“Tolong bebaskan kakakku!” pintanya lirih.
Aku melirik Erika yang menahan makanannya di mulut. Sesaat kemudian istriku itu balas memandangku.
Ting!
Sumpit beradu dengan mangkuk ramen, aktivitas makan Erika terhenti.
“Sudah kubilang, cari kebenarannya bahkan jika perlu cari sebanyak mungkin bukti untuk mengajukan banding!” Erika ketus kepada Tina yang memelas padaku.
“Tina, dengar!” Aku mencondongkan sedikit badanku ke arah Tina.
“Membebaskan kakakmu bukanlah perkara mudah. Daripada kamu mencoba masuk ke urusan hukum, sebaiknya kamu belajar yang rajin. Dengan begitu, kakakmu pasti akan bangga kalau kamu berprestasi.” Aku menasihati Tina yang bergemetar. Kutatap matanya sembari menggenggam tangan gadis itu kuat-kuat.
“Aku gak janji bisa membebaskan Yus karena dia terlibat dalam pembakaran kedai tapi, setidaknya kamu buat dia bangga di balik jeruji besi. Di
Aku merogoh saku celana depan, mengeluarkan benda pipih, memencet kontak terakhir di daftar panggilan. Menelfon balik Rahayu akan tetapi, tidak ada jawaban. Kedua kali, ketiga kali juga nihil. Rahayu tidak menjawab telfonku. Padahal aku ingin sekali bilang pada Rahayu kalau aku ingin bertemu sesegera mungkin. Aku menyerah untuk keempat kali menemlfonnya. Memerosotkan kembai smartphone ke dalam saku celana lalu berkata pada diri sendiri.“Tenang … tenang!” Sembari mengelus dada. Kemudian melangkah masuk ke dalam gedung. Berniat pergi ke ruang riset, aku berjalan di lorong sambil memikirkan kemungkinan yang akan dibawa Rahayu. Bukti baru, fakta baru atau mungkin tersangka baru. Yang manapun itu, aku ingin siang ini cepat merangkak ke malam dan bertemu Bu Pengacara.“Aduh!” Aku terbuyar oleh suara wanita yang kukenal. Bu Dewi meringis memegangi pundaknya tanpa kusadari aku suda
Erika sedang membantu mamanya membereskan meja makan ketika aku dimita untuk mengikuti langkah papa mertua ke ruang kerja. Katanya, ini adalah urusan laki-laki. Papa mertuaku menjatuhkan bokongnya di atas meja empuk, duduk menyilangkan kaki. Mirip seperti ketua gangster di film-film.“Duduklah, menantu!” Dia mempersilakan sembari mengulurkan tangan ke arah sofa yang berseberangan dengannya. Menuruti perintah Sang Mertua, aku pun duduk menegakkan bahu.“Apa ada hal penting yang ingin Papa bicarakan? Kalau itu soal laki-laki yang menghamili Dwi dan kompensasi kedai, saya akan usahakan.” Aku memulai pembicaraan dengan rasa canggung.Papa mertuaku lantas tersungging.“Kamu pikir hanya tentang itu saja urusanku denganmu?”“La-lalu?” Papa melengos, menurunkan kakinya dengan santai.“Ada hal yang lebih penting dari itu,” tatap mata papa m
“Apa yang terjadi pada PT. Dua Sahabat Sejagtera?” tanyaku. Penasaran di tengah kenangan yang menyusupi kepala papa mertua. Sejurus kemudian dia membalik badan, menyandarkan punggungnya pada dinding. Mengeluarkan rokok dari dalam kantung celana. Pemantik api ditekan lalu asap tipis mengebul dari ujung rokok.“Aku kesal padanya karena dia terus-terusan cari muka di depan investor yang susah payah kudapatkan. Papamu itu selalu dipuji atas kerjanya sementara aku dipandang sebelah mata.”“Jadi, karena iri?” Papa mertua kembali mengisap rokoknya, mengebulkan asap tipis saat dia menengadah.“Iya.”“Lalu, apa yang terjadi dengan PT. Dua Sahabat Sejahtera?” Aku mengulang pertanyaanku. Papa mertuaku menggeleng, kelopak mata yang berkerut itu perlahan terpejam.“Tidak usah dibahas, itu cuma masa lalu yang menyesakkan.&rdquo
Mataku silau karena lampu yang dinyalakan oleh Erika saat memasuki rumah. Erika tidak berkata apa-apa, langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan kasar sementara aku masuk ke kamar tempat ternyaman Dwi selama gadis itu tinggal di rumah ini. Aku meletakkan bokong di pinggir kasur, menopang dagu dengan kedua tangan. Menyadari perlakuanku pada Erika yang mungkin terkesan kasar. Dibanding memikirkan cara kasarku terhadap Erika, ada hal yang lebih membuatku pikiranku lebih kacau lagi. Sebenarnya, aku ingin sekali mengetahui tentang PT. Dua Sahabat Sejahtera akan tetapi, satu-satunya orang yang kuharap bisa menjawab rasa keingintahuanku malah tidak ingin membahasanya. Menggantung cerita, meninggalkan pertanyaan. Melepas rasa penat, aku merebahkan badan ke kasur, meraih saku celana lalu mengeluarkan smartphone dari dalam sana. Lima panggilan tidak terjawab dan 3 pesan di aplikasi Waktuchat dari Rahayu.‘Jadi
Aku tergelak, tanganku bergemetar, dadaku seperti dihentak oleh sesuatu bertubi-tubi. Sakit. Tidak percaya dengan dokumen warisan papa yang hanya difotokopi persis seperti aslinya. Sekali lagi, aku dikhianati, sekali lagi aku ditipu. Kali ini dari adik iparku sendiri yang katanya akan menyimpan di tempat yang aman. Aku menghempas semua lembaran kertas juga kotak hingga berserak ke lantai. Menendang kursi kayu lalu meratakan semua benda-benda di atas meja belajar. “Apa-apaan ini, Pras?” Erika muncul di balik pintu. Mata sipitnya menyorot ke keseluruhan kamar yang berantakan. Mataku yang sudah terasa perih memandang Erika lekat-lekat. “Apa?” Erika mengerutkan alis. Aku melangkah perlahan, memandang wajah istriku yang keheranan. Aku menarik tangan Erika, menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan kasar. “Pras!” panggilnya. Tanpa menghiraukan panggilanny
Suara Dwi terisak, di dekatnya terdengar kegaduhan yang membuatku panik.“Dwi, apa yang terjadi?”[Tolong aku, Ka-][Woy, Pras. Kalau ingin adik iparmu selamat datang dan bawa dokumen pailit Jayanta Group]“Rey?”[Besok, jam lima sore di gudang kosong kompleks pertokoan Sudirman]“Tung-“ Panggilan diputus sebelum aku selesai bicara.“Aaaaraaagh! Masalah apalagi ini?” pekikku. Kulihat jam di layar ponsel, sudah menunjukkan jam setengah dua belas. Sudah mau selarut ini tapi masalah masih datang. Sudah tidak ada energi lagi rasanya, terkuras rasa marah, dendam dan kesal. Kalimat Erika masih saja berputar di kepalaku. Itu adalah kebenarannya, pernikahanku dengan Erika adalah upaya untuk menghancurkan hidupku. Semua yang kami lakukan di ranjang, rayuannya, sikap dingin dan lembut Erika bis
“Sebaiknya kalian istirahat, ini sudah larut. Bersiaplah untuk penderitaan besok!”Rey menurunkan senjata itu, memasukkan kembali ke tempatnya lalu pergi melenggang. Salah satu dari pria penjaga menyalakan lilin, meletakkannya di atas meja kayu usang. Para penjaga itu pun mengikuti langkah Rey, meninggalkan aku dan Dwi, hanya berdua dan runagan ini seketika jadi remang, hanya dibawah penerangan lampu lilin.“Ini semua karena aku.” Dwi memulai pembicaraan.“Bukan saatnya menyalahkan dirimu. Yang terpenting adalah bagaimana caranya kita kabur dari sini.” Aku meyela Dwi.“Seharusnya aku gak memercayai Rey atas janin ini.” Dwi berkata lirih. Karena dia terus menyesali yang terjadi padanya sekarang, aku ingin sekali mendekap adik iparku tetapi, tangan yang terikat menghalangi membuat tidak berdaya untuk melakukan itu jadi, aku hanya diam. Mendengar semua penyesala
“Banguuun!” Sebuah hentakan di kakiku menyadarkan dari tidurku yang lelap. Perlahan, mataku samar-samar melihat sosok seorang pria berwajah oriental lalu, sosok itu semakin jelas. Rey sudah berdiri dengan pakaian yang sama seperti semalam.“Rey!” sapaku lirih. Rey mengambil posisi jongkok di hadapanku. Menodongkan moncong senjata ke dagu.“Katakan! Dimana dokumen pailitnya?”“A-aku tidak tahu!” suaraku tercekat. Lalu, sebuah hentakan di perut membuatku merintih.“Kalau tidak kamu katakana-,” Rey berdiri kemudian menodongkan senjata ke pelipis Dwi.“Kalau gak mau ngaku, adikmu dalam bahaya!” ancamnya.“Hentikan, Rey! Dia gak ada hubungannya dengan ini.” Aku memekik, takut dia semakin nekat.“Kalau begitu, katakan!”“Sudah kubilang, aku tidak tahu apapun tentang itu!” tegasku.
Kepada Pembaca, Kepada pembaca, dengan ini penulis menyatakan novel Menikahi Bu Manajer sudah tamat pertanggal 23 Desember 2021. Hampir 7 bulan menyelesaikannya karena kesibukan bekerja dan kadang juga dilanda malas. Menikahi Bu Manajer mungkin bukan karya yang sempurna tetapi, author berharap semua bisa menikmati karya yang tidak sempurna ini dan para pembaca bisa turut menikmati prosesnya. Author sangat berharap bisa membuat karya yang lebih sempurna lagi tentunya dengan kritik, saran dan masukan dari para pembaca. Jadi, silakan tuangkan sarannya di sini mengenai kekurangan dalam novel Menikahi Bu Manajer. Nantikan karya selanjutnya yang lebih baik, ya. Semangat semuanya.Salam dari langit utara,Ursa Mayor, Jangan lupa follow akun media sosial penulisF*: Omang YayuzI*: @mang_yayus
Dua bulan kemudian, hubunganku dengan Erika berangsur akur. Kami menjalankan semua kesibukan kami bersama dan yang menggembirakan adalah aku mendapat berita bahwa Rey masuk bui dengan pasal berlapis. Kabar itu kudapat dari Rahayu melalui pesan singkat Waktuchat. Ayahnya dipecat dari Jayanta Tambang. Dan hari ini, aku tidak sengaja bertemu Dita di sebuah kafetaria. Gadis ceria itu sangat senang melayaniku dan menguarkan keceriaannya kembali. Di sela-sela senggangnya, dia bahkan mendampingku seperti sekarang, duduk satu meja. “Kak Pras, aku sangat senang karena Yus sudah bebas. Padahal, aku juga sebenarnya tidak punya bukti apa-apa tentang kasus kedai itu.” Dita memulai pembicaraan. “Lupakan masalah itu. Aku tidak akan membiarkan dia di sana terlalu lama.” “Tapi, bagaimana Kak Pras membebaskannya tanpa syarat?” tanya Dita. Aku menyedot es capucino di depanku. “Rahasia!” jawabku kemudian sambil terse
Aku malah jadi frustasi karena semua ini. Mendadak jadi pemimpin hanya karena ancaman yang kulakukan. “Sebenarnya Papa mau aku gimana?” Aku mengumpat kepada papa yang sudah tidak ada dan tentu saja sudah tidak bisa mendengar keluh kesahku. Pernikahan dengan Erika yang membuat hidup berantakan, cerita-cerita yang tidak masuk akal dari ayah mertua, Erika atau mungkin juga dari Tante yang tidak masuk ke logikaku dan sekarang menjadikanku pemegang Jayanta Tambang. Sekarang aku baru menyadari sesuatu, pemicu sebenarnya dari kehidupanku yang berantakan bukanlah pernikahanku dengan Erika, tetapi kepemilikan saham. Aku tidak bisa mengatakan diriku ini alat untuk merebut kekuasaan karena di sisi lain aku juga yang diuntungkan, tetapi aku menyayangkan keputusan mereka. “Kamu ini gak sopan banget, malah melenggang gitu aja!” Erika sudah duduk di kursi di sebelahku, menutup pintu wagon dengan kesal. “Kenapa sih, Pras!” tanyanya sembari melipat t
Suara TV dari ruang tamu membuat mataku terbuka padahal seingatku sebelum aku tidur semalam, aku sudah mematikannya. Namun, agaknya Erika bangun sebelum aku bangun. Bukan tanpa alasan mataku jadi terbuka tetapi, karena telingaku menangkap suara seorang pewarta yang membawakan berita pagi ini. “CEO Jayanta Tambang melaporkan kasus putranya….” Kalimat itulah alasan utama. Aku bangkit dari tempat tidur, melakukan peregangan pada bagian badan, menguap melepaskan sisa kantuk. Badanku terisi ulang dengan energi, tapi tenggorokan yang kering memaksa untuk pergi ke dapur dan mengambil minum. “Sebenarnya, apa yang kamu lakukan kemarin?” Erika masih dengan pakaian yang dia kenakan semalam, duduk bersila di sofa sambil menatap layar. Di layar TV terpampang highlight bertuliskan, “Putra Jayanta Tambang Tersandung Kasus.” Ternyata, secepat ini beritanya tersiar. “Jawab, Pras!” Erika menurunkan hodie telinga kucing, memand
Puas menghabiskan sisa hari ini bersama Tante dan Ryan, aku pulang ke rumah dengan bekal masakan hasil karya Tante ketika langit sudah mulai gelap. “Aku pulang!” Kudapati istriku itu sedang duduk di sofa mengenakan piyama putih sembari bersila. Ekspresinya sangat serius menonton tayangan luar negeri, seakan dia tidak menyadari kehadiranku dia sama sekali tidak menoleh atau bahkan membalas salam. Tetapi satu hal yang membuat aku terenyum adalah atasan tambahan yang dia kenakan. Atasan yang dia kenakan sangat kontras dengan kepribadiannya. Jaket rajut warna cokelat dengan hodie bertelinga mirip seperti hewan kucing atau semacamnya. Saking seriusnya menonton dan suara TV yang mengalahkan derap langkahku, aku berjalan mendekat, menarik salah satu telinga kucing pada hodienya. Masih belum juga menyadari kehadiranku dan mengira hodienya melorot aku ikut bersenandung ketika iklan dengan soundtrack anak-anak muncul. “
Meski rumah ini sudah ditinggal oleh orang tuaku, pintu rumah yang selalu terbuka seakan selalu menyambutku kapan saja aku datang. Bagaimana pun keadaanku dan sesulit apapun masalah yang menghampiri, rumah ini adalah tempat aku meletakkan semua lelah untuk sesaat. Sekarang pun masih tetap sama hanya saja, dengan kasih yang datang dari orang berbeda. Kasih seorang ibu juga. Aku memasuki ruang tamu, kudapati Tante sedang membuka sebuah benda seperti buku. “Aku pulang!” Aku memberi salam. Tante pun menoleh untuk sesaat. “Eh, Pras,” sahutnya. “Lihat apa, Tante?” tanyaku sembari mendongak. Tampak beberapa foto nostalgia di dalam album foto yang dipangku Tante. “Mendadak Tante kangen sama orang tuamu. Juga beberapa fotomu waktu kecil.” Tante tersenyum sembari membalik album. “Oh ya, sebelum lupa-,” Aku mengeluarkan dokumen dari dalam saku jass kemudian memberikannya pada Tante-.”tolong disimpan dengan baik lagi, ya1"
“Selanjutnya, saya serahkan kepada Rahayu dan Bapak.” Aku bangkit dari posisiku. “Saya tunggu di law firm.” Rahayu menyodorkan kartu namanya kemudian menepuk pundakku memberi tanda untuk segera pergi. Kami berdua berjalan bergantian dengan derap langkah yang tegas. “Kok bisa-bisanya kamu berpikir tentang rencana ini?” tanya Rahayu ketika kami menuruni tangga, keluar dari gedung. “Yah, mau bagaimana lagi. Aku juga gak ada cara lain. Dengan begini pun firma hukummu seharusnya diuntungkan,” jawabku. “Apa Erika tahu tentang ini?” tanyanya lagi. “Ini tidak ada hubungannya lagi dengan Erika. Aku pun gak perlu validasi dari istriku.” Kami berhenti di depan mobil wagonku. Rahayu pun tersenyum untuk pertama kalinya kepadaku. “Kali ini, aku serahkan padamu.” Aku berbalik, membuka pintu mobil. “Tunggu!” “Apalagi?” “K
Aku duduk di sofa, menyilangkan kakiku dan merentangkan tangan di atas daun sofa. Pria paruh baya yang kulihat di TV pasca Rey dijebloskan dipenjara untuk pertama kalinya sekarang ada di di depanku. “Kamu siapa? Kenapa lancang masuk ke ruangan ini tanpa izin?” tanyanya. “Dia Pras, Ayah!” sahut Rey. “Salam, Pak!” Aku menangkupkan tangan sambil tersenyum. “Jadi kamu yang telah merebut Erika dari anak saya?" Pria itu mendekat sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku. “Tenanglah, Pak!” ucapku santai. “Apa maksudmu datang ke sini tiba-tiba begini? Belum puas kamu membawa penderitaan kepada anakku?” Senyum di bibirku luntur seketika. Aku bangkit berdiri di hadapan pria yang sudah membesarkan Rey hingga dia menjadi seberengsek itu. “Penderitaan katamu, wahai Tuan CEO yang terhormat?” Kupandang wajahnya yang berkerut. Sesaat kemudian, aku beralih pandang ke Rey yang berdiri di depan meja kerja mewah ayahnya.
Sesaat kemudian, Tante turun membawa dokumen yang kuminta. Dia mengeluarkan seluruh isinya di hadapanku. “Kamu hanya perlu dokumen pailit, jadi Tante akan memberikan itu saja. Sisanya, Tante akan menyimpannya untukmu nanti.” Tante memasukan dokumen yang kuperlukan ke dalam amplop kemudian merapikan sisanya. “Ini.” Tante mengulurkan benda pipih cokelat itu kepadaku. Aku mengambilnya kemudian menyimpan di kantong bagian dalam jasku. “Sebenarnya Tante mengkhawatirkanmu. Maafkan, Tante atas tamparan itu. Kamu sudah seperti putraku sendiri, Nak.” Tante mulai terisak. Aku berjongkok di hadapan tante, meletakkan kepalaku di pahanya. “Tante, aku mencintaimu. Cuma Tante yang bisa gantiin sosok Mama dan orang tua untukku. Aku minta maaf karena lancang dan merepotkan selama ini. Terima kasih.” Aku kembali merasakan kehangat seorang ibu ketika tangan tante mengelus lembut kepalaku. A