Share

02. Kepanikan

Udara pagi sangat menyejukkan, membuat hati Tari sedikit rileks, walaupun masih ada rasa gelisah.

Setelah salat subuh, Tari bergegas meninggalkan kamar hotel untuk melakukan tugasnya sebagai reporter lapangan.

Awalnya Tari hanya lulusan SMK sederajat, dia sangat malas untuk kuliah namun setelah melihat di televisi seorang reporter yang mampu membawakan berita dalam suasana genting memacu adrenalinnya untuk mengetahui lebih dalam bidang jurnalistik.

Mentari Khairunnafiza dua puluh empat tahun, seorang gadis cantik, berambut cepak, berlesung pipit, hidung mancung, bibir tipis, bentuk wajah oval.

Selain sebagai reporter hobi memasak adalah kesukaannya tapi dia nggak suka makan yang bahannya dari ayam, selain itu Tari bisa juga melukis jika ada waktu senggang, benci warna merah muda karena menurutnya terlalu feminin.

Mentari adalah gadis tomboi, suka dengan keramaian, humoris, mudah bergaul sehingga banyak teman yang menyukainya. Hidup di keluarga yang broken home tak membuatnya minder.

Kedua orang tuanya sudah lama berpisah saat Tari masih berumur lima  tahun, membuat sosok Tari dari yang manja kini sudah membiasakan mandiri.

Melanie dan Mentari lebih memilih tinggal bersama omanya, karena mereka sangat membenci kedua orang tuanya sendiri yang sama-sama ketahuan berselingkuh.

Bayangan itu selalu datang setiap saat, bila mereka bertemu kedua orang tuanya.

Nasi telah menjadi bubur, begitu juga dengan keretakan suatu hubungan. Sedikit saja ada yang berlubang jika tidak diperbaiki, lama-lama lubang itu akan semakin membesar.

Ibu Arumi bekerja sebagai sekretaris sebuah perusahaan ternama sedangkan Pak Arsyad Dwiguna papahnya Mentari adalah seorang pebisnis sukses.

Kedua orang tua Mentari sangat sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sehingga pola asuh anak mereka di ambil alih langsung oleh omanya yang terkenal disiplin dari bayi  sampai Melanie berumur lima belas tahun.

Namun setelah omanya meninggal kini Melanie yang bekerja keras mencukupi kebutuhan mereka berdua.

Melanie tidak ingin membebani kedua orang tuanya karena merasa sudah tidak dianggap lagi sebagai anak, lantaran mereka berdua sudah menikah lagi.

Kini orang tua mereka hidup bahagia dengan keluarga barunya masing-masing tanpa memedulikan perasaan Melanie dan Mentari.

Melanie memang sering menerima uang pemberian dari mamah maupun papahnya setiap sebulan sekali dalam jumlah yang besar, namun Melanie selalu memberikannya ke panti asuhan untuk dikelola oleh pengurus panti.

Baginya bukan uang yang dia minta, tetapi kasih sayang yang dia minta, begitu juga dengan Mentari kecil masih sangat membutuhkan belaian kasih sayang dan cinta, tetapi tidak bisa dia dapatkan lagi karena mereka lebih sayang dengan keluarga barunya itu.

Melanie pun terpaksa mencari pekerjaan apa saja yang penting halal, bahkan menjadi buruh cuci sekalipun.

Melihat kakaknya bekerja, Mentari tidak segan-segan membantu kakaknya, dia pun kadang-kadang setelah pulang sekolah membantu di warung makan untuk sekedar mendapat uang tambahan.

Mentari sangat menyayangi kakaknya yang mau mengurus dan membesarkan dirinya, tak pernah Melanie berkata kasar atau memarahinya, malah Melanie sebisa mungkin bisa meredam amarahnya dalam hati agar Mentari tidak merasa sendirian.

Banyak warga mencemooh mereka, lantaran mereka sudah membuat aib di lingkungan masyarakat karena perbuatan orang tuanya.

Bahkan keluarga ikut menjauh karena takut mendapatkan kesialan, tetapi lagi-lagi uang yang berbicara, mereka takluk dengan uang sehingga bagi Melanie dan Mentari berpikir kalau keluarganya sama saja bisa dibeli dengan uang.

Namun tidak semuanya bertindak kasar kepada mereka, karena mereka hannyalah korban dari perceraian orang tua yang sama-sama berselingkuh.

Sepuluh tahun kemudian ...

Mentari tumbuh seperti gadis pada umumnya dan tomboi namun  jika dia disakiti atau dibohongi dia akan membencinya seumur hidup, tetapi dibalik semua itu dia sangat penyayang dan rela berkorban untuk orang yang disayanginya.

Berbanding terbalik dengan sang kakak yang begitu pendiam tetapi murah senyum.

Dengan kelembutan dan kasih sayang dari kakaknya kini Mentari selalu mementingkan kakaknya terlebih dahulu daripada dirinya sendiri.

Melanie banyak berkorban untuk Mentari adiknya, dia rela tidak melanjutkan kuliahnya lantaran harus membanting tulang bekerja untuk memenuhi kebutuhan Mentari.

Berkat kegigihannya akhirnya Melanie bisa membuka sebuah toko kue yang cukup besar,  hanya sebagai buruh cuci dia bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung agar bisa berjualan kue.

Dari situlah Mentari bisa berkuliah dan berhasil  menjadi reporter lapangan sesuai yang dia inginkan.

 

***

Mereka pun sebenarnya sudah tidak peduli lagi dengan orang tua kandungnya, namun setelah mendapat telepon dari mamahnya lagi yang baru muncul dan bersama kakaknya yang sudah terbaring lemah di rumah sakit membuat Tari menjadi bingung.

“Hey kok melamun pagi-pagi nanti kesambet loh!” goda Dafa mencairkan suasana.

“Eh nggak lah, aku juga bingung aja kok bisa ya mamah ada sama mbak Lanie, padahal kami jarang bertemu mamah semenjak beliau mempunyai keluarga barunya itu?” tanya Tari penasaran.

“Iya juga sih, mungkin saat itu Tante Arumi datang ke rumahmu dan melihat mbak Lanie sudah pingsan kali,” jawab Dafa santai.

“Bisa juga sih, cuma aku dari tadi menghubungi mbak Lanie tidak bisa, ponselnya tidak aktif,” ucap Tari tertunduk lesu.

“Kenapa kamu nggak menghubungi Tante Arumi saja, bagaimanapun juga beliau tetap mamah kandungmu Tar,” sahut Dafa menjelaskan.

“Malas ah.”

“Sudah yuk, tunggu apa lagi?”

“Kita langsung ke kampus?” tanya Tari.

“Iya sekalian kita lihat persiapan di sana, aku dengar ada seorang pengusaha tajir yang akan mengisi acara itu loh,” ucap Dafa.

“Dia sebagai contoh pengusaha muda yang berprestasi dalam bisnis, makanya dia di undang sebagai pembicara atau tamu undangan untuk mengupas tuntas, sepak terjangnya atau kunci sukses menjadi pengusaha yang handal,” jelas Dafa.

“Memang siapa namanya aku nggak kenal tuh?” tanya Tari sembari mencoba menelepon pacarnya yang sedari tadi malam sampai sekarang susah untuk di hubungi.

“Kalau nggak salah namanya Fajar Ali Wardana usianya baru tiga puluh dua tahun tetapi sudah memiliki empat perusahaan yang dia bangun sendiri dari nol,” cerca Dafa.

“Selain itu dia seorang dosen kalau nggak salah mengajar kelas manajemen marketing, hebat banget itu orang,” lanjutnya bersemangat.

“Sudah tajir melintir, muda, tampan, pengusaha lagi, dan yang pasti kalau wanita melihatnya langsung jatuh cinta, tapi sayang orangnya jutek, cool, penuh misteri,” lanjutnya lagi.

“Kamu dengar nggak sih yang aku omong?” tanya Daffa sedikit kesal melihat Tari sibuk dengan ponselnya.

“Iya bawel, aku ini dari tadi tidak bisa menghubungi Bang Ammar, ke mana sih dia susah banget?” jawabnya kesal.

“Aduh namanya juga anak band, kecapean kali makanya masih tidur,” sahut Dafa yang tidak suka dengan pacar sepupunya itu.

“Jadi bagaimana dong kalau kita pulang ke Jakarta nanti sore, sedangkan dia  tahu kalau kita di sini sampai lusa nanti dia bisa marah kalau mendadak pulang?” tanya  Tari khawatir.

“Alah tinggalin saja pacarmu itu anak band apaan, nggak terkenal juga, kaya juga dari orang tuanya, nah beda dengan laki-laki yang akan kita wawancara nanti,” sahut Dafa yang sangat antusias dengan pria misterius itu.

“Pacarmu itu anak manja, masa kamu kerja ke sini ngikut juga alasan juga diundang kampus lah, dia itu seperti nggak percaya saja sama kamu, betah banget sih sama dia?” gerutu Dafa.

Namanya juga cinta, apa bedanya sama si Nisa pacarmu itu, ngintil juga sampai ke sini,” kilah Tari tak mau kalah dengan sepupunya itu.

“Lah kalau Nisa rumah orang tuanya kan di sini, jadi sekalian dong bersilahturahmi dengan calon mertua,” sahut Dafa semringah.

“Sudah yuk, kita berangkat dan bertemu pengusaha itu, pasti kamu klepek-klepek kalau sudah lihat orangnya,” lanjutnya lagi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status