Aku merogoh saku celana depan, mengeluarkan benda pipih, memencet kontak terakhir di daftar panggilan. Menelfon balik Rahayu akan tetapi, tidak ada jawaban. Kedua kali, ketiga kali juga nihil. Rahayu tidak menjawab telfonku. Padahal aku ingin sekali bilang pada Rahayu kalau aku ingin bertemu sesegera mungkin.
Aku menyerah untuk keempat kali menemlfonnya. Memerosotkan kembai smartphone ke dalam saku celana lalu berkata pada diri sendiri.
“Tenang … tenang!” Sembari mengelus dada. Kemudian melangkah masuk ke dalam gedung.
Berniat pergi ke ruang riset, aku berjalan di lorong sambil memikirkan kemungkinan yang akan dibawa Rahayu. Bukti baru, fakta baru atau mungkin tersangka baru. Yang manapun itu, aku ingin siang ini cepat merangkak ke malam dan bertemu Bu Pengacara.
“Aduh!” Aku terbuyar oleh suara wanita yang kukenal. Bu Dewi meringis memegangi pundaknya tanpa kusadari aku suda
Erika sedang membantu mamanya membereskan meja makan ketika aku dimita untuk mengikuti langkah papa mertua ke ruang kerja. Katanya, ini adalah urusan laki-laki. Papa mertuaku menjatuhkan bokongnya di atas meja empuk, duduk menyilangkan kaki. Mirip seperti ketua gangster di film-film.“Duduklah, menantu!” Dia mempersilakan sembari mengulurkan tangan ke arah sofa yang berseberangan dengannya. Menuruti perintah Sang Mertua, aku pun duduk menegakkan bahu.“Apa ada hal penting yang ingin Papa bicarakan? Kalau itu soal laki-laki yang menghamili Dwi dan kompensasi kedai, saya akan usahakan.” Aku memulai pembicaraan dengan rasa canggung.Papa mertuaku lantas tersungging.“Kamu pikir hanya tentang itu saja urusanku denganmu?”“La-lalu?” Papa melengos, menurunkan kakinya dengan santai.“Ada hal yang lebih penting dari itu,” tatap mata papa m
“Apa yang terjadi pada PT. Dua Sahabat Sejagtera?” tanyaku. Penasaran di tengah kenangan yang menyusupi kepala papa mertua. Sejurus kemudian dia membalik badan, menyandarkan punggungnya pada dinding. Mengeluarkan rokok dari dalam kantung celana. Pemantik api ditekan lalu asap tipis mengebul dari ujung rokok.“Aku kesal padanya karena dia terus-terusan cari muka di depan investor yang susah payah kudapatkan. Papamu itu selalu dipuji atas kerjanya sementara aku dipandang sebelah mata.”“Jadi, karena iri?” Papa mertua kembali mengisap rokoknya, mengebulkan asap tipis saat dia menengadah.“Iya.”“Lalu, apa yang terjadi dengan PT. Dua Sahabat Sejahtera?” Aku mengulang pertanyaanku. Papa mertuaku menggeleng, kelopak mata yang berkerut itu perlahan terpejam.“Tidak usah dibahas, itu cuma masa lalu yang menyesakkan.&rdquo
Mataku silau karena lampu yang dinyalakan oleh Erika saat memasuki rumah. Erika tidak berkata apa-apa, langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan kasar sementara aku masuk ke kamar tempat ternyaman Dwi selama gadis itu tinggal di rumah ini. Aku meletakkan bokong di pinggir kasur, menopang dagu dengan kedua tangan. Menyadari perlakuanku pada Erika yang mungkin terkesan kasar. Dibanding memikirkan cara kasarku terhadap Erika, ada hal yang lebih membuatku pikiranku lebih kacau lagi. Sebenarnya, aku ingin sekali mengetahui tentang PT. Dua Sahabat Sejahtera akan tetapi, satu-satunya orang yang kuharap bisa menjawab rasa keingintahuanku malah tidak ingin membahasanya. Menggantung cerita, meninggalkan pertanyaan. Melepas rasa penat, aku merebahkan badan ke kasur, meraih saku celana lalu mengeluarkan smartphone dari dalam sana. Lima panggilan tidak terjawab dan 3 pesan di aplikasi Waktuchat dari Rahayu.‘Jadi
Aku tergelak, tanganku bergemetar, dadaku seperti dihentak oleh sesuatu bertubi-tubi. Sakit. Tidak percaya dengan dokumen warisan papa yang hanya difotokopi persis seperti aslinya. Sekali lagi, aku dikhianati, sekali lagi aku ditipu. Kali ini dari adik iparku sendiri yang katanya akan menyimpan di tempat yang aman. Aku menghempas semua lembaran kertas juga kotak hingga berserak ke lantai. Menendang kursi kayu lalu meratakan semua benda-benda di atas meja belajar. “Apa-apaan ini, Pras?” Erika muncul di balik pintu. Mata sipitnya menyorot ke keseluruhan kamar yang berantakan. Mataku yang sudah terasa perih memandang Erika lekat-lekat. “Apa?” Erika mengerutkan alis. Aku melangkah perlahan, memandang wajah istriku yang keheranan. Aku menarik tangan Erika, menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan kasar. “Pras!” panggilnya. Tanpa menghiraukan panggilanny
Suara Dwi terisak, di dekatnya terdengar kegaduhan yang membuatku panik.“Dwi, apa yang terjadi?”[Tolong aku, Ka-][Woy, Pras. Kalau ingin adik iparmu selamat datang dan bawa dokumen pailit Jayanta Group]“Rey?”[Besok, jam lima sore di gudang kosong kompleks pertokoan Sudirman]“Tung-“ Panggilan diputus sebelum aku selesai bicara.“Aaaaraaagh! Masalah apalagi ini?” pekikku. Kulihat jam di layar ponsel, sudah menunjukkan jam setengah dua belas. Sudah mau selarut ini tapi masalah masih datang. Sudah tidak ada energi lagi rasanya, terkuras rasa marah, dendam dan kesal. Kalimat Erika masih saja berputar di kepalaku. Itu adalah kebenarannya, pernikahanku dengan Erika adalah upaya untuk menghancurkan hidupku. Semua yang kami lakukan di ranjang, rayuannya, sikap dingin dan lembut Erika bis
“Sebaiknya kalian istirahat, ini sudah larut. Bersiaplah untuk penderitaan besok!”Rey menurunkan senjata itu, memasukkan kembali ke tempatnya lalu pergi melenggang. Salah satu dari pria penjaga menyalakan lilin, meletakkannya di atas meja kayu usang. Para penjaga itu pun mengikuti langkah Rey, meninggalkan aku dan Dwi, hanya berdua dan runagan ini seketika jadi remang, hanya dibawah penerangan lampu lilin.“Ini semua karena aku.” Dwi memulai pembicaraan.“Bukan saatnya menyalahkan dirimu. Yang terpenting adalah bagaimana caranya kita kabur dari sini.” Aku meyela Dwi.“Seharusnya aku gak memercayai Rey atas janin ini.” Dwi berkata lirih. Karena dia terus menyesali yang terjadi padanya sekarang, aku ingin sekali mendekap adik iparku tetapi, tangan yang terikat menghalangi membuat tidak berdaya untuk melakukan itu jadi, aku hanya diam. Mendengar semua penyesala
“Banguuun!” Sebuah hentakan di kakiku menyadarkan dari tidurku yang lelap. Perlahan, mataku samar-samar melihat sosok seorang pria berwajah oriental lalu, sosok itu semakin jelas. Rey sudah berdiri dengan pakaian yang sama seperti semalam.“Rey!” sapaku lirih. Rey mengambil posisi jongkok di hadapanku. Menodongkan moncong senjata ke dagu.“Katakan! Dimana dokumen pailitnya?”“A-aku tidak tahu!” suaraku tercekat. Lalu, sebuah hentakan di perut membuatku merintih.“Kalau tidak kamu katakana-,” Rey berdiri kemudian menodongkan senjata ke pelipis Dwi.“Kalau gak mau ngaku, adikmu dalam bahaya!” ancamnya.“Hentikan, Rey! Dia gak ada hubungannya dengan ini.” Aku memekik, takut dia semakin nekat.“Kalau begitu, katakan!”“Sudah kubilang, aku tidak tahu apapun tentang itu!” tegasku.
Satu tembakan itu menembus skapulaku. Rasanya begitu sakit, seakan ada yang bergerak di sana, tubuhku mulai kebas. Pelukanku pada tubuh Erika pun terlepas, badanku memerosot. Ditopang oleh tangan Erika, dia membaringkanku ke tanah. Samar-samar, wajah Erika berubah panik.“Pras! Pras! Bertahanlah!” Pandanganku yang samar-samar sekeetika menjadi gelap, aku tidak sadarkan diri. Entah apa yang terjadi selanjutnya, hanya gelap dan aku tidak ingat apa-apa.*** Setelah insiden itu, aku tersadar di ranjang rumah sakit. Bahuku terasa sakit, badan bagian atas terasa kaku. Tanganku terhubung ke selang infus. Satu-satunya sosok yang kulihat samar-samar adalah tanteku yang sedang terlihat cemas sembari menyatukan tangannya. Ketika mataku terbuka sepenuhnya, Tante lalu memanggil lirih.“Pras!” Tante menyunggingkan senyum terpaksa, menghiburku yang terbaring lemas di atas bra