika pertama kali Guzel pulang."Tidak. Aku lihat, rambut, kumis, dan jenggotmu sudah terlalu panjang. Apa tidak sebaiknya kau cukur?"Sebenarnya, tidak terpikirkan oleh Guzel untuk berkata seperti itu. Ia hanya sudah tidak sabar melihat pria itu menikmati ayam kecap buatannya. Akan tetapi, sikapnya itu justru membuat pria jadi-jadian curiga."Baiklah, tapi aku ingin kau yang mencukur rambutku," kata Derya sambil tersenyum."Aku tidak bisa melakukannya, Mas. Nanti siang pergi ke tukang cukur langganan saja."Meski ia bisa sekalipun, ia tidak akan pernah melakukannya. Apalagi ada kamera tersembunyi dan alat sadap yang bisa mendengar setiap percakapannya. Ia yakin, Serkan sedang melihat dan mendengar adegan ini. Jadi, ia tidak ingin membuat sang suami marah
"I-iya," sahut Guzel sambil perlahan memencet tombol merah tanpa berpamitan.Ia benar-benar takut Derya jadi-jadian akan mendengar pembicaraannya dan semua rencana yang telah ia buat gagal. Lalu, bagaimana bisa ia menendang pria itu keluar dari rumahnya jika hal itu sampai terjadi?"Apa kau sudah selesai? Kalau sudah, ayo kita pulang," tanya Derya dengan raut biasa.Melihat ekspresi datar pria yang sangat mirip dengan mendiang suami pertamanya, membuat Guzel menghembuskan napas lega. Memasukkan ponselnya ke dalam sling bag sebelum dicurigai."Iya, sudah." Guzel bergegas melangkah mendekat, "Ayo kita pulang!" imbuhnya melangkah lebih dulu.Akhirnya, Derya berjalan mengikuti Guzel dari belakang. Perlahan, ia mensejajarkan langkahnya dan meraih tangan Guzel hingga menggenggam.Awalnya Guzel cukup terkejut, tetapi ia berusaha sedatar mungkin. Tidak mungkin jika ia menolak dan membuat pria itu curiga.***Empat hari berlalu dan Guzel belum menemukan bukti lain. Derya jadi-jadian terlihat b
Keesokan harinya, tepat pukul enam pagi, Serkan sudah ada di depan pintu rumah Guzel dan mendiang suami pertamanya. Sejak semalam, ia tidak bisa tidur karena ingin mengusir Derya jadi-jadian menggunakan semua bukti yang telah didapat.Pria itu mengulurkan tangan dan mengetuk pintu beberapa kali. Sepersekian detik kemudian, Lara membuka pintu dengan terkejut."Mas Serkan. Ada apa pagi-pagi sekali datang ke sini?" Gadis itu tersenyum cerah seperti matahari yang bersinar di pagi hari."Papa bukan mas." Serkan mengoreksi dengan nada dingin, "Di mana Guzel?" imbuhnya bertanya sambil melongok ke dalam."Mama sedang sibuk memasak di dapur," sahut Dilara ketus.Sudah lama tidak bertemu dan rasa rindunya telah terobati. Namun, kebahagiaan itu musnah begitu saja mendengar Serkan menyebut nama Guzel.Daripada berhadapan dengan Dilara, tanpa berkata lebih Serkan masuk ke dalam melewati gadis itu. Rasanya percuma berbicara dengan anak tiri yang tidak memiliki sopan santun itu. Ia takut kesalahpaha
Dilara seolah menerima perlakuan Gregory, padahal ia berusaha menahan. Awalnya ia ingin mendorong tubuh pria itu menjauh, tetapi takut tekanan yang dibuat akan membuat ayah kedua anaknya kesakitan.Meskipun demikian, lama-kelamaan ia mulai terlena. Tanpa sadar meresapi dan membuka mulutnya secara perlahan memberi akses Gregory untuk menjelajahi setiap rongga mulutnya.Ketika napas keduanya memburu, keringat gairah menyelimuti, Gregory menjauhkan kepalanya. Bola mata berkabutnya menatap netra cantik Dilara yang sama berkabutnya dengannya."Bisakah kita melakukannya?" tanya Gregory dengan suara serak."Hah? Apa?" Dilara tersentak kaget mendengar pertanyaan Gregory. Ia sampai melangkah mundur dengan tidak seimbang."Tidak, tidak ada." Gregory menggeleng sambil tersenyum.Bisa lebih banyak interaksi dan sampai berciuman saja sudah membuat Gregory sangat bahagia. Jadi meski ingin, ia tidak boleh terlalu terburu-buru. Sedikit menahannya tidaklah sulit, sementara selama ini ia bisa menunggu
"Pagi, Sayang," sapa Gregory dengan suara renyah.Semalam setelah mengetahui Satya mengatakan tentang kondisinya pada Dilara, Gregory tidak bisa tenang. Sekedar untuk menutup mata dan tidur saja kesulitan. Pikirannya kacau takut membuat anak-anaknya khawatir. Jadi tepat pukul tiga pagi, ia meminta Satya agar mengantarnya pulang. Kini, di sanalah pria dua anak itu berada. Berdiri di depan pintu ruang meja makan menatap tiga orang tercintanya.Sontak, semua orang yang ada di meja makan menoleh ke asal suara. Manik mata si kembar terlihat berbinar-binar. Mereka beranjak berdiri dan mendorong kursi ke belakang."Daddy!" teriak si kembar bersamaan sambil berlari mendekat.Melihat betapa antusias kedua putranya, muncul guratan khawatir di wajah Dilara. Ia ingat betul luka yang Gregory alami ada di dada kiri. Kemudian, lekas beranjak mengejar Shine dan Shane berusaha melindungi Gregory dengan cara berdiri membentangkan kedua tangan tepat di depan tubuh pria itu."Mommy, Shine mau peluk Daddy
Satu minggu kemudian.Waktu menunjukkan pukul delapan malam dan saat ini si kembar sedang berbaring mengapit ibunya di kamar tamu, tempat Dilara menghabiskan malam selama tinggal di rumah Gregory."Mommy, Shine rindu Daddy," rengek Shine."Shane juga, Mommy," kata Shane menimpali."Iya, Sayang, mommy tahu." Dilara menatap kedua putranya sendu secara bergantian.Ia tahu betul bagaimana perasaan Shine dan Shane. Setiap saat mereka akan mempertanyakan perihal ayahnya. Tidak berhenti menatap ponsel dengan gelisah hanya menunggu ayah mereka menelepon atau melakukan panggilan video. Tidak fokus dalam bermain dan terlihat lesu. Tidak nafsu makan, bahkan lebih sering melamun."Bukankah sudah waktunya Daddy pulang? Tapi kenapa sudah semalam ini belum juga sampai?" Shine mengangkat kepala menatap sang ibu.Sejak pertama kali Gregory pergi, pria mungil itu sibuk menghitung hari. Rasanya tidak sabar ingin berkumpul bersama sang ayah dan bermanja-manja."Iya, benar. Seharusnya Daddy pulang sejak p
"Menjauh, menjauh dariku!" Dilara menggerak-gerakkan kepalanya tidak sudi."Diam atau kau akan menyesal, Lara!" ancam Gregory.Sontak, Dilara langsung terdiam. Sementara itu, Gregory merapikan rambutnya yang berantakan. Pada kesempatan ini, Dilara menyentuh dada bidang Gregory dan mendorongnya. Tidak bisa dibayangkan kalau sampai pria itu berbuat nekat. Bahkan ia sendiri tidak berani membayangkannya."Aku memang bilang begitu, tapi kau tidak mau menurut. Jadi, jangan salahkan aku." Gregory mendekatkan wajahnya setelah tersenyum menyeringai. Ia tidak bisa menahan lagi untuk tidak mengecup bibir merah Dilara."Oke-oke, aku mengaku salah. Sekarang berbaringlah dan aku akan menemanimu tidur dengan tenang," ujar Dilara menyerah.Selain mengalah, tidak ada yang bisa Dilara lakukan. Posisinya tidak ada yang menguntungkan dan justru ia akan menyesal jika salah bertindak."Tidak. Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja," tolak Gregory tanpa bergerak sedikit pun."Astaga, Om Greg. Berbaringlah
"Lepas, turunkan aku! Turunkan aku, Om Greg!" teriak Dilara histeris. Tangannya bergerak memukuli Gregory dan kakinya diayun kuat-kuat.Tanpa menghiraukan pergerakan Dilara, Gregory masuk ke dalam kamar mandi. Meletakkan wanita itu di wastafel dan tersenyum lembut."Sebentar ya, mommy-nya anak-anak. Daddy-nya anak-anak akan menyiapkan air hangat agar kau bisa berendam dengan nyaman."Dengan napas yang memburu, Dilara merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan. Mengingat pikiran kotornya membuat pipinya memerah. Padahal Gregory tidak melakukan apa pun selain membawanya ke kamar mandi."Tidak perlu. Aku tidak ingin berendam. Lebih baik kau keluar sekarang," sanggah Dilara ketus."Ya sudah, terserah kau saja. Kalau begitu, aku keluar dulu," pamit Gregory.Pria itu langsung keluar dengan jantung yang berdegup kencang. Ingin sekali melakukan hal liar dengan Dilara di kamar mandi, tetapi belum berani. Jadi, ia hanya bisa membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil membayangkan ma
"Apa yang kau lakukan, Om Greg?! bentak Dilara panik. Ia bergegas duduk dan menjauh sedangkan Gregory tetap berbaring.Raut wajahnya menunjukkan rasa takut yang teramat. Bagaimana tidak? Pria itu memintanya untuk menemani tidur. Pria dan wanita dewasa di dalam kamar di malam hari, kalau bukan untuk melakukan hal itu lalu apa lagi?"Astaga, Lara! Sikapmu ini seolah aku memintamu untuk melayaniku," ujar Gregory menggeleng tidak habis pikir."Lalu, apa lagi? Bukankah itu yang ada di isi kepalamu?" tanya Dilara nyalang."Astaga." Gregory mendesah keras sambil mencengkeram rambutnya frustasi.Kalau boleh, memang ia ingin melakukannya. Namun, tidak sekarang melainkan nanti setelah Dilara benar-benar mau menerima dan menikah dengannya."Kemarilah!" Gregory menepuk-nepuk kasur sebelahnya."Tidak!" tolak Dilara tegas. Duduk bersandar kepala ranjang sambil memeluk lututnya."Mau ke mari atau aku paksa?" ancam Gregory.Dilara menggeleng cepat. Napasnya bergerak cepat dengan tubuh bergetar yang s
Tidak ingin membiarkan Gregory berbuat lebih dan mempermalukannya, Dilara menyentuh dada bidang pria itu dan mendorongnya menjauh. Menatap si kembar bergantian sebelum memusatkan atensinya pada pria tidak tahu malu itu. Dengan napas yang tersengal dan dada yang bergerak naik turun, bola matanya memerah juga membola. "Apa yang Om Greg lakukan?" tanya Dilara berbisik sambil menggertakkan gigi menahan amarah."Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya melakukan sesuatu yang memang ingin aku lakukan," sahut Gregory malas.Ia berkata tidak melakukan apa-apa, tetapi mengatakan sesuatu yang memang ingin sekali dilakukan."Lakukan apa pun sesuka hatimu dan jangan lakukan itu padaku," ujar Dilara geram. Wanita itu mengusap bibirnya kasar berusaha menghapus jejak bibir lembab ayah kedua anaknya. Ia benar-benar tidak menyangka Gregory akan berbuat tidak tahu malu seperti itu padanya."Tidak bisa. Aku tipe pria setia dan tidak bisa menyentuh wanita lain yang tidak aku cintai," tolak Gregory tegas."Cu
["Jangan gila, Om Greg!""Ya sudah, aku bangunkan anak-anak dan langsung menjemputmu."["Tidak, jangan."Tidak mungkin ia membiarkan Gregory membangunkan Shine dan Shane yang sedang tidur. Apalagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Akan tetapi, ia juga tidak bisa membiarkan dirinya menginap di rumah pria itu. Kalau tidak menginap, anak-anak akan marah karena tidak ada ibunya di sana setelah bangun nanti."Jadi, aku harus bagaimana sekarang?" tanya Gregory berpura-pura bingung.["Oke. Kau suruh supir saja untuk menjemputku.""Lalu? Kau akan menginap di sini atau mau diantar pulang?" Gregory berusaha menekan kuat-kuat kebahagiaannya dengan bersikap datar. Pasalnya ia sudah tahu pilihan apa yang akan Dilara ambil. Jika bukan memilih menginap, lalu apa lagi?["Aku akan menginap, tapi kau tidak boleh macam-macam.""Tidak akan. Ya sudah, akan kukirim supir untukmu."Sepersekian detik, Dilara mengakhiri panggilan. Saat ini, Gregory berusaha menekan rasa bahagianya. Melip
["Hari ini aku tidak bisa pulang tepat waktu karena rekan kerja lawan shift-ku tidak masuk. Jadi, bisakah kau mengurus anak-anak untuk malam ini saja?""Tidak masalah. Bukankah sebelumnya aku sudah bilang kalau--."["Aku tahu. Untuk masalah ini, kita bicarakan nanti malam saja setelah pekerjaanku selesai."Awalnya, Dilara memang ingin membicarakan tentang hal itu. Namun, kejadian yang tak disangka-sangka justru terjadi dan ia terpaksa harus meminta tolong pada Gregory sebelum membahasnya."Baiklah. Jadi, apa aku perlu membawa anak-anak pulang sekarang atau nanti?"Gregory pikir, apa bedanya sekarang dan nanti pukul lima. Lagi pula, si kembar akan tetap ikut bersamanya pulang ke rumah selama beberapa jam.["Terserah kau saja, tapi menurutku sekarang lebih baik karena anak-anak terlihat sangat kelelahan.""Oke. Kalau begitu, aku dan anak-anak pulang dulu. Kau kabari saja satu jam sebelum pulang agar aku tidak terlambat menjemput."["Ya. Titip salam buat anak-anak. Aku tidak bisa ke depa