Darah segar keluar, bercucuran dari kaki kanan Galen.
"Arghh!" Galen teriak tertahan saat sebuah pisau menghujam tepat di kaki kanannya.Gretta mencabutnya lagi, dan memasukan pisau itu ke balik bajunya seperti semula. Dia sudah cukup puas melihat Galen tak berdaya saat ini."Itulah akibatnya jika kau terlalu ikut campur urusan orang lain!"Setelah mengatakan itu, Gretta kembali menginjak dengan kasar kaki Galen yang terluka. Membuat Galen semakin teriak kesakitan. Setelah cukup puas, Gretta bergegas masuk ke mobilnya.Wanita itu mulai mengejar Liona yang sudah cukup jauh.Galen ingin menahannya lagi, namun kekuatannya sudah terkuras. Dia tak punya cara lain, selain pasrah melihat Gretta pergi.Di tengah jalanan sunyi malam itu, Galen hanya bisa menahan sakit yang menjadi di kedua kakinya. Dia ingin merayap meraih tongkatnya, namun sepertinya juga mustahil dia bisa berdiri lagi.Sorot matanya kini kembali mWajah Galen semakin pucat. Dia telah banyak kehilangan darah. Galen hanya pasrah, jika sebentar lagi dia akan menyusul supir pribadinya ke surga.Namun sebuah mobil akhirnya datang, dan berhenti di hadapannya. Sepasang suami istri keluar dari mobil tersebut. Dengan raut panik, mereka langsung menghampiri Galen. "Galen!"Bram dan Sandra berjongkok di samping Galen, memperhatikan kondisi sang anak dengan seksama."Apa yang terjadi padamu?" tanya Bram khawatir. Belum sempat Galen menjawab pertanyaan Bram. Perhatian Sandra justru teralihkan pada sang supir yang sudah tergeletak kaku tak jauh dari mereka. "Papa, liat itu!"Bram menoleh, dan mendapati jasad sang supir. Matanya membelalak tak menyangka. "Apa yang telah terjadi pada kalian Galen?""Gretta yang melakukan semua ini. Kami ingin menolong Liona, tapi hal itu membuat Gretta marah. Dan inilah yang terjadi."Sandra menggeleng tak percaya.
Tangan yang sejak tadi sudah gemetar, terus mencengkram setir mobil dengan erat.Liona masih terisak, karena takut. Walau pandangannya sedikit buram karena genangan air mata, namun dia masih bisa melihat dari spion mobil jika mobil Gretta kini mengikutinya dari belakang. Liona menginjak pedal gas mobilnya, menambak laju kecepatan mobil yang dia tumpangi itu. Sedikitpun tak memberi celah untuk Gretta yang ingin menyalipnya. 'Sehan kamu di mana?'Liona semaki takut. Dia tak mau nyawanya berakhir hari ini. Namun usaha Liona untuk menghindar justru berakhir sia-sia. Mobil yang sejak tadi membuntutinya, kini berhasil menyalip Liona dan menabrak mobil yang dikendarai Liona dari samping. Membuat Liona terpaksa untuk membanting setir ke kanan, dan membuat mobilnya akhirnya berhenti karena menabrak pembatas jalan. Liona tau, jalanan malam itu sangat sunyi. Tidak mungkin ada seseorang lewat yang bisa dia mintai tolong.
Satu langkah lebih mendekat dengan Gretta. Tak peduli dengan darah yang terus keluar dari perutnya, Sehan hanya memfokuskan pandangannya pada Gretta dengan tatapan tajam."Aku sudah peringatkan padamu. Sebelum kau melukai Liona, aku akan lebih dulu melenyapkanmu."Satu sudut bibir Gretta terangkat. Tersenyum mengejek, setelah mendengar ancaman Sehan barusan. "Apa kau yakin akan membunuhku dengan kondisimu seperti ini? Atau, kau yang lebih dulu -"Kalimat Gretta terpotong, saat Sehan tiba-tiba mencengkram dengan erat leher wanita itu. Liona tersentak kaget melihat apa yang dilakukan sang suami, kepada Gretta. Dia segera menutup mulutnya, dan berusaha menenangkan diri."Ini yang baru saja kau lakukan pada Liona. Bagaimana rasanya?" tanya Sehan dengan nada bengis. Mulut Gretta sudah terbuka. Dia ingin menjawab ucapan Sehan, namun suara tak bisa dikeluarkan. Cengkraman Sehan di lehernya terlalu kuat, bahkan membuat Gretta
"Sehan! Sehan sadarlah!" tangis Liona pecah seketika. Dia menggoncangkan tubuh Sehan dengan pelan. Berharap dengan itu bisa membuat Sehan membuka matanya kembali. Namun Sehan sama sekali tak ada respon. Laki-laki itu telah kehilangan kesadaran. "Sehan, jangan tinggalkan aku! Buka matamu. Sehan aku mohon!"Liona menangis histeris, di bawah langit malam yang semakin petang. Pandangan Liona kini mengarah pada luka di perut laki-laki itu yang terus mengeluarkan darah. Tangan Liona yang semakin gemetar, berusaha menekan luka tersebut. Berharap itu bisa membantu mencegah banyaknya darah yang keluar. Hanya itu yang bisa Liona lakukan sampai pertolongan datang. Entah, benarkah akan ada orang yang menolong mereka? Liona ingin membawa Sehan masuk ke mobil, dan membawanya ke rumah sakit. Namun Liona tak memiliki tenaga untuk mengangkat tubuh sang suami, apalagi kondisinya saat ini sedang hamil besar. "Sehan. Jika tau begini a
"Liona!"Perempuan yang sejak tadi menangis di depan ruang UGD seketika berbalik, menatap ke arah suara yang memanggil namanya barusan."Mama."Sandra langsung memeluk erat sang menantu, berusaha menenangkan. Dia juga cukup sedih telah mendapat kabar dari sang suami tentang kondisi Sehan saat ini. Tapi sebisa mungkin Sandra menahan tangisnya, agar tak membuat Liona semakin sedih."Sehan terluka, ma. Ini semua karena Liona."Sandra melepaskan pelukannya. Lalu menggeleng, tak membenarkan. "Ini bukan salahmu Liona, tapi Gretta yang telah membuat Sehan seperti ini.""Tapi, jika Sehan tidak datang untuk menyelamatkan Liona. Sehan tidak akan terluka seperti ini."Sandra mengusap pelan, bahu sang menantu. Berusaha untuk menenangkannya. "Liona, jangan menyalahkan dirimu seperti ini. Mama yakin, jika Sehan tau kamu menyalahkan diri seperti ini, pasti Sehan juga akan marah. Sekarang kita doakan saja yang terbai
Flashback on.Seorang anak kecil laki-laki berumur delapan tahun berjalan di antara material-material bangunan. Saat ini dia berada di luar kota bersama sang nenek yang sedang membangun proyek baru. Dua hari lalu adalah hari ulang tahunnya. Namun hari itu telah dia tetapkan menjadi hari terburuknya, dimana sang kakak justru menuduhnya mendorong dari atas tangga, padahal kakaknya tersebut yang berniat mendorongnya namun justru terpeleset sendiri. Dia memutuskan untuk ikut bersama sang nenek, karena tak tahan mendengar tuduhan orang-orang di rumah. "Nenek."Seorang wanita yang tengah beristirahat bersama teman-teman kerjanya menoleh ke arah anak itu. "Kenapa Sehan?""Apa nenek masih lama bekerja?"Joana tau, cucunya itu pasti bosan. Biasanya Sehan kecil itu menghabiskan waktu bersama teman-temannya untuk bermain. Tapi di tempat ini, Sehan hanya menyaksikan pembangunan gedung yang menurutnya sangat membosankan.
Setelah berbicara dengan sang nenek, Sehan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sana. Joana juga harus kembali bekerja, jadi tak bisa terus menemani Sehan. Tak jauh dari tempat sang nenek bekerja, Sehan melihat ada sebuah taman. Dia kemudian duduk di ayunan, sambil memperhatikan rumput yang dia injak. Jujur dia sangat bosan, tapi tak ada cara lain yang bisa dia lakukan selain bertahan lebih lama di kota asing itu."Andai kak Galen tak menuduhku," ucap Sehan merenung."Kenapa kamu tidak masuk sekolah?"Sehan mendongak. Dia menatap anak kecil perempuan dua tahun lebih muda darinya, kini berdiri di hadapan Sehan. Anak perempuan itu tersenyum lebar, menyapa Sehan. Rambut panjangnya diikat dua. Dia memakai dress berwarna putih dengan motif bunga, dan panjang sebatas lurus. Sehan turun dari ayunan. Lalu memperhatikan perempuan itu dengan seksama, sebelum menjawab, "aku tidak ingin masuk sekolah.""Kenapa? Bu
Setelah berkenalan dengan Liona, Sehan selalu menghabiskan waktunya bersama anak perempuan itu. Sudah seminggu Sehan berada di kota asing itu, dan Liona selalu menemaninya. Mereka hanya berpisah saat hari sudah petang, karena harus kembali ke rumah masing-masing. Jika pagi tiba, Sehan dan Liona kembali bertemu di taman, atau Sehan yang kadang menunggu Liona di depan rumah perempuan itu. Bahkan jika di rumah, Sehan selalu menceritakan Liona kepada neneknya. Sehan sangat menyukai bisa memiliki teman yang menyenangkan. Bahkan kini Sehan berharap proyek yang sedang dikerjakan Joana akan lambat selesai, agar Sehan juga bisa lebih lama menghabiskan waktu bersama putri cantiknya. Hingga tiba suatu hari, setelah bermain bersama Sehan seperti hari-hari biasanya. Liona memutuskan untuk pulang sebelum hari petang. Dia tau, bundanya selalu berpesan untuk tak pulang sampai malam. Itu bisa saja membuat sang bunda khawatir. "Bunda!" Panggil Liona setelah memasuki rumah. Biasanya setelah